Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


 
Day 4: Places you want to visit on 30 days writing challenge

   Lucunya, kalau kamu bertanya tempat mana yang akan aku tuju, maka awalnya kamu akan diajak memutar, melingkar, berkeliling dari hangatnya Purwokerto, bisingnya Tangerang, sampai damainya Salatiga. Ketiganya punya masing - masing cerita yang tidak akan habis aku ceritakan meski sudah tanpa jeda. 

   Tapi, aku sudah memutuskan untuk mengisi beberapa paragraf selanjutnya dengan warna - warni Jogja. Bukan Jogja tempat dia menemukan jam hijau tosca yang akan begitu cantik di pergelangan tanganku, dan meninggalkannya. Bukan juga Jogja yang suasananya mesra dalam lirik KLA. Tapi Jogja pada suatu ketika aku dan dua temanku yang amat baiknya, merayakan perpisahan dengan begitu ceria.

   Setelah banyak sekali rencana yang mengada-ada, akhirnya pada suatu siang yang terik, kami menunggu bis Semarang - Jogja dengan bekal seadanya. Tanpa hotel mewah dengan biaya sewa, maupun makan malam di restoran paling apik seantero kota. 

   Bahkan setelah banyak sekali mereka - reka, akhirnya kami berembuk dalam kamar mungil sembari memilah sisi Jogja mana yang ingin kami temukan kali ini. Jogja memberikan kami pilihan yang tidak habis dihitung dengan sepuluh jari. Ketiga gadis bingung, kemudian hanya bergerak dari satu impulsivitas belanja mendadak di pasar pagi, sampai riuhnya Taman Sari. Menghabiskan sore dalam temaram salah satu kafe dengan secangkir kopi.

  Aku sadar, pesona Jogja bisa jadi diceritakan lebih apik oleh ribuan orang lainnya. Namun, jika kamu mau, aku ingin mengajakmu duduk dan mendengarkan pendapatku. Bagaimana arsitektur di Taman Sari membingkai riuh setiap manusia di dalamnya. Mencuri perhatianku dan menyanderanya pada setiap lekuk bangunnya. Pada semaraknya pedagang sunmori UGM dan ratusan muda - mudi. Pada lampu - lampu di sepanjang jalan kota yang menyimpan entah berapa banyak kisah sedih soal cinta. Pada perasaan nyaman dan bahagia ketika menikmati secangkir kopi bersama. Karena akhirnya aku menyadari, dalam dunia baru yang membuatku hampir gila, ternyata aku sudah menemukan dua manusia yang dapat membuat hari - hari yang lesu jadi penuh tawa. Dunia baru yang tadinya sempat membuatku ingin berhenti dan menyerah terhadap apa saja.

  Sehingga, soal Jogja dan berbagai macam rasa di dalamnya. Aku ingin bebas merdeka dalam memilih kenangannya. Aku tidak tau bagaimana Jogja mengambil definisinya di depan sana. Bisa jadi lebih menyenangkan, bisa jadi penuh dengan kerapuhan atau banyak sekali kehancuran. Meskipun setiap yang ada di Jogja akan mengkristal seiring dengan waktu, aku ingin tetap mengingat Jogja dari lembar cerita dengan hati yang ringan dan bahagia. Bersama kedua temanku yang kini entah bagaimana kabarnya. Yang jika mereka membaca, aku hanya ingin berkata bagaimana mereka telah jadi salah satu tanda semesta tentang Syafi'i dan syairnya:
"Merantaulah, kau akan dapat pengganti dari kerabat dan kawan yang kau tinggalkan. Berlelah - lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang".

 


Day 3: Memories of 30 days writing challenge
   Kenangan dan banyak sekali cara mengeksploitasinya. Salah satunya adalah demi kewarasan dalam menghadapi setiap yang menyesakkan, termasuk hari ini. 

   Akhir - akhir ini aku sering kembali pada laboratorium pukul 8 malam hari. Kala itu ada aku dan beberapa kawan yang saling bahu membahu membuat kehidupan mahasiswa semester akhir menjadi lebih ringan untuk dijalani. Kami fokus terhadap urusan masing - masing, dengan menyisipkan kasak - kusuk soal perpolitikan kampus diantaranya sesekali. 

   Yang aku ingat betul adalah, pada setiap basa basi, ada setumpuk rasa khawatir yang tidak lelah aku redam. Setelah kurang lebih enam bulan dalam entah banyak sekali kegagalan, aku memang semakin handal mengatur perasaan yang sering kali bisa jadi kurang ajar, serta menguasai. Namun, malam itu berbeda. Sejak pertama kali membuka mata pagi ini, aku tau, hari ini adalah usaha penutup dari apa yang sudah aku jalani tanpa henti. Jika malam ini aku gagal lagi, aku sudah berjanji tidak akan mengutuknya dengan banyak sekali sumpah serapah seperti biasanya. 

   Aku dengan keluasan hati yang diada adakan, akan memeluknya sepenuh jiwa. Kemudian, berterima kasih kepada diriku sendiri karena sudah bertahan sejauh ini. Nampaknya aku sudah tidak lagi ingin hidup dipenuhi kemarahan yang membutakan. Dalam 22 tahun hidupku, tidak pernah aku mengalami kejadian yang sebegininya menguras kewarasan. Serupa lorong tanpa ujung, yang tidak kunjung aku temukan pintu keluarnya, tanpa peduli sejauh apa aku sudah berlari. Malam itu, aku hanya ingin sepenuhnya kembali, dan kepasrahan adalah pilihan terakhir setelah berbagai macam cara. Oleh karena itu, pada setiap usaha yang sudah purna, aku mencukupkan diriku akan setiap hasilnya. 

   Setelah timer berdering di salah satu ruangan,  aku memantapkan langkah untuk mengambil hasil dari percobaan untuk entah yang kesekian kali. Dan untuk pertama kalinya dalam 6 bulan percobaan tanpa henti, akhirnya aku melihat segaris pita DNA berpendar. Eksperimenku yang terakhir kali, tidak lagi berujung kegagalan. Tidak aku sangka, keberhasilan justru muncul di saat - saat penuh pengikhlasan. Ketika itu, aku hanya ingin solat isya. Selebrasi sederhana dengan sujud yang lebih lama dari biasanya, dipenuhi oleh kata syukur yang melimpah ruah. Berterima kasih kepada pemilik semesta.

   Tidak hentinya aku melengkung senyum. Perjalanan beberapa bulan ini begitu panjang di belakangku. Yang diantaranya, banyak sekali keputusasaan dan keinginan untuk berhenti,  lengkap dengan berbagai macam definisinya, dari seseorang yang pernah begitu optimis terhadap masa depannya sendiri.

   Aku segera memberi kabar kepada dosenku yang amat baik hati. Ia tidak kalah terkejutnya. Setiap pesannya dipenuhi "Allahu akbar" dan banyak sekali "Alhamdulillah". Ia kemudian menelfonku, dan pada panggilan yang penuh dengan kebahagiaan, ia berkata, "Selalu ingat ini, kemanapun hidup membawamu. Bahwa ditengah banyak sekali ketidakmungkinan, kamu hanya harus tetap sabar berusaha dan berdoa, suatu hari nyatanya akan sampai juga." Kata - katanya yang kemudian sampai kini terprogram dalam kepalaku begitu rapi. Sehingga pada setiap waktu - waktu putus asa, ketika sudah tidak lagi ingin bersabar, atau mulai mengutuk bagaimana semesta bekerja, aku tau, kepada kenangan yang mana aku harus kembali. Laboratorium pukul 8 malam hari.







    Sudah seharian ini aku memaksa isi kepalaku memikirkan tema hari kedua:

"Apa yang membuatku bahagia?"

   Sampai sore tidak kunjung ada jawabannya. Padahal, di hari - hari sedih lainnya, bahagia sering kali mengambil definisi paling sederhana. Nampaknya, gadis ini mulai kehabisan keberuntungannya. Tapi tenang saja, aku masih belum ingin menyerah. Tekadku bulat untuk menuntaskan setiap tema sampai 28 hari kedepan. Sehingga, aku berpikir lebih keras.

Lalu, Eureka! 

    Ingatanku berjalan mundur pada suatu siang yang terik dan tiba - tiba. Idolaku menjulang dan melambaikan tangan dengan senyum yang ringan. Kala itu, kelelahanku menyeberang ke gedung tetangga, melawan matahari siang bolong, terasa tidak apa - apanya. Bahagia bisa jadi amat sederhana dan tidak disengaja. 

  Lalu sisi diriku yang skeptis muncul dan menegasikannya tepat di muka. Premis bahagiaku dianggapnya terlalu dangkal karena masih saja menyimpan bahagia di saku celana orang (laki - laki) lainnya. Aku kembali diam dan tersudutkan. Pertanyaan yang cukup familiar kembali bermunculan.

   "Mungkinkah sejak pertama, memang aku yang selalu salah?."

    Jika sudah seperti ini, biasanya aku akan kabur kemanapun aku suka, sendiri. Membeli tiket kereta keluar kota untuk satu perjalanan yang tanpa rencana. Makan sushi favoritku di tengah kota. Pergi ke Gramedia paling besar yang puluhan kilometer jauhnya. Usaha demi usaha sebagai pembuktian bahwa aku mampu untuk membahagiakan diriku sendiri. Usaha yang kini otomatis didiskualifikasi sepihak oleh pandemi.

  Menuntaskan tema hari kedua makin terlihat kabur. Sampai menjelang adzan Maghrib, aku mendapati diriku dan mama di kafe ala - ala dalam salah satu minimarket di Salatiga. Menikmati minuman diskonan hari senin untuk berbuka. Cafe dolce untukku, lemon tea hangat untuk mama. 

   "Aku masih suka sedih loh ma kalo mikirinnya" entah kesurupan apa, tiba - tiba perasaan yang beberapa hari ini menyesakkan, berhamburan tanpa perlu perintah.

  "Ya gapapa, perasaan kan gak bisa langsung berubah" ia menanggapinya santai.

    "Iya sih, tapi jadi takut aja rasanya. Kayak kemarin udah keliatan se-serius itu, tapi ternyata sama aja"

   "Ta, kamu gak boleh lho seolah menentukan jalannya nanti gimana. Kalo udah kayak gini, pasti kayak gitu. Gak semuanya sama. Kita kan gak tau"

   Aku, tentu saja hanya bisa mendengarkan sembari mengubur banyak sekali 'tetapi'. Mama jarang sekali salah, dan punya tendensi untuk mendominasi. Bahkan jika suatu ketika aku yang benar, maka aku rela jika kemenangan ditimbun dengan setiap diam dan hikmat dalam mendengarkan ucapannya. Dalam rangka meraih surgaNya dengan seribu cara. Yang kemudian, sore ini secara tidak sengaja membuatku sampai pada jawaban atas pertanyaan tiada akhir soal bahagia. 

   Ternyata, membahagiakan dapat bercerita kepada mama soal kegagalan yang masih menyesakkan dada. Kesempatan yang tidak aku miliki ketika SMA, atau saat di Purwokerto dengan sekarung penuh keanehannya. Juga kebahagiaan karena dapat berbuka berdua yang tidak digagalkan oleh spreadsheets dan email yang terus saja membelah diri. 

   Aku kemudian menyadari, bahwa aku hanya harus mengganti kacamata perspektifku soal bahagia. Karena definisinya masih begitu sederhana. Aku saja yang terlalu sibuk mengulang - ngulang serentetan cerita kegagalan dalam kepala, tentang hal - hal yang seharusnya aku kubur sedalam - dalamnya. Menciptakan ruang untuk lebih banyak syukur terhadap hal - hal sederhana yang sama membahagiakannya, meski dalam bentuk berbeda.

   Sesampainya di rumah, sepupuku paling kecil menyambut kami dengan tawanya yang meringis, penuh dengan gigi geripis. Ia memang diluar spektrum anak - anak biasanya. Oleh karenanya di hidup kami, ia anak yang luar biasa sampai ke hati dan ketulusannya. Lenganku digelayutinya, bahkan ketika sepatu belum terlepas sempurna. Sampai kini, ia memang belum dapat bicara, tapi rasa sayangnya diungkapkan dengan penuh kejujuran. Dalam kedua telapak tangannya yang menangkup pipiku ketika aku menggodanya. 

Aku semakin yakin, bahagia memang masih begitu sederhana. Aku saja yang sering kali menutup mata.

   Menceritakan kepribadian diri diambil menjadi tema di hari pertama tantangan menulis 30 hari, yang entah dibuat oleh siapa. Mungkin dipikirnya, tema ini mudah, karena toh siapa juga yang akam kesulitan menggambarkan kepribadian seseorang yang setiap detik selalu dia amati dan nilai. Tapi toh, akhirnya aku, yang iseng - iseng mengikuti tantangan asal lewat, kesulitan untuk menggambarkan kepribadian diri sendiri. 

   Jujur saja, pikiranku kini sedang tidak benar. Seolah berjalan di lapisan es amat tipis yang dapat seketika retak pada satu pijakan yang tidak beruntung. Sehingga, tema ini aku biarkan terbuka untuk setiap orang yang pernah mengenalku. Katakan saja keinginanmu, dengan senang hati aku berikan id instagram atau twitter teman - teman tersayangku yang seringnya berisik di jagat maya. Agar mereka mengisi paragrafnya serupa membuat suatu eulogi. Agar kamu mengenalku dalam sosok yang hidup dalam pikiran mereka. Tentu saja jika mereka bersedia dan tidak sibuk menjalani kehidupan seperempat abad yang penuh dengan hiruk pikuk. 

   Sehingga, mari kini kita bicara soal eulogi. Indonesia tidak terlalu familiar dengan adanya eulogi. Yang pada film - film barat, biasanya diberikan di prosesi perayaan kematian seseorang. Sebuah pidato dari seseorang untuk mengenang hal - hal baik dari kerabat dekatnya yang hari itu raganya berpisah dengan dunia. Sedangkan, masyarakat kita lebih familiar dengan bisik - bisik tetangga di rumah duka. Soal bagaimana ia mati, betapa menyedihkannya keluarga ditinggal sosok yang penting, dan entah pikiran apa lagi yang saat itu muncul di dalam kepala. Hanya segelintir orang yang cukup waras menyuguhkan pembahasan tentang betapa baiknya almarhum dan kemenangannya soal hidup. Walaupun, juga tidak dapat dipungkiri, akan ada saja yang membahas soal desas desus dan kabar burung yang seringnya soal berita 'gres' dan penuh intrik. Kalau ada eulogi setidaknya akan ada satu sesi untuk mengingat si mati dengan hati yang hangat. Sayang sekali, Indonesia tidak kenal eulogi.

   Padahal, sudah aku bayangkan. Jika jiwa dan ragaku sudah tidak jadi satu, aku akan amat senang (jika aku masih dapat merasa senang) mendengarkan banyak eulogi. Serupa seorang anak yang menerima raport sekolahnya di dunia ini. Oleh karena itu, beberapa hari lalu, aku bertanya kepada teman - temanku soal eulogi apa yang mereka berikan pada hariku nanti. Dan, seperti sudah berkomplot, tidak ada satupun dari mereka yang bersedia. Pertanyaan ini membuat mereka ketakutan, dan mengundang pikiran - pikiran negatif di sudut - sudut kepala. 

Padahal kan biasa saja, ia tidak?
Aku kan hanya ingin tau rapotku di kepala mereka. Apakah aku sudah hidup selayaknya seorang manusia, yang seharusnya berarti dan bermanfaat bagi sekitarnya?
Atau apakah aku hanya seseorang yang sekedar lewat tanpa arti apa - apa?

Jika aku memintamu membacakan eulogi ketika aku masih bernafas di dunia, kamu mau tidak?

    Pada kedua matamu aku berpulang. Aku kira sudah tidak ada lagi rumah dalam sayupnya. Ternyata pada kedalamannya justru aku temukan sebagian diriku yang sudah lama dikira hilang. Siapa sangka, gadis remaja itu ternyata masih bersembunyi dibalik teduhnya. Ia nyaman bersandar pada setiap rasa dilindungi dan kata - kata penuh cinta. Cukup lama di palung Mariana, kembali pada tatapanmu di suatu siang yang tiba - tiba, membuatku ingin bersandar dan menaruh jangkar selama yang aku bisa. Sayangnya, hidup masih kerap menjadi banyak sekali ketidakmungkinan, dan kamu bukan pengecualian.

    Pada hangatnya ruang - ruang pikiranmu aku berpulang. Aku bebas menghamburkan banyak keresahan di setiap sudutnya. Tidak pernah ada khawatir akan berubah menjadi pisau yang menusuk tajam. Begitu lapangnya, dan aku bebas menjadi apapun yang aku suka. Bisa jadi pahlawan yang kesiangan, atau penjahat atas mimpi - mimpinya sendiri. Berbagai macam aku yang sedikit baiknya, tapi tidak pernah khawatir akan kehilangan tempatnya di setiap sisi. Setiap dindingnya masih menjadi kanvasku paling warna - warni. Membuatku ingin menyimpannya selamanya, abadi. Sayangnya, hidup masih kerap menjadi banyak sekali ketidakmungkinan, dan kamu bukan pengecualian. 

    Begitu keras aku berdoa dan masih bukan jadi pengecualian. Aku pikir, ini jawabannya. Gak apa, setidaknya aku pernah merasakan nyaman, yang pada kehidupan amat sederhana, juga adalah suatu keajaiban.


Mari kita bicara soal body image. 

Gua gak pernah terlalu tertarik pada pembahasan ini karena simply, I love my self that I dissed every words or intriguing questions from people, regarding my imperfections. BUT, that was until supposed to be one fine lunch. 

I've been troubled with my mental state. The cycle was very similar to 7- 8 years ago. I couldn't take lunch or breakfast because I was too sad and depressed. It felt like I needed to get all this negativity out of my system, literally. It was things that I couldn't control nor avoid. It just, happened. Every breakfast or lunch was a fight. Because I don't have any appetite to get one, but I understand I couldn't missed out another plate. Otherwise gerd would sent me to worsening situation. 

Of course, I lose another weight. Yeay!.

Kesalahan gua adalah. I told my coworkers this issue. "Aku kalo sedih emang jadi susah makan sih". I didn't stress this enough that behind 'sedih', there is mount of terrible sadness that sometimes unbearable. Finally they come up with judging questions

"Terus kamu kalo sedih ngapain?"

"Kamu jangan jadi masokis gitu dong, makan makanya"

"Kamu tuh tambah kurus kan"

They didn't realise that this is beyond their idea of teenage galau girl who refused to eat to simply torture herself. No, this is not. And there was nothing significant I could do, at that time. Gua juga gak bisa tiba - tiba menghilangkan rasa pengen muntah setiap kali makan siang. Atau lebih impossible lagi gaining weight in order to look 'healthy'.

"Celana kerjamu udah skinny ya padahal, tapi tetep aja ni pantat keliatan gak ada isinya hehe" 

Saking terkesimanya, gua cuma senyum. Kehabisan kata.

"Kamu kalo makan dibanyakin gitu loh"

"Ya gak bisa. Mau gimana"

"Temenku dulu minum appeton lumayan sih naiknya. Kamu gak mau nyoba?"

"Enggak, I like what I see now in the mirror" and I didn't lie. I still love my body right now. I cherish every inch of it after taking shower. But one idea strucked me. 

Ternyata ditengah rising awareness of mental health issue and body image, there are still people who completely either too fool or too arrogant to understand it. It seemed like there is double standard of being too skinny. Masih ada notion soal skinny being the standard. Jadi kalo lu terlalu kurus, then, your problem is the easy piece of cake. And it is okay to address them in public, because it feels good to build people up and give them a boost of self improvement. 

Well, no, you don't.
You don't build them up, you ruin them down. 
No, this is not self improvement, only a facade of degrading words your arrogant mind to notice. 
And of course, this still not okay.

Membahas fisik orang lain, apapun bentuknya atau isunya, MASIH bukan sesuatu hal yang benar. Bisa jadi, keadaannya sekarang karena mental statenya lagi gak bener. Atau karena mereka memang punya penyakit yang menguras semua nutrisi dalam tubuh mereka. Atau karena memang genetik darisananya. Which if I may sum up, something that you can not change in second you tell them to man up and take the dinner. 

It is very simple being kind, you just need to be more sensitive. Problems that doesn't exist in your eyes, is still exist in their mind and body.

P.s: I understand that I might be that incensitive bitch in the past. Thus, I'm so sorry for the destruction I left you with.

P.s.s: I'm getting better now. My mental state is more stable, or at least quite and plain. My appetite comes back gradually. Just in case you worry.

    Satu kejadian dengan akhir berbeda. Kejadian ini mengantarkannya pada rasa jatuh cinta seutuhnya. Untuk pertama kalinya, membuat ia dapat memeluk suara hatinya sendiri sepenuhnya. Berterima kasih tanpa henti, karena suara hati telah mengantarkannya pada satu titik bahagia yang sebelumnya tidak pernah mampu ia singgahi. Ia tidak lagi menuhankan logikanya sendiri. 

    Satu kejadian dengan akhir berbeda. Mengantarkan aku pada rasa ketidak percayaan sepenuhnya. Kehilangan pijakan kaki yang mantap, menuju keentahan sempurna. Aku tidak lagi mendengarkan kata hati, tidak lagi dapat percaya. Menjatuhkan diri seutuhnya pada setiap perasaan, membuatku sampai pada satu kehancuran yang tidak pernah aku temukan sebelumnya. Untuk seseorang yang selalu memeluk suara hatinya dengan sepenuh jiwa, kehilangan kepercayaan terhadapnya adalah kegamangan paling purna. 

    Ini masih jam 5 pagi, di hari Rabu. Dan aku sudah tidak tau apalagi yang dapat aku percaya pada setiap langkah kakiku. 




Ribuan doa dengan namamu yang bertebaran di setiap sisinya, kembali datang tiba - tiba. Sebagai seorang perencana, tentu saja setiap kemungkinan terburuk sudah masuk dalam hitungan. Bagaimana aku akan menyelamatkan diriku, kemanakah aku akan berlindung setelah ini. Begitu banyak jalan keluar dan imajinasi setelah kala ketika, ternyata masih menyisakan satu tanda tanya. Soal kemana doaku bermuara, ketika ternyata bukan kamu orangnya. Akankah banyak doaku yang lalu jadi sia - sia?. 

Ataukah Ia telah menyelamatkan doaku dengan mengganti namamu entah dengan nama siapa, agar doa tetap sampai ke esensinya. 

Atau cukuplah Ia menyelamatkan doaku dengan menilainya sebagai pahala?.



If you are looking for words which probably touch you here and there, please kindly skip this rant.

Being with someone who understand you inside out and vice versa, doesn't make him yours. 

Being madly in love with someone and vice versa, doesn't make him yours. 

Being 24/7 available and vice versa, doesn't make him yours. 

Being fully accepting the cons without ever complaining, doesn't make him yours. 

Wasting your trust that he was the one, doesn't make him yours.

Dear God, if dating was a game, and I gained more XP while growing older, why not optimism I'm having right now? Why it's only a sense of being insecure and completely clueless?. 

If jodoh is not all the definition I could ever think of, dear God, then what is it?

 Soal bukit bintang yang pada setiap tikungan menujunya membuatku berdoa. Perjalanan menuju kesana malam - malam, tanpa penerangan sepanjang jalan, hanya kita yang berbicara pelan - pelan. Takut membangunkan entah makhluk apa yang mengiringi perjalanan. Katanya tidak akan ada yang menarik di ujung sana, tapi aku tetap rela berlelah - lelah menaiki setiap anak tangga. Tidak ada yang menjanjikan hal - hal yang berharga, tapi sampai di puncaknya, aku dihadiahkan sepuas - puasnya rasa. Bintang - bintang ternyata tidak tergantung di angkasa. Ternyata, konstelasinya bertebaran begitu luasnya di daratan. Siapa sangka, bahwa ia disusun dengan begitu indahnya dari kumpulan lampu jalanan yang tetap tegak ditengah angin Purwokerto, yang terkadang jadi begitu luar biasa pada bulan - bulan kemarau. Ada pula bintang yang bergerak, lampu - lampu kendaraan yang berlalu lalang. Dikendarai oleh manusia dengan berbagai macam tujuan. Ada yang dengan sisa tenaga setelah berlelah - lelah seharian, berusaha pulang. Menuju rumah, dengan air hangat dan makan malam. Di antaranya juga ada muda - mudi yang sedang tenggelam dalam kisah cinta remaja. Berusaha berenang menuju masa depan, dengan segenap mimpi dan asa. Bisa jadi juga lampu kendaraan, dari seorang remaja yang hanya berputar - putar menyusuri kota. Mencari arti hidupnya. Sederhana karena setiap alasannya ada di dunia tiba - tiba hilang begitu saja, karena memang ekspektasi tidak selalu berkawan baik dengan realita. Pada setiap tarikan nafasnya ia merapal mantra, aku tidak menyerah hari ini, aku akan mencoba lagi bersamaan dengan terbitnya matahari. 

Soal bukit bintang yang ternyata begitu tinggi, tapi dapat membuatku semakin mantap berpijak diatas tanah dengan kedua kaki. Ternyata melawan dunia dan segala masalahnya, aku tidak pernah sendiri. Aku dan setiap bintang - bintang yang bergerak, bertebaran, bersinar, ternyata sama - sama berusaha dengan caranya sendiri. Dengan langit di atas sana, yang dengan begitu luasnya selalu menaungi. 

Panjang umur wanita. Hidup manusia harusnya jadi tidak terduga, tapi kenapa banyak orang menerka - nerka tentang seharusnya. Harusnya ia kini sudah lulus dari sekolah. Harusnya sudah tidak lagi bergantung dengan orang tua. Harusnya diumur yang kesekian menikahlah dia. Harusnya ia tidak lagi hanya berdua, tapi juga dengan manusia - manusia kecil yang mahalnya bukan main. Banyak sekali harusnya yang menjadikan umur wanita terhenti. Tidak lagi tersedia pilihan selain menjadi istri seseorang yang sanggup menghidupi. Mengesampingkan banyak sekali mimpi karena omongan tetangga atau saudara yang entah siapa namanya. Bukan lagi soal di hidup ini kita akan jadi apa. Bukan lagi soal bahagia versi kita. Ketika dewasa, menjadi wanita hanya dipenuhi banyak sekali terka. Seolah - olah hidup kita sudah jadi begitu jelas ujungnya, bahkan ketika belum ada satupun langkah pertama. Belum juga berpikir akan kemana, tapi setiap penonton sudah menjadi juri akan sampaikah wanita pada standar yang tidak kasat mata. Menjadi dewasa dan ternyata umur wanita masih tidak sepanjang semangat Kartini dan ceritanya. 

Namun ditengah gelap, rasanya aku masih ingin berlari. Masih ingin berusaha agar panjang umur diri ini. Tetap hidup meski sudah tidak lagi menapaki bumi. Mengalir di dalam pikiran setiap yang aku sayangi. Bernafas serupa hembusan embun pagi.



 Siapa sangka, di tengah acara mencuci piring selepas makan siang, jawaban atas pertanyaan besar di hidupku yang menggantung bertahun - tahun, hadir tiba - tiba dalam wujud paling sederhana. "Rasanya berat dan sulit, tapi bukannya memang jalan menuju ridhoNya tidak ada yang mudah ya Ta?".

Siapa sangka, sore ini ketika sibuk terkesima dengan lampu - lampu kendaraan di sepanjang jalan, hatiku yang terasa amat berat beberapa bulan ini, tiba - tiba kehilangan muatannya. Diganti rasa lega karena akhirnya bertemu dengan kalimat paling sederhana. "Kalau memang Allah maunya begitu, kita bisa apa?"

Kedua kesimpulan ini diakhiri dengan tanda tanya, tapi diiringi dengan kelapangan yang absen sebelumnya. Aku gak pernah sebegini bahagia dengan retorika sederhana.

I wish you don't marry her. Because, it would torn me apart, put me into pieces, and actualized every of my bad dreams. But, I know you well enough to understand that the otherwise would only torn you apart, put you into pieces, and drowned you in the endless pit of depression, and it is the last thing I want for this life. Though, I still can't see my self love someone else as the way I do for you, sincerely with much of generosity. Thus, I stay to my constant silent prayers, I hope you are happy, always happy. That will always be the thing that matters the most for me and this friendship story.

 Ta, besok kalau mau jatuh cinta lagi, ingat - ingat masa seperti ini ya. Masa - masa malam yang menyesakkan karena patah hati. Jangan sampai kamu kembali susah payah memeluk diri sendiri.

Hal yang paling kuingat dari bulan Februari 2017 adalah hujan yang selalu menyertai sepanjang bulan itu, kecuali pada beberapa hari yang tidak terduga. Aku tidak heran sebenarnya. Karena kehadiran mas saat itu memang serupa matahari di atas langitku yang kelabu karena laki - laki. Menghangatkan bumiku yang lembab, menggantinya dengan cahaya yang menyinari.

Jika mas gak ingat, gak apa. Justru bersyukurlah, karena aku pernah begitu keras berdoa agar lupa. Meskipun pada akhirnya aku memilih untuk tetap mengingat sepenuhnya, menyimpan dendam dengan cara paling apik sejagat raya. Aku menuliskan mas untuk yang terakhir kalinya. Aku mengabadikan satu - satunya pembalasan dendamku, tanpa doa buruk, tanpa sedikitpun cerca. Bahkan sepertinya kutulis sepenuhnya untuk diri ini dan setiap luka yang dirasa. Aku hanya akan meminta kepada semesta agar entah bagaimana, akhirnya mas membaca. 

Sebagai pembuka, aku akan berkata bahwa aku tau. Aku tau soal Bandung dan segala pengacuhan mas terhadap segala pesanku. Aku juga tau dia, hal yang mungkin mas tidak akan pernah sangka. Gak apa, disini aku berdoa, semoga mas dan dia selalu bahagia. 

Aku hanya ingin mas tau, bahwa mas telah membawaku ke satu tempat yang terasa begitu familiarnya. Bukan ke mimpi - mimpi atau ruang tamu orang tuaku. Melainkan ke ruang yang sepenuhnya gelap gulita. Di dalamnya tidak ada apapun selain aku dan beberapa suara. Semakin lama semakin riuh memekakkan telinga. Semuanya bergantian, saling mengisi setiap jeda, membuat dadaku terasa semakin sesak saja. Tanpa sadar di salah satu sudut kegelapannya, aku sudah tenggelam tanpa pegangan apa - apa. 

Mau tau tidak apa yang ku dengar?

Pertama adalah suara tawa, karena aku kembali menjadi sekedar salah satu dari beberapa pilihan. Suara itu saling berkejaran, agar jadi yang paling didengarkan oleh telinga. Berlomba untuk mengejekku, karena lagi - lagi menjadi bagian yang tidak terpilih, kehilangan warnanya. 

Aku belum pernah ke palung Mariana, tapi aku bisa membayangkan mungkin akan begini rasanya jika sampai ke kedalamannya. Awalnya setiap tekanan air laut akan mengisi sela yang ada. Semakin lama akan mengambil alih berat tubuhku, menekannya dari setiap penjuru. Tanpa sadar aku tiba - tiba lebur menjadi berjuta partikel. Bersatu dengan ombak lautan, perlahan sempurna menjadi ketiadaan. Aku kehilangan diriku di tengah lautan prasangka soal ketidakcukupan. Semuanya pasti karena aku yang serba tidak cukup, sehingga berujung kepada penyisihan.

Kedua, adalah bisikan yang dihembuskan terlalu dekat, sampai bulu halus di tengkukku berdiri seluruhnya. Di antaranya, butiran - butiran keringat mulai terbit karena kekhawatiranku sudah berubah menjadi segumpal besar ketakutan. Ketakutan yang lahir di antara setiap bisikan yang berisi ramalan masa depan soal kehilangan. Kehilangan yang lebih besar dari mas, ataupun setiap laki - laki sebelum mas. Kehilangan kepercayaan.

Untukku, kepercayaan serupa tempat tidur di kamarku yang nyaman. Di atasnya, aku merehatkan pundak yang kelelahan, mendiamkan setiap kecemasan. Tidak lain karena akhirnya, hanya dengan jeda kita punya tenaga untuk menghadapi pagi di keesokan hari. Agar dapat berlari mengejar segala mimpi. Agar mantap langkah kaki untuk dapat memulai lagi. Ramalan yang kini menghantuiku. Merebut tempat istirahatku, dan mungkin benar bahwa kehilangan kepercayaan hanyalah soal waktu. Meninggalkanku dengan hanya berbekal doa, semoga ramalan itu tidak lebih dari angin lalu. Semoga aku masih dapat percaya, dan memulai lagi pada suatu waktu.

Mas, maaf ya, aku terlalu banyak bercerita. Aku tau mas tidak suka. Setidaknya, semoga ini adalah kali terakhir mas membacanya, karena aku juga amat ingin ini jadi akhirnya. Mas, sudah beberapa waktu aku disini. Suara - suara itu kadang hilang, kadang muncul lagi. Aku masih berusaha berdiri sesekali. Kadang berhasil, seringnya tidak. Ternyata tidak mudah mengumpulkan konsentrasi di tengah setiap suara yang berusaha menguasai.

Namun, mas tentu masih ingat, bahwa aku bukan gadis yang mudah menyerah. Sehingga aku sudah menentukan, pembalasan dendamku akan jadi suatu usaha tanpa henti untuk keluar dari sini. Meskipun sebelum itu, aku harus jujur bahwa aku tidak suka diperlakukan seperti itu. Aku hancur ketika setiap kepercayaan diriku roboh begitu saja. Aku juga marah karena percayaku dicuri dan akhirnya jadi sia - sia. Tapi akhirnya aku mengerti, alasan paling mendasar aku berada disini. 

Aku tidak pintar menjaga diri.

Sepenuhnya kesalahanku, tapi boleh ya aku minta sesuatu terakhir kali. Tolong jangan lakukan ini kepada siapapun yang selanjutnya kamu temui. Karena ternyata yang paling buruk bukan menghancurkan apa yang pernah gadis itu miliki, tapi justru meluluh lantahkan setiap kepercayaannya terhadap diri sendiri atau siapapun orang di masa depannya nanti. Bukankah akan terasa egois sekali karena menghancurkan sesuatu yang akan ia bawa sampai entah, sampai mungkin hanya Tuhan yang dapat membuatnya berhenti.
La tahzan, innallaha ma'ana. 
Janganlah kamu bersedih, sesungguhnya Allah selalu bersama kita. 
Kata - kata yang aku percaya, oleh karenanya aku mengulangnya serupa doa.

Tolong selamatkan aku, dari setiap rasa yang terhadapnya, aku tidak punya kuasa.
Tolong selamatkan aku, dari setiap pikiran yang menjebakku dalam ruang gelap gulita.
Tolong selamatkan aku, dari dada yang rasanya semakin sempit dan menyesakkan. Serupa ditenggelamkan dalam palung laut paling dalam.
Tolong selamatkan aku, dari semunya kenangan. Di dalamnya setiap bunga tidak lagi bermekaran. Menyisakan aku yang hanya diselimuti kesedihan.
Tolong selamatkan aku, dari rintik hujan yang ternyata tidak membawa serta setiap kecewa dalam derasnya, justru sebaliknya. Hujan membawaku jatuh serta. Segalaku hancur ke tanah, harapanku tidak jadi apa - apa. 

La tahzan, innallaha ma'ana.
Namun aku tetap percaya, mengulang - ngulang kata serupa doa.
Bahwa setiap rintik adalah milikMu, tidak ada satu tetes pun yang terlewatkan dari kuasaMu. 
Bahwa setiap rintik adalah milikMu, yang bersamaan dengan turunnya, bertebaran lah setiap berkahMu.

La tahzan, innallaha ma'ana.
Oleh karena itu, tolong selamatkan aku.
Pada akhirnya, hanyalah kepadaMu aku selamanya bergantung Allahku. 
Rayu, semalam tadi berat. Kita menangis habis - habisan selagi kamu dalam pelukan. Bukankah kita teringat pada satu masa ketika yang kita inginkan hanyalah sepeda roda dua, berwarna merah muda. Semua anak di gang itu memilikinya, kecuali kita. Orang tua kita berkata bahwa tidak semua hal yang kita inginkan bisa kita miliki sekarang. Terkadang kita butuh bersabar selagi berjalan. Beberapa hal butuh waktu sampai akhirnya ada di dalam genggaman. Saat itu kita kecewa, menangis sejadi - jadinya. Hingga pada sore hari yang biasa, sepeda roda dua, sudah terparkir di halaman depan rumah kita. Namun ia tidak berwarna merah muda, melainkan biru tua. 

Anehnya, kita tetap bahagia meskipun ingatan tentang cantiknya sepeda merah muda masih lekat dalam kepala. Kita sama - sama tidak menyangka bahwa tidak mendapatkan sesuatu, tepat seperti yang kita inginkan, ternyata rasanya tidak begitu mengecewakan. Sesorean itu kita masih bermain dengan sepeda biru tua sampai kelelahan. Pelajaran yang begitu sederhana, yang aku ingat sampai sekarang. 

Rayu, tidak semua hal yang kita inginkan di hidup ini akan berjalan. Beberapa hal akan berjalan hanya sebagian, bahkan mungkin segala ingin tidak jadi nyata sama sekali. Sering kali, yang kamu inginkan justru membutuhkan kesabaran sepanjang perjalanan yang sangat lama. Kesabaran yang ternyata hanya berujung dengan tangan hampa. Sedih dan kecewa, gapapa. Tapi akhirnya kita belajar bahwa hidup memang harus seperti itu. Justru setiap keinginan yang hancur akhirnya menumbuhkan rasa syukur ketika hal - hal sederhana datang sebagai pengganti dari setiap kecewa. Keinginan - keinginan yang nampaknya sia - sia ternyata perlu, dan sama pentingnya.

Kita harus menerima bahwa hidup memang begitu adanya. Setiap yang kita inginkan tidak selalu yang terbaik dari setiap yang kita perlukan. Kita belajar, ternyata hal - hal terbaik datang dengan caranya sendiri, pada waktunya sendiri.
Ini cerita tentang jam tangan hijau tosca di balik etalase kaca. Kamu menemukannya pada suatu perjalanan tiba - tiba di kota Jogja. Kamu tau, aku pasti suka jam tangan yang sederhana. Pasti akan kupakai dengan begitu bahagia. Rasanya seperti membawa sebagian kamu ke tempat manapun aku menuju. Aku dan jam tangan hijau tosca seperti sudah bersatu dalam nyawa. Keberadaannya di pergelangan tanganku akan membuat senyap segala riuh yang mungkin ada. Namun pada akhirnya, sama seperti kita, aku dan jam tangan hijau tosca hanyalah suatu keniscayaan tentang tidak akan jadi nyata. Kamu mengetahuinya sejak kali pertama melihat ia di balik etalase kaca. Jam tangan hijau tosca yang membuat pikiranmu berjalan menujuku, lalu seketika berhenti karena teringat, selamanya hatimu hanya untuk dia. Sedangkan aku hanyalah seseorang yang biasa, tanpa makna.
Suatu ketika, kita berada dalam satu ruangan pada sisi yang berlainan. Kamu berdiri di sampingnya, lenganmu rekat karena hatimu aman disimpannya. Kalian bersisian, dengan aku yang tidak bisa apa - apa. Rasanya ada yang menderu, serupa rasa dari masa lalu. Pernah berdiri dengan gagahnya di tempat laki - laki itu adalah aku. Membanggakanmu dengan banyak cerita pencapaian, dengan lain waktu memeluk setiap kegagalan agar dalam hatimu tercipta kelapangan. Saat itu, mimpi kita saling bertautan. Meski aku belum mengerti benar tentang arti berpasangan, tapi yang aku tau, kamu adalah esensi dari masa depan. Oleh karena itu, kamu menjadi serupa kota yang menenangkan, aku berdiam di dalamnya. Kamu adalah ujung dari setiap usaha - usaha. Tidak lain agar kamu bahagia. Satu - satunya alasan yang pada akhirnya kembali serupa bumerang dengan api menyala. Meluluh lantahkan kota yang setiap sudutnya dihiasi oleh cerita - cerita. Di dalamnya kita tidak lagi bahagia. Setiap sisi yang tadinya taman bunga, kini hanyalah abu tanpa warna. Aku dipaksa keluar dari kota karena api yang menyala.
 
Kemudian aku tersadarkan, untuk berhenti memainkan lagu - lagu nostalgia tentang kala ketika. Ini adalah cerita yang sudah kutau akhirnya. Membiarkan kepalaku mengatur langkah kaki menuju pintu keluar yang berlawanan dengan kamu dan dia. Aku melihatmu terakhir kali dan tawamu ternyata masih melumpuhkan logika. Aku ingin menangis agar tidak sesak rasanya di dalam dada. Tapi tidak malam ini, ataupun banyak malam setelahnya. Pada akhirnya, aku hanyalah laki - laki biasa tanpa mesin waktu di dalam lemarinya, sehingga satu - satunya yang bisa kumainkan adalah kata seandainya atau suatu jika. Jika saja aku cukup membaca setiap tanda bahaya, akankah kini jadi berbeda?

---------

Suatu ketika, kita berada dalam satu ruangan pada sisi yang berlainan. Aku berlindung di sisinya dari setiap kenangan yang mungkin tidak sengaja kamu bawa bersamaan. Lenganku masih erat bertautan dengan satu - satunya cahaya setelah banyak sekali malam penuh dengan keputus asaan. Aku bergantung sekuat tenaga, karena melihatmu berdiri di sisi yang berbeda justru membuat luka semakin menganga. Ingin sekali pergi, tapi hatiku sudah lelah pada banyak sekali pelarian yang akhirnya kehilangan arti. Seringkali justru kembali pada titik awal lagi. Akhirnya langitku pasrah dihujani memori. Serupa hujan yang riuhnya bising, mengaburkan setiap kehadiran manusia lain di ruangan ini. Menyisakan kamu yang menyala serupa inti matahari. Mengingatkanku soal mimpi - mimpi yang kita rajut penuh dengan hati - hati. Berulang kali mengingatkan bahwa kamu tidak pernah sendiri. Berusaha memeluk setiap ketakutanmu dengan selalu berada di sisi. Tanpa disadari, ternyata usahaku kembali serupa bumerang dengan nyala api. Meluluh lantahkan kota dengan aku di dalam intinya, tidak berhenti menangisi. Sampai akhirnya yang aku tau, kamu adalah mahkota yang aku dipaksa melepaskannya agar tak lagi berat bebanku untuk bangkit dan pergi.

Kemudian aku tersadarkan, untuk berhenti memainkan lagu - lagu nostalgia tentang kala ketika. Ini adalah cerita  yang sudah kutau akhirnya. Mengembalikan jiwaku dari berkelana, akhirnya kembali di sisinya. Aku melihatmu menuju pintu keluar, meninggalkan secangkir kopi di atas meja. Rasanya ada yang menyesakkan di dalam dada, haruskah kamu begitu tergesa - gesa. Aku bisa saja menangis sejadi - jadinya, tapi tidak lagi malam ini ataupun banyak malam setelahnya. Aku bukan lagi masalah yang memberatkan, ujarku agar tetap percaya bahwa ini adalah jalan terbaiknya. Pada akhirnya, aku hanyalah gadis biasa tanpa mesin waktu di dalam lemarinya, sehingga satu - satunya yang bisa kumainkan adalah kata seandainya atau suatu jika. Jika saja banyak tanda bahaya terbaca, akankah kini jadi berbeda?

-------------------------------------------
Inspired by exile - Taylor Swift. 
Terimakasih untuk lagunya, dan liriknya yang membuatku turut ingin menangis sambil bercerita. Perayaan kehilangan memang tidak pernah ada habisnya. Alias ni lagu sedih banget emang woe :")
Aku sudah tau apa yang aku inginkan ketika kami bertemu lagi. Tidak banyak, ataupun penuh dengan tanya. Percakapan kami sungguh akan jadi begitu sederhana. Hanya soal sedalam apa yang pernah kami miliki, ia maknai. Aku mengerti kalau pada akhirnya ia diam saja. Aku sudah bersiap jika akhirnya jawabannya ternyata membuatku kembali menemukan bahwa selama ini aku sendiri. Sungguh tidak apa, dan aku akan tetap menjelaskan dengan penuh kesabaran, pun kelapangan. Bahwa jika menurutnya yang kami miliki tidak lebih dari rasa yang begitu dangkal pun semu, maka aku akan tetap bercerita, bagaimana aku pernah begitu tenggelam di dalam kedangkalannya, dengan amat bahagia. Bahkan jika aku lupa caranya berenang, maka tidak segan - segan aku berdiam, tidak lagi akan muncul ke permukaan. Meski sendiri, aku akan dengan bangga mengakui bahwa aku pernah berpikir ini akhir dari setiap perjalanan yang melelahkan. Aku akan terus saja bercerita sampai ke bagian penyadaran bahwa ternyata ini bukanlah akhir, tapi justru satu lagi pelajaran. Setidaknya, satu lagi jatah kegagalan sudah aku tuntaskan. Artinya, bisa jadi aku sudah semakin dekat dengan kedewasaan. 

Aku juga akan bertanya, sejauh apa mimpi - mimpi kami pernah ia bawa pergi. Sampaikah mereka di langit tertinggi. Sampaikah mereka ke hatinya, sehingga ia terus saja mempercayai. Aku mengerti jika ia sudah melupakannya. Aku sudah bersiap jika nyatanya mimpi tidak lebih dari kata, yang suatu hari disusun dengan begitu bahagia, lalu kehilangan arti setelahnya. Sungguh tidak apa, dan aku akan tetap menjelaskan dengan penuh kesabaran, pun kelapangan. Bahwa aku pernah bergantung kepada mimpi - mimpi itu serupa seorang yang putus asa kepada seutas tali. Menjagaku dari jatuh lagi. Membuatku tetap berani dalam menghadapi hari - hari. Aku pernah percaya, bahkan jika suatu hari hal - hal buruk menarikku ke dalam jurang, mimpi - mimpi kami akan menarikku ke atas lagi. Tidak akan ada keputus asaan yang berarti. Lalu kini, ketika setiap mimpi - mimpi berhenti, setidaknya aku menyadari, bahwa ternyata aku masih mampu untuk bermimpi yang amat tinggi. Meski nyatanya sudah jatuh berkali - kali. 

Setelah dipikir - pikir, aku juga mungkin akan bertanya. Seberapa penting diriku di hatinya. Apakah sepenuhnya mengisi ruang - ruang jiwa. Pernahkah aku jadi satu - satunya. Aku mengerti kalau ia kehabisan kata untuk menjawab tanya. Aku sudah bersiap jika ia akan berlari setelahnya. Ada tidaknya ia di depanku, sungguh tidak apa, dan aku akan tetap menjelaskan dengan penuh kesabaran, pun kelapangan. Bagaimana ia untukku masih amat berarti. Bahkan kehilangannya tidak lantas membuatku berhenti mencari setiap bagiannya yang tersebar di muka bumi. Tidak lebih dari sekedar memastikan, bahwa dari sekian banyak doa dengan namanya, Tuhanku yang baik hati dan penyayang masih mengijabah yang paling penting dari semua. Ia masih baik - baik saja dan bahagia. Begitunya aku karena sungguh tidak pernah ada sesal karena pada satu maghrib yang lelah aku pernah memutuskan untuk menemukannya. Bahkan kini aku semakin percaya, beberapa hal mungkin tidak akan pernah aku sadari jika tidak ada dia. Sebagian penyadaran yang juga lahir pada beberapa malam sedih karena kehilangan. Dengan ini, rasanya benar kalau aku semakin percaya, bahwa sama seperti pertemuan, perpisahan juga pasti terjadi untuk suatu alasan - alasan. Mungkin saja salah satunya agar aku cukup mencintai diriku sendiri di masa depan. 

Padahal sebenarnya sih, jika memang suatu hari bertemu lagi, kemungkinan besar aku hanya akan berkata "kabarmu gimana? Aman semuanya?". Sungguh biasa.
Hehe.

Sore itu teduh. Kiya memacu sepeda birunya tepat dibelakang Pay. Kurang lebih sudah sejam mereka berdua mengelilingi daerah kampus dan sekitarnya. Kiya sudah terengah - engah dalam setiap kayuhannya, terkadang semilir angin berhembus meniup lehernya. Rambut sebahunya sudah ia kuncir satu, bergoyang bersama dengan setiap hentakan agar sepedanya terus melaju. 
"Ya, belok ke GOR ya" ujar Pay, tangan kanannya memberikan aba - aba agar mulai menikung ke arah kompleks stadion olahraga kampus mereka. Jalanan kota kecil ini seperti biasa sama sepinya, mereka berdua menyebrang tanpa kesulitan apa - apa. 

"Lu jangan cepet - cepet napa, ngos - ngosan gua" Kiya membasuh butir - butir keringat di dahinya. Handuk kecil yang melingkar di kepalan tangannya sudah basah sejak lima belas menit pertama.
"Alay lu, dikit lagi, jangan manja" lalu Pay memacu sepedanya semakin cepat, melewati jalan yang menurun dengan banyak sekali kerikil di antaranya. Tapi bukan Kiya namanya jika diam saja dikalahkan dengan kata - kata provokatif khas Pay. Ia mengayuh sepedanya, berusaha mensejajari teman dekatnya selama 3,5 tahun terakhir ini. Pay tersenyum jenaka, tau bahwa umpannya telah berhasil menangkap Kiya dan kepercayaan dirinya yang tidak pernah dapat menerima kekalahan. 

"Kita mau kemana lagi habis ini?" Ujar Kiya, masih sambil mengatur nafasnya. Mereka mulai melambat. Sepertinya sudah terlalu sore untuk berolahraga di kompleks GOR kampus, karena kala itu hanya mereka berdua yang ada di sana. 
"Lu harus liat Ya, ada tempat bagus banget, ikutin yak" Pay memacu sepedanya menuju sisi jalan dengan lebih banyak rimbun pepohonan. Suara roda sepeda yang menghancurkan daun - daun kering semakin nyaring mengiringi perjalanan mereka. Kemudian mereka memasuki pelataran laboratorium salah satu fakultas dan memarkirkan sepeda disana. Selain GOR, kompleks ini memang dikelilingi oleh beberapa fakultas lengkap dengan gedung laboratoriumnya. Bahkan asrama mahasiswa juga dibangun di dalam kompleks, menjulang tinggi dengan beberapa lantai.

"Kita parkir disini nggak ilang emang?" Kiya berkata sembari melihat kondisi di sekelilingnya. Tidak ada orang lain selain mereka berdua. Gedung laboratorium 3 lantai di depan mereka pun tidak menunjukkan tanda - tanda adanya aktivitas mahasiswa. 
"Takut banget sih lu, aman kok InsyaAllah. Udah sering gua kesini sendiri" Pay berkata dengan penuh kepercayaan diri. Ia sudah turun dari sepedanya dan mengencangkan kedua tali sepatunya.
"Sumpah, lu ngapain kesini sendiri?" Menurut Kiya, Pay adalah sosok paling ekstrovert yang pernah ia temui sepanjanjang hidupnya. Sudah sering kali ia menjadi korban dipaksa kesana kemari untuk membersamai Pay yang tidak suka pergi kemanapun sendiri. 
"Berkontemplasi, wedeh banget gak gua hahaha"
"Bilang aja lu lagi galau" ujar Kiya acuh. 

Mereka kini berjalan beriringan. Keluar dari jalan beraspal, menuju jalan setapak yang mengarah ke perkebunan masyarakat. Batasan antara kawasan kampus dan perkampungan warga memang sering kali tidak ditemukan, terutama pada titik - titik yang tersembunyi seperti ini. Semakin masuk ke dalam, semak belukar yang tumbuh semakin rimbun. Mereka mulai berjalan satu - satu. Beberapa ranting bergesekan dengan lengan Kiya yang mulai terasa gatal. Di depannya, Pay menjulang tinggi, mulai merasakan sensasi mengganggu yang sama. Ia mengibaskan tangan di sekitar telinga dan kepalanya. Berusaha menghilangkan hewan - hewan kecil yang berterbangan disekitarnya, entah bernama apa. 
"Kok kayak ada suara air ya" Kiya bertanya setelah mendengar suara lain di tengah jangkrik yang mulai bersautan. 
"Iya emang disini ada kali kecil, entar juga lu liat" Pay menerangkannya. Kiya masih bertanya - tanya bagaimana Pay bisa menemukan tempat begitu terpencil seperti ini, dan mengunjunginya sendiri. 
Perlahan ia melihat rimbun semak mulai semakin jarang, dan disanalah mengalir sungai kecil yang merupakan saluran irigasi persawahan. Tempat yang Pay tunjukkan ternyata begitu sederhana, lahan persawahan warga. 

"Jadi ujung - ujungnya lu ngajakin gua ke sawah?" Kiya bertanya kepada anak laki - laki di sampingnya yang sudah berkacak pinggang. Pay sedang memejamkan mata dan mengambil nafas dalam - dalam. Senyumnya menghiasi parasnya, menunjukkan ekspresi serupa kemenangan seorang atlet setelah berkilo - kilo lomba lari. Sejenak hening sampai Pay membuka matanya dan memalingkan wajah ke arah Kiya dengan begitu cerianya. Seolah berada di pinggiran kali irigasi telah menyuntikkan energi baru yang tidak dapat ditemukannya di manapun, kecuali di tengah - tengah area persawahan, karena selanjutnya itulah yang ia lakukan. 

Kaki jenjangnya mengambil langkah panjang untuk menyeberang aliran sungai irigasi. Sekarang, Pay sudah berdiri diantara pematang sawah, menuju pembatas yang lebih lebar. Pembatas yang sudah diplester dengan semen untuk membatasi area persawahan dengan sungai yang lebih besar. Pay mengambil posisi dan duduk di sana. Kakinya menjuntai, menggantung di samping pembatas seolah menggoda aliran sungai dibawah untuk membasahi sepasang kaki yang kini sudah tanpa alas. 
"Sini dah, coba lu duduk di sini" Ia memanggil Kiya di ujung sana, yang sudah mulai menyesali perjalanannya sore ini. Namun, seperti biasanya, meski awalnya tidak suka, pada akhirnya antusiasme Pay selalu berhasil membujuknya untuk menuju kemanapun ia mengarahkannya. Dengan susah payah, akhirnya gadis yang langkahnya sering kali ceroboh itu sampai juga di pembatas sawah yang sama. Tidak perlu waktu lama untuk mengistirahatkan badannya sejenak, duduk di samping Pay. 

"Tenang banget kan Ya disini" ujar Pay sambil memandang ke sekeliling persawahan. Hanya tanaman padi di sekitar mereka. Daunnya yang hijau sudah meninggi, mungkin akan berbunga sebentar lagi. Tanpa ia sadari, warna jingga ternyata sudah merajai langit di atas mereka. Walaupun, beberapa semburat biru masih menghiasi langit senja kala itu. 

"Lu sebenernya lagi mikirin apa Pay?" Kiya menanyakan hal yang sudah mengganggu pikirannya selama acara sepedaan sore itu, bahkan sudah dimulai sejak beberapa hari lalu. 
"Tau aja lu, keliatan banget ya emang?" Pay menatapnya tepat di kedua mata coklatnya. 
"Yah kayak baru kenal lu kemaren aja, lu tuh kalo ada sesuatu kan keliatan banget emang". Pay hanya menjawab dengan setengah senyumannya. 
"Bentar lagi kita wisuda loh Ya" akhirnya ia mulai bercerita.
"Terus kenapa?" Menurut Kiya, tidak ada yang mengejutkan dari hal itu  
"Lu gak takut emang kehilangan ini semua?" Pay melanjutkan. 
"Maksudnya?"
"Yaa ini semua, temen - temen, hidup kita di kampus, keseruan jadi mahasiswa" ada yang patah dalam cerita Pay. Kiya mengerti benar bahwa temannya yang satu ini sedang serius, meski memang bukan Pay seperti biasanya. 
"Ya takut sih, tapi kan harus dijalanin" Kiya menjawabnya sembari melihat langit di atas sana yang semakin gelap. 
"Iya sih" ujar Pay, ia mulai menunduk mengamati aliran air di bawah kakinya sendiri. 
"Tenang aja Pay, gua tau, kita sama - sama gak tau apa yang akan terjadi di depan sana. Tapi, gua selalu percaya kalau hidup itu kayak roller coaster, dan kita sekarang ada di puncaknya. Jadi sebenernya ya normal aja kalo kita takut menuju ke bawah. Kembali ke rumah, rasanya pasti kayak mulai dari nol lagi. Tanpa temen - temen, ataupun kegiatan yang heboh - heboh menyita waktu dan tenaga kayak kemarin itu. Pasti berat, pasti sepi. Tapi saat itu justru kita tetep harus jalan kan, biar roller coasternya melaju lagi sampai akhirnya dia ketemu jalan menanjak lainnya, yang akhirnya mengantarkan kita kembali ke atas. Akhirnya kita ngerasain lagi deh rasanya ngeliat dunia dari tempat yang lebih tinggi" Pay masih mendengarkan gadis di sampingnya dengan seksama. 
"Intinya Pay, gua gak bisa ngejanjiin apapun yang akan terjadi. Tapi yang gua percaya, suatu hari, kita pasti akan ngerasain kayak gini lagi. Meskipun pada tempat dan dengan orang yang berbeda, tapi rasanya pasti sama menyenangkannya karena memang hidup kayak gitu kan. Pasti ada naik turunnya. Kita cuma gak boleh berhenti. Istirahat gapapa, jalan pelan - pelan gapapa. Tapi jangan berhenti" Kiya kini menghadap Pay yang sedang mendengarkannya dengan seksama. 

"Lah tumben bener juga lu" Kini Pay tampak sumringah. Seperti biasa, Pay selalu menerima kata - kata Kiya serupa rumah terhadap penghuninya yang pulang dalam keadaan lelah. Hangat, tanpa sedikitpun penolakan. Meskipun pada saat yang bersamaan, tanpa Pay tau, Kiya sedang mengulang kata - kata yang sama untuk dirinya sendiri. Menentramkan hati akan setiap kemungkinan - kemungkinan kehilangan setelah ini. 
"Ya, jangan lupain gua ya nanti" ujar Pay kepada Kiya, seolah membaca pikirannya.
"Enggaklah, kan lu yang lupaan"
"Wooo itu mah beda guyss" diiringi dengan Pay yang mengacak - acak rambut Kiya. Bergegas berdiri karena salah satu bebannya sudah dapat diakhiri.
"Ih lu mah kebiasaaaaaannn!!!".
Siang itu terik, jalan Daan Mogot makin ramai karena pas sekali jam pulang anak - anak yang bersekolah di sepanjang jalan ini. Perjalananku siang itu hanya ditemani dengan Mc Flurry rasa cokelat. Aku tidak naik motor seperti biasanya, ia kutinggalkan di depan deretan gedung tempat les rutinku selepas sekolah. Aku memilih berjalan kaki, selain karena jalan satu arah yang merepotkan jika dilewati dengan naik motor, rasanya aku juga butuh berpikir lebih lama. Kala itu aku percaya bahwa sepertinya rimbunnya pohon di pinggir jalan akan menentramkam hati yang rasanya sedang acak - acakan. Kenyataannya, tidak juga. Dalam perjalanan aku justru memutar banyak kata - katanya yang kontradiktif dan membuatku bingung harus bagaimana. Aku kemudian mencoba mengalihkan fokus yang aku pikirkan. Bagaimana jalanan ini dipenuhi oleh banyak sekali pedagang kaki lima. Kebanyakan jajanan anak sekolah. Beberapa pedagang dipenuhi oleh anak - anak berseragam yang berdesakan. Sedangkan pedagang lain nampaknya tidak terlalu beruntung hari ini karena hanya satu dua pembeli yang menghampiri. Akhirnya mereka berkumpul di sisi lain jalan dengan pedagang lainnya, mungkin saja bertukar cerita tentang hari ini dengan rokok yang menyala di ujung jari. 

Selain pedagang itu aku juga baru menyadari tentang banyaknya pegawai kantoran yang melewati jalan yang sama. Jalan ini memang teduh pada beberapa bagian, terutama jika kamu menuju pasar lama. Sebelum jembatan penyeberangan, kamu akan menemukan bagaimana pohon besar meneduhkan jalan dengan rindangnya. Hal yang baru aku sadari, di tengah riuhnya kota, ternyata jalan ini bisa jadi nyaman juga. Aku melambatkan langkah, menyesapi bagaimana angin bertiup dibawah rimbunnya pohon besar yang aku tidak tau namanya. Beberapa pegawai kantoran berlalu lalang bersamaan. Ada yang tertawa karena canda selepas makan siang masih begitu melekat. Ada yang buru - buru dengan map di salah satu tangannya. Pakaian mereka rapih - rapih. Pasti pekerja kantoran. Rasanya menyenangkan menjadi mereka, menjadi dewasa. Orang dewasa terlihat menggoda dengan kekuatannya, seolah seragam kerja telah memberikan mereka kemampuan untuk melakukan apa saja. Belum lagi beberapa mbak - mbak, dengan sepatu hak tinggi juga riasan yang berwarna. Aku ingin seperti mereka. Kira - kira, mereka mengalami patah hati juga tidak ya?. Sepertinya tidak, toh mereka kan tampak dewasa dan siap menghadapi segala sesuatunya. Kalaupun patah hati, pasti akan terasa biasa saja. 

Aku masih berjalan, Mc Flurryku hampir habis, tapi rasanya aku belum ingin kembali. Les tambahanku masih 30 menit, sepertinya tak apa jika aku berjalan - jalan lagi. Perjalanan yang singkat di sela - sela rutinitas anak kelas 3 SMA siang ini sepertinya akan aku akhiri di Masjid Agung Ittihad. Bangunannya terletak persis di persimpangan antara Jalan Daan Mogot, Kisamaun, dan Kiasnawi. Aku selalu berpikir, jika masjid adalah manusia, pasti Masjid Agung adalah manusia yang rendah hati. Sederhana karena meski ia tidak setenar masjid lainnya, tapi tanpa sadar ia sudah memenangkan banyak hati manusia. Terlebih hatiku. Rasanya ada magnet yang membuatku selalu kembali. Bisa jadi karena meski berada di persimpangan jalan dengan banyak sekali angkot yang berhenti menunggu penumpang, Masjid ini masih terasa begitu teduhnya. Seperti ketika aku mulai memasuki gerbang di sisi kanannya. Jalannya memang tidak terlalu mulus, rusak di beberapa bagian, tapi karena aku berjalan kaki, hal ini tidak terlalu kurasakan. Sepertinya siang ini juga banyak pengunjung yang menumpang istirahat di sela - sela kegiatan mereka. Banyak motor terparkir di halamannya. Beberapa berada di depan toko - toko di sisi kanan. Aku tidak pernah terlalu memperhatikan apa yang toko - toko itu jual, karena fokusku langsung tersita oleh penjual somay di sisi kiri. Gerobaknya langsung terlihat ketika aku melangkahkan kaki pada halaman masjid pertama kali. Ini somay Bandung kesukaanku. Aku selalu kesana setiap kali ada kesempatan, bahkan sepertinya terkadang merupakan sebagian besar alasan. Satu piring 10 ribu rupiah, tanpa pare dan kentang, aku biasanya akan menambahkan bahwa aku hanya ingin somay, telur, dan kol rebus saja yang aku makan. "Iya Neng" abangnya sabar menuruti, dan menjawabku dengan logat sundanya. Kemudian aku menambahkan catatan yang lainnya yaitu jangan tambahkan sambal, cukup saus kacang dengan lebih banyak kecap, dan lengkaplah sudah satu piring Somay Bandung yang tidak akan terlupakan. 

Dengan somay di tangan, tentu saja aku langsung beralih dari Mc Flurry yang konsentrasi airnya sudah lebih banyak daripada es krimnya sendiri. Rasa somaynya masih sama sejak kali terakhir aku kesana, dan aku lekas menghabiskannya. Setelah itu aku beranjak dan menuju gedung masjid melewati sisi kanan, bagian perempuan. Rasanya makin teduh semakin aku menginjakkan kaki di pelatarannya. Beberapa pengunjung duduk di bawah rindangnya pohon. Beberapa sedang bergegas meninggalkan masjid, kembali ke aktivitasnya. Aku melangkah masuk, melepas alas kaki, segera mengambil air wudhu. Airnya terasa dingin membasahai wajahku selepas perjalanan siang - siang dibawah panasnya matahari. Rasanya menenangkan sampai ke hati. Ternyata meskipun banyak manusia di luar sana, di dalam masjid masih terasa begitu tenangnya. Mukenahnya wangi, karpetnya juga. Terasa empuk sekali menyentuh telapak kaki. Selepas solat, aku semakin betah saja disini dan tidak ingin kembali. 

Sembari memanjatkan doa kepadaNya pemilik semesta, perlahan aku teringat mengapa aku disini. Mengapa siang hari ini begitu tidak biasa. Bagaimana ajaibnya ketika aku menyadari bahwa perjalanan singkat berujung Masjid Al-Ittihad ini telah mengalihkan pikiranku untuk beberapa waktu. Serupa simulasi melupakan, seperti jalanku di siang hari ini. Awalnya aku berjalan dengan pikiran - pikiran yang tidak mengenakkan. Lalu seiring banyaknya pijakan, ternyata aku justru menemukan banyak hal - hal kecil yang membahagiakan dan sering kali luput dari pengawasan. Contohnya Mc Flurry dingin, sepiring somay, ataupun teduhnya Masjid yang menenangkan. Bagaimana semua hal - hal kecil tadi telah amat menyita ketika aku sengaja meluangkan tempat di hati dan pikiran. Sampai akhirnya aku sempurna terbawa rasa yang penuh kesyukuran, dan melupakan hal - hal yang sebelumnya memberatkan. Momentum yang hanya terjadi ketika aku mengambil jeda dari segala keriuhan pikiran. 

Ketika melangkahkan kaki keluar dari Masjid, aku tersenyum dalam hati. Ternyata begini rasanya menjadi lebih ringan. Tanganku kosong tapi pikiranku kini memiliki kunci untuk setiap patah hati di masa nanti, bahwa yang terpenting adalah terus saja berjalan tanpa henti. Lelah tak apa, asalkan jangan pernah lupa mensyukuri hal - hal kecil yang ternyata masih kita miliki.


Rayu kembali datang malam ini. Seperti biasanya ia tidak sedang berani. Parasnya dipenuhi ketakutan yang berdetak seiring dengan denyut nadi. Kedua mata bulatnya dipenuhi rasa cemas dan khawatir. Di dalam dadanya, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku dapat merasakannya, seolah kami hidup dalam tubuh yang sama. Ia mulai kesulitan untuk mengambil nafas, sehingga setiap tarikan hanya dapat dilakukan satu - satu. Kepalanya hanya bisa menunduk melihat kaki yang tidak beralaskan apapun di atas tanah. Bahunya naik turun, pertanda bahwa tangisannya yang sunyi ternyata dapat mengguncang tubuh mungil yang sendiri. Helai - helai rambut ombaknya semakin menutupi kedua pipi yang sudah basah karena air mata sejak tadi.

Aku menghampirinya perlahan. Memeluknya meski ragu - ragu, aku takut ia pergi karena menyangka pelukanku salah arti. "Aku gak akan nyakitin kamu" ujarku. Kedua lenganku merentang, dan Rayu tetap berjaga pada posisinya yang semula. "Aku peluk gapapa ya, pada lenganku kamu bisa menangis selamanya" aku kembali mendekat. Menghilangkan jarak di antara kami berdua. Ia melihatku, parasnya mungil, selayaknya anak kecil. Tatapannya seolah bercerita bahwa hidupnya hanya dipenuhi sepi. "Jangan sedih, mulai saat ini kamu gak akan sendiri" aku berusaha meyakinkannya. Aku berharap ia percaya. "Aku memang masih terlalu banyak kurang, tapi aku gak akan berhenti berusaha agar kamu gak kesepian. Kamu cukup bilang aku ketika kamu ingin main keluar atau kemanapun yang kamu inginkan" aku terus bicara, Rayu mendengarkan dengan seksama. "Ada yang bilang kepadaku bahwa kamu ingin sekali bisa terbang ya?" Rayu mengangguk, tanpa kata tapi tangisnya mulai mereda. Aku tersenyum "Aku nggak bisa janji, tapi aku akan selalu ada untuk menemani kamu belajar terbang melintasi bumi. Suatu hari kita akan bebas terbang kemanapun yang kita inginkan. Sabar - sabarlah ya sampai waktunya". Aku tau Rayu percaya. 

"Kini kamu aman. Kamu hanya harus percaya bahwa kamu dapat melakukan setiap hal yang merupakan mimpi - mimpi. Kamu dapat berjalan lagi. Allah gak akan membiarkanmu sendiri. Ia selalu membersamai" 
Bahkan ketika aku semakin mengerti bahwa hidup ini hanyalah runtutan kejadian yang lebih banyak dipenuhi ketidakbahagiaan, doaku masih berharap bahwa kamu adalah pengecualian. Jika bukan lebih banyak kebahagiaan yang mengisi, aku harap terdapat sekian masa dalam hidupmu dimana akhirnya kamu menemukan bahagia karna bertemu rumah tempatmu berkeluh kesah. Rumah yang senantiasa mendampingi ketika hidup menjadi seharusnya hidup, yang penuh dengan ujian, ketidakbahagiaan. Rumah yang tidak lelah mengingatkan bahwa meskipun kamu punya seribu alasan untuk berhenti bertahan, keputusasaan tetap bukan suatu pilihan. Bahwa esensi hidup memang bukanlah untuk mencari kebahagiaan.

Ah tapi aku salah sepertinya. Kamu mungkin lebih mengerti soal hal - hal semacam ini, ya kan?
Yah anggaplah tulisan ini sebagai pengingat jika suatu hari kamu lupa. Semoga tidak ya.
Saya menulis untuk mas yang mulai menjauh. Meski tidak lagi terpisah lautan, rasanya setiap kata justru semakin sulit untuk saling merengkuh. 

Saya menulis untuk mas yang tidak lagi mendengarkan. Setiap cerita pada hari - hari biasa jadi semakin terasa menjemukan. Hal - hal sederhana yang dibagi tidak lagi terasa membahagiakan.

Saya menulis untuk mas yang tidak lagi menjawab. Monolog soal bagaimana hidup dan angan - angan berjalan, tersimpan dalam kamar kita, terus - menerus bergema. Mereka tidak lagi punya harapan, kembali menjadi sekedarnya kata, terasa hambar tanpa arti apa - apa.

Saya menulis untuk mas yang lari. Bukan kearah saya maupun rumah kita. Bukan juga kepada muara tempat digantungkannya mimpi - mimpi bersama. Arah yang sampai kini tidak saya mengerti kemana berakhirnya.

Saya menulis untuk mas yang berhenti bercerita. Tentang bagaimana hidup bisa jadi diluar ekspektasi kita. Soal hal - hal yang diusahakan tidak selalu jadi baik - baik saja, tapi pasti akan selalu ada jalannya. Soal keluarga dan mengikhlaskan. Soal jadi realistis agar kembali masuk akal setiap impian. Soal bagaimana baiknya untuk semua, bukan lagi hanya tentang diri dan keegoisan manusia. Bahwa hidup kita tidak pernah hanya jadi milik kita seorang jiwa.

Saya menulis untuk mas yang belum bisa menerima kehadiran saya. Akhirnya saya mengerti, tujuan yang sama tidak lantas membuat kita berada dalam satu jalan menujunya. Mas memilih berjalan berjauhan, sedangkan tangan saya masih sepenuhnya percaya bahwa kita akan sampai hanya ketika masing - masing sela jari terisi. Mungkin mas masih ingin berkejaran dengan diri sendiri. Atau mungkin memang bukan saya, seseorang yang terasa sepadan untuk mendampingi. 

Saya menulis untuk mengingat mas seutuhnya. Meski penuh sayang tapi tetap berada pada kesadaran logika. Bahwa saya tidak lagi punya rumah dalam kehadiran mas seperti biasanya. Bahwa pada satu titik saya harus benar - benar berhenti, karna tidak semua hal dapat saya usahakan keberadaannya. Bahwa beberapa hal butuh dua pasang langkah kaki yang beriringan, bersama - sama. Sesuatu yang saya tidak lagi memilikinya.

Aku menulis untuk kamu di penghujung hari, yang meski lelah tapi tetap memberi tahu bahwa kita baik - baik saja. Hanya berkurang waktu untuk bersua, sama sekali bukan soal berkurangnya rasa.

Aku menulis untuk kamu yang menempuh sekian jarak hingga sampai rumah. Agar bertemu Bapak dan Mama. Sehingga mereka tau, ada yang tidak main - main dengan anak satu - satunya.

Aku menulis untuk kamu yang begitu rapuhnya bercerita. Soal keluarga yang rahasianya tidak pernah dibagi dengan orang lainnya. Saat itu, aku harap hanya aku yang kamu percaya.

Aku menulis untuk kamu yang berbangga. Bahkan dengan pencapaian yang amat sederhana. Serupa keberanian karna berani mencoba, ujarmu, meski gagal setidaknya aku sudah berusaha. 

Aku menulis untuk kamu yang begitu sederhana membumi. Memantapkan pijakan untuk aku yang pikiran dan hatinya seringkali melangit terlalu tinggi.

Aku menulis untuk segala hal menyenangkan. Menyimpan setiap bagian yang bercela di dalam kepala, menitipkan setiap yang terasa sia - sia kepada semesta. Harapanku suatu hari, semesta kembali memberi tau seperti biasanya. Bahwa setiap kejadian pasti ada alasannya, dan tidak pernah dibumiNya, satu guguran daun jatuh tanpa terlewat dari segala takdirNya. Bahwa jika pertemuan terjadi dengan alasan, maka tak akan ada perpisahan yang merupakan kesia-siaan. Aku ingin percaya, ini juga salah satunya.
Aku gak pernah mengerti benar tentang kata - kata "Semua pasti ada hikmahnya". Sebabnya, karna perpaduan kata 'semua' dan 'pasti' dapat melahirkan ruang yang terlalu tegas dan jelas untuk aku yang sering kali abu - abu. Sampai, hari ini, ketika kejadian serupa Corona yang tadinya aku percaya benar - benar sempurna cobaan dan tak ada manfaatnya, ternyata memberikanku hikmah. Tidak hanya satu, bahkan dua. Mungkin juga akan bertambah.

Pertama, Mamaku tidak lagi berjualan rokok. Sebenarnya ini adalah permintaan Omku. Menurutnya, menjual rokok bertentangan dengan syariat yang kami percaya. Tidak lain karna rokok cenderung lebih banyak membahayakan tubuh manusia daripada memberikan manfaat kesejahteraan untuk banyak orang, bahkan bisa kubilang lebih memperkaya segelintir kelompok elit yang hidup dengan nyaman diatas lebih banyak kelompok rakyat yang merupakan konsumen mereka. Sisi ketidakbermanfaatan ini aku sepakati dengan sadar, tapi Mama tidak juga berhenti. 

Sampai datanglah Corona, dan tiba - tiba datang serupa wangsit yang membuat stok rokok warung kami minimal sampai akhirnya tidak ada sama sekali. Setelah kutanya ternyata "Kulakan rokok mahal, modalnya Mama buat beli yang lain. Lagian bagus juga sih, jadi gak sembarang orang masuk ke warung". Mendengar alasan itu, aku hanya bisa menjawab "Alhamdulillah". Yah, walaupun butuh 5 tahun, tapi bukankah lebih baik daripada tidak sama sekali?.

Kedua, kakak - kakak kesayanganku berhenti berghibah ria. Aku sayang mereka. Kecuali, ketika mereka mulai berada di satu meja, dan pembahasan soal rumah tangga orang lain mulai bertebaran ditengah cemilan yang dihabiskan. Hal ini sederhana sebenarnya. Bisa jadi lazim saja jika kamu terbiasa berada pada satu circle pertemanan dengan lebih dari 3 wanita. Sayangnya, aku tidak. Hingga pada suatu malam, aku cukup lelah mendengarkan omong kosong urusan orang lain dan memutuskan untuk berhenti mengiyakan semua ajakan kumpul - kumpul selepas pulang. Saat itu, ketidaksukaanku sampai di puncaknya. Namun tiba - tiba kesehatan Bapak kembali menurun. Ia harus dirawat selama beberapa hari dengan kondisi yang naik turun. Pada saat itu, ternyata kakak - kakak inilah yang pertama kali datang dan memberikan dukungan yang benar - benar aku butuhkan. 

Rasanya ada yang menamparku, bahwa kakak - kakakku gak sepenuhnya buruk, dan ternyata aku akan tetap menyayangi mereka sebagaimana seorang adik (yang dulunya) paling kecil di ruangan. Aku hanya harus benar - benar menjaga diri agar tidak ikut hanyut ke dalam obrolan yang bukan urusanku. Lalu datanglah Corona yang akhirnya menghentikan kebiasaan ngumpul - ngumpul dengan cemilan renyah soal masalah orang lain. Keterbatasan membuat setiap pertemuan yang mungkin, kami habiskan untuk bercerita bagaimana hari - hari berlalu, dan hal - hal yang banyak terlewatkan. Kalau nggak ada Corona mungkin kami gak akan punya prioritas obrolan yang penting dan yang benar - benar tidak penting untuk dibahas. 

Hal - hal remeh yang membuatku lebih mengerti bahwa semua kejadian memanh ada hikmahnya.
Seiring bertambahnya usia, ketakutan kita pun jadi berbeda.

Pada umur belasan, yang paling aku takutkan adalah menikah tapi tanpa cinta. Lalu berjalannya waktu, aku banyak menemui cerita soal pasangan yang tidak setia. Padahal, dulunya, ikrar diucap mantap penuh keyakinan dalam dada. Pikirnya kala itu, hal apa yang bisa menjadi salah jika cinta terasa begitu membuncah?. Akhirnya ikrar suci, gugur jua. Tiba - tiba, dua manusia menjadi punya seribu alasan untuk mengakhiri apa yang dimulai. Sederhana karna rasanya sudah tidak lagi sama di dalam hati.

Ini lebih mengerikan pikirku. Tepat ketika aku menyadari, berbicara soal hati, adalah berbicara soal hal - hal yang tidak pasti. Bagiku, muaranya adalah keyakinan, bagaimana memang hanya Ia yang sepenuhnya memiliki, Sang Maha pembolak - balik hati. Mengerikan pikirku, ketika menyadari bahwa kita tidak sepenuhnya punya andil pada perasaan sendiri, bahkan bisa jadi seluruhnya yang melekat dengan diri ini.

Tapi setelah aku pikir - pikir lagi, sebenarnya bisa jadi ketakutanku juga tidak bernilai apa - apa. Mungkin memang sebagai manusia, berubahnya hati tidak dapat dihindari. Mungkin aku harus menerima bahwa pada satu titik, kita akan merasakan cinta, dan kehilangan pada titik lainnya. Tapi akhirnya aku memaknai hati serupa aliran air yang tidak pernah sama. Bukan berarti, cinta akan selalu hilang dan tidak akan kembali akhirnya. Bahkan jika dimulai tanpa rasa apa - apa.

Mungkin oleh karna itu, agama tidak menjadikan cinta sebagai esensi paling utama dari suatu penyatuan jiwa yang dapat melintasi akhirat meski dimulai di dunia. Kini aku menyimpulkan, suatu pernikahan bukan hanya soal cinta, melainkan banyak hal lebih dari itu yang aku belum mengerti benar seutuhnya.

Mungkin pada waktu yang tepat, aku akan mengerti, entah bagaimana. Apapun alasannya, berkaca pada kedua orang tuaku yang tetap bersama meski banyak sekali hal berubah dalam puluhan tahun pernikahan, aku tau bahwa ada hal yang lebih berharga daripada cinta yang membuat suatu keluarga melangkah begitu jauhnya. 

Namun, satu yang kini aku semakin mengerti. Mungkin ketidakberdayaan manusia terhadap hati dan isinya, hanyalah salah satu pengingat bahwa hanyalah Dia Yang Maha cinta. Oleh karnanya kepadaNya juga seharusnya bergantung setiap rasa. Sepertinya, memang benar bahwa hanya dariNya, satu - satunya cinta yang dapat mencukupkan setiap yang dirasa alfa.
Allah mendengar, bahkan pada keinginan - keinginan hati paling dalam. Sebelumnya, aku berencana untuk ikut dalam prekrutan volunteer Covid-19 yang diadakan LIPI beberapa waktu lalu. Sederhana karna aku sangat ingin menjadi salah satu pion, yang mesti kecil, tapi dapat bermanfaat ditengah kekacauan pandemi ini. Rasanya sesuai dengan panggilan hati, karena toh teknis kegiatannya memiliki dasar yang sama dengan penelitianku dulu. Tapi berbicara realita, aku mengerti benar, hal itu tidak akan terjadi. Tidak mungkin orang tuaku mengijinkan anak gadis satu - satunya berhadapan dengan pandemi yang tengah menjadi kekhawatiran banyak orang. Sehingga, meski ingin, akhirnya kata - kata mama adalah batasan anak gadis yang lebih sering nekat daripada berpikirnya kalau sudah soal keinginan hati.

"Jangan, kamu dirumah aja, jagain keluarga" begitu katanya. Jawaban yang sudah aku duga sebelumnya, sehingga tidak terlalu kecewa. 

Tidak lama setelahnya, datanglah puluhan ribu order APD hazmat. Supervisorku menyerahkan order tersebut kepadaku dan salah satu senior. Order ini seperti mengingatkanku akan keinginan yang tidak jadi nyata. Doa yang tidak seberapa kuatnya, dijawab meski dengan cara yang berbeda dan sepenuhnya nggak aku sangka. Kini, jadi seperti diingatkan akan hal yang sudah aku percaya sejak lama. Bahwa Allah memang benar - benar mendengarkan doa dan keinginan hambaNya. Bahkan suara hati yang paling dalam dan tanpa suara.

Oleh karna itu, aku mengucap syukur hari ini. Bahwa, meski banyak sekali dosa memenuhi catatan kiriku, ternyata Allah tidak hentinya membersamai dan mendengarkan aku. 

Dengan ini juga aku berdoa, semoga Allah berkenan untuk memberikan nikmat sehat kepada aku, keluargaku, dan teman - temanku. Termasuk kamu, dimanapun kamu berada. Sesungguhnya, jika keinginan yang menurutku kecil dan remeh (dibandingkan segala urusan semestaNya yang jauh lebih besar) saja dikabulkan, maka aku juga ingin percaya bahwa doa ini pun akan sama dijadikan nyata olehNya.
Hi Gat. Gua tiba2 kepikiran lu aja, kadang juga sih, pas masa2 mikir, sedih atau bimbang karna sesuatu, lalu tiba2 inget lu kalo lagi ngomong yaudah, terus harus ngelakuin apa biar selesai masalahnya. 

Kadang dunia bisa bikin kita pusing dan sedih, tapi rasanya jauh lebih gampang kalau ditengah suatu kebingungan ada yang ngingetin kita akan hal2 realistis kayak gitu. Walaupun, ada yang ngingetin atau ga, gua tau, akhirnya kita akan dipaksa untuk mikir apa yang harus dilakukan agar bisa survive. Gua tau, being sad won't fix the situation. 

Tapi ada lu, rasanya jadi lebih mudah aja. Kayaknya untuk pertama kalinya gua bareng sama seseorang yang cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Mungkin karna itu justru gua yang jadi bergantung terlalu banyak. Mungkin sederhana, karna rasanya menyenangkan ada seseorang yang punggungnya terasa lebih kuat agar semua masalah gak harus dihadapi sendiri. Walaupun akhirnya gua tau, it's all up to me whether I will fix the problem or not. But your presence is something that feels like home.

I typed this in our chat history. Since the 1st word, I knew, I would cut all of this, pressed back button. Then here we are. Somehow, I do hope you would read this. But since I realized that we human, actually know nothing of the best for us, I leave it to the universe. But I really missed you, I really do. 
Pada perjalanan pulang ke rumah, dengan Bapak berada di kursi belakang. Aku sedang menahan kata - kata yang sudah sering kali aku katakan, tapi nampaknya sia - sia. 

"Sabar to Pak"

Kata - kata itu hanya sampai di pikiranku. Sesampainya di rumah, kata - kata itu tetap tidak sampai di telinga Bapak. Akhirnya aku bertanya - tanya, mengapa nampaknya aku terus saja mengulangi kalimat yang sama.

Mungkin kata - kata itu harusnya bukan untuk Bapak. Mungkin kata - kata itu harusnya aku resapi sendiri, untuk diriku pada saat seperti ini. Kata - kata yang seharusnya aku ulangi berkali - kali. 

Kata - kata mama dari suatu sore kembali di pikiranku "Bapak lucu Ta, sudah berubah, mungkin kamu jangan jadi terlalu keras juga".
Ini Mei ketiga. Tidak pernah ada dalam pikiranku bahwa proses ini akan jadi begitu lama. Proses yang tiga perempat bagiannya diisi oleh aku yang bermonolog di dalam kepala. Narasi - narasi yang di dasari oleh satu hal yang aku yakini, bahwa kamu adalah akhirnya. Jangan tanya berawal darimana, karna bagiku alasannya adalah sempurna suatu rahasia. Satu yang mungkin tidak akan pernah dapat aku logika. Terutama ketika kita berbicara soal biasanya. Biasanya aku jadi seseorang yang mudah saja pergi. Biasanya pikiranku akan menghalangimu dengan trauma ketika cerita semacam ini kembali. Biasanya aku akan jadi yang paling pelupa, tapi sepertinya semuanya tidak terjadi kali ini. 

Lalu sampailah kita di Mei ketiga. Setiap kamu pergi, doaku selalu sama. Semoga Allah melindungi, dan jika hatiku salah langkah, semoga Allah mengaburkan setiap rasa dan menajamkan logika. Sejauh ini Allah selalu menjawab doaku yang pertama, tapi sepertinya masih setia menangguhkan yang kedua. Bahkan setelah semua yang terjadi, setelah aku benar - benar berusaha. Kamu masih terasa senyata itu, bahkan pada masa - masa penting kejatuhanku. Terasa nyata bahkan ketika kamu benar - benar tidak ada. Bukankah kini aku sudah punya cukup alasan untuk meniadakan setiap keberadaan yang maya?. Tapi nyatanya tidak. 

Hey, tapi aku masih tidak menyerah untuk menerbangkan doa - doa yang sama ke langitNya. Semoga kali ini kita sama - sama menerima. Meskipun diantara setiap langkah perjalanannya, ada pesan - pesan yang selamanya tidak akan pernah terbaca. 


P.s: Semoga suatu hari kamu menyadari, bahwa pada setiap kejatuhanmu aku tidak pernah berusaha pergi. Kecuali memang dalam tiga kali Mei, ternyata masih tidak ada tempat untukku disampingmu agar dapat membersamai. 

Salatiga, 8 Mei 2020.
Dari aku yang menitipkan ucapan selamat ulang tahun di tanggal 17 nanti. Doa - doa baik pasti mengiringi.
Januari -2018.
Hujan di bulan Januari 2018 tidak seperti biasanya, lebih deras daripada cerita biasanya. Ia datang tiba-tiba tanpa suatu tanda. Menghanyutkan beberapa hal dengan deras airnya. Membuat kami dipaksa melupakan segala yang hilang dengan cara mengikhlaskan. Aku jadi teringat bahwa dari banyak hal yang bisa diusahakan, pilihan untuk bernafas atau tidak ternyata bisa jadi sederhana ada di kedua tangan kita. Tersimpan dalam nadi yang terlihat biru, mengalir, menggoda. Satu sayatan dan selesailah sudah segala pesakitan yang di rasa.
---------------------‐-------------------------------------------------------------
Tulisan di atas ditulis pada suatu malam di bulan Januari. Aku biarkan tidak selesai sampai hari ini. Tulisan yang terasa terlalu dalam saat itu, seolah kalau aku teruskan, bisa membuat dinding yang menjebakku menjadi semakin tinggi. Sedalam itu, tapi ternyata aku masih cukup beruntung karna mampu berdiri sampai saat ini. Alasannya adalah paragraf lanjutan, yang aku tulis lebih dari dua tahun setelahnya. Tulisan ini aku cukupkan sehingga lingkaran cerita jadi sempurna. Mungkin karna lingkaran yang sempurna tidak akan pernah jadi lupa.
---------------------‐-------------------------------------------------------------
Mei - 2020.
Tampaknya mudah, tapi, sebagai ruh yang pernah berjanji pada suatu waktu sebelum sampai di bumi, aku masih menghidupkan suatu ikrar dalam hati. Bahwa aku akan masih ada di dunia, sampai Allah menentukan sebaliknya, apapun yang terjadi.


Jadi, tahun lalu, hari gini, aku kemungkinan masih berada di depan meja kerja. Berusaha menyelesaikan rentetan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Kerjaanku benar - benar gak tau bulan puasa. Pada salah satu malam pada masa - masa semacam itu, tiba - tiba salah seorang kakak datang dengan tawa yang penuh arti ke mejaku sembari bertanya.

"Cieee, jadi tadi siang akhirnya dia beli apa?"

"Kok beli sih mbaaa, orang nanyain material" ujarku. Masih keheranan karna tiba-tiba membahas kedatangan 'dia' yang akhir - akhir ini sering sekali di jodoh - jodohkan denganku, entah karna apa.

"Loh kok material, dia ngapain nanyain material"

"Ya nggak tau, aku juga heran sebenernya, tapi yaudahlah punya Mba fe juga" ujarku sambil melanjutkan pekerjaan.

"Jadi sebenernya, tadi siang tuh kubilang, kalo kamu jualan kue - kue lebaran. Dia excited dan bilang mau beli, tapi ngomongnya ke aku. Ya aku gak mau lah ya, makanya kusuruh bilang ke kamu langsung hehe hehe"

"Loh, dia calon customerku berarti, kok gak jadiiii" ujarku kaget.

"Iya, tapi malah nanyain material. Pas ngomong sama kamu jadi salting kayaknya. Cieee" ujar seorang mba yang kemudian meninggalkanku di meja itu sambil berpikir entah apa.

Selepasnya, aku jadi berpikir. Iya ya, kan bukan kerjaannya dia minta material. Tapi kan mungkin anaknya peduli banget sama kerjaan, jadi apa - apa ditanyain. Ih lagian kenapa sih gak jadi nanyain kukis aja. Kalo beli satu atau dua toples kan lumayan.

Tapi kalo dipikir - pikir, setelah aku info kalau Mba Fe udah bisa ditelfon balik, toh dia gak telfon. Berarti nanyain material tadi gak penting? Kenapa ditanyain coba.

Tiba - tiba aku jadi ingat kata - kata Mba Fe setelah aku ceritakan kedatangannya yang tiba - tiba di belakang mejaku.

"Ih aneh banget, aku seumur - umur nggak pernah ditanyain material sama bagiannya dia. Cuma pas dia ke kamu aja nih. Ciee"

Aku kembali berubah jadi kepiting rebus.

Duh. Bener - bener ya netizen itu emang paling jago bikin halu.

Lalu setiap kamu yang membaca akan bertanya - tanya bagaimana akhir dari kehaluan malam itu. Jawabannya adalah kami sempat hampir terjadi, tapi tidak sampai memenuhi seluruh ekspektasi. Cerita itu bisa dikatakan selesai tanpa patah hati, atau kesedihan yang berarti. Bahkan rasanya ringan saja untuk kembali berjalan lagi

Terus kenapa aku abadikan disini? Karna sederhana menggemaskan dan gak mau aku lupakan. Karna kejadian itu aku jadi teringat salah satu doa - doa gak penting pada masa abg di jamannya.

"Ya Allah, pengen deh sekali aja ngerasain dinotice balik sama idola" idola yang ganti - ganti, tergantung siapa makhluk Tuhan yang kurasa keren pada masanya.

Doa yang dikabulkan pada umur ke-24. Aku tau Allah Maha Mendengar, tapi kadang - kadang suka heran, kenapa doa - doa yang receh kayak gini kok ya jadi nyata, meskipun sudah beberapa tahun setelahnya, bahkan ketika aku sudah lupa. Jadi mikir, jangan - jangan ada maknanya ya.

Aku jadi teringat, masa - masa itu adalah waktu dimana aku amat mencintai diriku sendiri. Pertama kalinya selama hidup di bumi, aku merasa cukup, merasa berarti. Bahwa aku sudah terasa lengkap sebagai seorang manusia, juga seorang wanita. Meskipun tanpa siapa - siapa dan ternyata itu bagian terbaiknya. Aku jadi menemukan diriku yang lain. Diriku yang lebih menarik karna berbagai hal, karna gak terlalu khawatir dengan masa depan, karna tetap merasa cantik meskipun lagi breakout atau ketika rambutku lagi keriting - keritingnya, karna merasa kuat setelah survive dikerjaan yang nyiksa, karna semua yang ganjil rasanya jadi genap meskipun kadang aku lelah berusaha.

Seingatku, kala itu  aku dihujani oleh banyak energi positif karna cinta dari diri sendiri. Sepertinya hal itu yang kemudian memungkinkan hal - hal menyenangkan untuk terjadi. Konklusi yang aku amini sebagai makna yang harus kuingat ketika masa - masa sedih seeperti ini. Bahwa yang paling penting adalah mencintai dengan cukup kepada dirimu sendiri, lainnya akan mengikuti. Bisa jadi bahkan impian - impian yang lebih penting dari receh seperti ini.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ▼  2020 (46)
    • ▼  September (8)
      • Jogja dan Syafi'i
      • Laboratorium
      • Bahagia
      • Eulogi
      • Berpulang
      • Skinny
      • Pukul 5 pagi
      • Sia - sia
    • ►  Agustus (8)
      • A Game
      • Tranggulasih
      • Panjang Umur Wanita
      • Retorika
      • can I be such an asshole sometimes?
      •  Ta, besok kalau mau jatuh cinta lagi, ingat - ing...
      • Palung Mariana
      • La Tahzan
    • ►  Juli (7)
      • Sepeda Merah Muda
      • jam tangan hijau tosca
      • exile
      • Kalau Bertemu Lagi
      • Di Belakang Kampus
      • Tangerang
      • Rayu
    • ►  Juni (4)
      • semoga kamu selalu ingat
      • bagian yang sebaliknya
      • bagian yang menyenangkan
      • hikmah corona
    • ►  Mei (6)
      • menikah tanpa rasa
      • Covid-19 dan keinginan remeh Dita
      • once in chat history.
      • sabar
      • Mei ketiga. semoga Mei keempat lebih menyenangkan ...
      • hujan di bulan Mei 2020
    • ►  April (5)
      • kukis tahun 2019
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates