Palung Mariana

Hal yang paling kuingat dari bulan Februari 2017 adalah hujan yang selalu menyertai sepanjang bulan itu, kecuali pada beberapa hari yang tidak terduga. Aku tidak heran sebenarnya. Karena kehadiran mas saat itu memang serupa matahari di atas langitku yang kelabu karena laki - laki. Menghangatkan bumiku yang lembab, menggantinya dengan cahaya yang menyinari.

Jika mas gak ingat, gak apa. Justru bersyukurlah, karena aku pernah begitu keras berdoa agar lupa. Meskipun pada akhirnya aku memilih untuk tetap mengingat sepenuhnya, menyimpan dendam dengan cara paling apik sejagat raya. Aku menuliskan mas untuk yang terakhir kalinya. Aku mengabadikan satu - satunya pembalasan dendamku, tanpa doa buruk, tanpa sedikitpun cerca. Bahkan sepertinya kutulis sepenuhnya untuk diri ini dan setiap luka yang dirasa. Aku hanya akan meminta kepada semesta agar entah bagaimana, akhirnya mas membaca. 

Sebagai pembuka, aku akan berkata bahwa aku tau. Aku tau soal Bandung dan segala pengacuhan mas terhadap segala pesanku. Aku juga tau dia, hal yang mungkin mas tidak akan pernah sangka. Gak apa, disini aku berdoa, semoga mas dan dia selalu bahagia. 

Aku hanya ingin mas tau, bahwa mas telah membawaku ke satu tempat yang terasa begitu familiarnya. Bukan ke mimpi - mimpi atau ruang tamu orang tuaku. Melainkan ke ruang yang sepenuhnya gelap gulita. Di dalamnya tidak ada apapun selain aku dan beberapa suara. Semakin lama semakin riuh memekakkan telinga. Semuanya bergantian, saling mengisi setiap jeda, membuat dadaku terasa semakin sesak saja. Tanpa sadar di salah satu sudut kegelapannya, aku sudah tenggelam tanpa pegangan apa - apa. 

Mau tau tidak apa yang ku dengar?

Pertama adalah suara tawa, karena aku kembali menjadi sekedar salah satu dari beberapa pilihan. Suara itu saling berkejaran, agar jadi yang paling didengarkan oleh telinga. Berlomba untuk mengejekku, karena lagi - lagi menjadi bagian yang tidak terpilih, kehilangan warnanya. 

Aku belum pernah ke palung Mariana, tapi aku bisa membayangkan mungkin akan begini rasanya jika sampai ke kedalamannya. Awalnya setiap tekanan air laut akan mengisi sela yang ada. Semakin lama akan mengambil alih berat tubuhku, menekannya dari setiap penjuru. Tanpa sadar aku tiba - tiba lebur menjadi berjuta partikel. Bersatu dengan ombak lautan, perlahan sempurna menjadi ketiadaan. Aku kehilangan diriku di tengah lautan prasangka soal ketidakcukupan. Semuanya pasti karena aku yang serba tidak cukup, sehingga berujung kepada penyisihan.

Kedua, adalah bisikan yang dihembuskan terlalu dekat, sampai bulu halus di tengkukku berdiri seluruhnya. Di antaranya, butiran - butiran keringat mulai terbit karena kekhawatiranku sudah berubah menjadi segumpal besar ketakutan. Ketakutan yang lahir di antara setiap bisikan yang berisi ramalan masa depan soal kehilangan. Kehilangan yang lebih besar dari mas, ataupun setiap laki - laki sebelum mas. Kehilangan kepercayaan.

Untukku, kepercayaan serupa tempat tidur di kamarku yang nyaman. Di atasnya, aku merehatkan pundak yang kelelahan, mendiamkan setiap kecemasan. Tidak lain karena akhirnya, hanya dengan jeda kita punya tenaga untuk menghadapi pagi di keesokan hari. Agar dapat berlari mengejar segala mimpi. Agar mantap langkah kaki untuk dapat memulai lagi. Ramalan yang kini menghantuiku. Merebut tempat istirahatku, dan mungkin benar bahwa kehilangan kepercayaan hanyalah soal waktu. Meninggalkanku dengan hanya berbekal doa, semoga ramalan itu tidak lebih dari angin lalu. Semoga aku masih dapat percaya, dan memulai lagi pada suatu waktu.

Mas, maaf ya, aku terlalu banyak bercerita. Aku tau mas tidak suka. Setidaknya, semoga ini adalah kali terakhir mas membacanya, karena aku juga amat ingin ini jadi akhirnya. Mas, sudah beberapa waktu aku disini. Suara - suara itu kadang hilang, kadang muncul lagi. Aku masih berusaha berdiri sesekali. Kadang berhasil, seringnya tidak. Ternyata tidak mudah mengumpulkan konsentrasi di tengah setiap suara yang berusaha menguasai.

Namun, mas tentu masih ingat, bahwa aku bukan gadis yang mudah menyerah. Sehingga aku sudah menentukan, pembalasan dendamku akan jadi suatu usaha tanpa henti untuk keluar dari sini. Meskipun sebelum itu, aku harus jujur bahwa aku tidak suka diperlakukan seperti itu. Aku hancur ketika setiap kepercayaan diriku roboh begitu saja. Aku juga marah karena percayaku dicuri dan akhirnya jadi sia - sia. Tapi akhirnya aku mengerti, alasan paling mendasar aku berada disini. 

Aku tidak pintar menjaga diri.

Sepenuhnya kesalahanku, tapi boleh ya aku minta sesuatu terakhir kali. Tolong jangan lakukan ini kepada siapapun yang selanjutnya kamu temui. Karena ternyata yang paling buruk bukan menghancurkan apa yang pernah gadis itu miliki, tapi justru meluluh lantahkan setiap kepercayaannya terhadap diri sendiri atau siapapun orang di masa depannya nanti. Bukankah akan terasa egois sekali karena menghancurkan sesuatu yang akan ia bawa sampai entah, sampai mungkin hanya Tuhan yang dapat membuatnya berhenti.

0 comments