Tangerang

Siang itu terik, jalan Daan Mogot makin ramai karena pas sekali jam pulang anak - anak yang bersekolah di sepanjang jalan ini. Perjalananku siang itu hanya ditemani dengan Mc Flurry rasa cokelat. Aku tidak naik motor seperti biasanya, ia kutinggalkan di depan deretan gedung tempat les rutinku selepas sekolah. Aku memilih berjalan kaki, selain karena jalan satu arah yang merepotkan jika dilewati dengan naik motor, rasanya aku juga butuh berpikir lebih lama. Kala itu aku percaya bahwa sepertinya rimbunnya pohon di pinggir jalan akan menentramkam hati yang rasanya sedang acak - acakan. Kenyataannya, tidak juga. Dalam perjalanan aku justru memutar banyak kata - katanya yang kontradiktif dan membuatku bingung harus bagaimana. Aku kemudian mencoba mengalihkan fokus yang aku pikirkan. Bagaimana jalanan ini dipenuhi oleh banyak sekali pedagang kaki lima. Kebanyakan jajanan anak sekolah. Beberapa pedagang dipenuhi oleh anak - anak berseragam yang berdesakan. Sedangkan pedagang lain nampaknya tidak terlalu beruntung hari ini karena hanya satu dua pembeli yang menghampiri. Akhirnya mereka berkumpul di sisi lain jalan dengan pedagang lainnya, mungkin saja bertukar cerita tentang hari ini dengan rokok yang menyala di ujung jari. 

Selain pedagang itu aku juga baru menyadari tentang banyaknya pegawai kantoran yang melewati jalan yang sama. Jalan ini memang teduh pada beberapa bagian, terutama jika kamu menuju pasar lama. Sebelum jembatan penyeberangan, kamu akan menemukan bagaimana pohon besar meneduhkan jalan dengan rindangnya. Hal yang baru aku sadari, di tengah riuhnya kota, ternyata jalan ini bisa jadi nyaman juga. Aku melambatkan langkah, menyesapi bagaimana angin bertiup dibawah rimbunnya pohon besar yang aku tidak tau namanya. Beberapa pegawai kantoran berlalu lalang bersamaan. Ada yang tertawa karena canda selepas makan siang masih begitu melekat. Ada yang buru - buru dengan map di salah satu tangannya. Pakaian mereka rapih - rapih. Pasti pekerja kantoran. Rasanya menyenangkan menjadi mereka, menjadi dewasa. Orang dewasa terlihat menggoda dengan kekuatannya, seolah seragam kerja telah memberikan mereka kemampuan untuk melakukan apa saja. Belum lagi beberapa mbak - mbak, dengan sepatu hak tinggi juga riasan yang berwarna. Aku ingin seperti mereka. Kira - kira, mereka mengalami patah hati juga tidak ya?. Sepertinya tidak, toh mereka kan tampak dewasa dan siap menghadapi segala sesuatunya. Kalaupun patah hati, pasti akan terasa biasa saja. 

Aku masih berjalan, Mc Flurryku hampir habis, tapi rasanya aku belum ingin kembali. Les tambahanku masih 30 menit, sepertinya tak apa jika aku berjalan - jalan lagi. Perjalanan yang singkat di sela - sela rutinitas anak kelas 3 SMA siang ini sepertinya akan aku akhiri di Masjid Agung Ittihad. Bangunannya terletak persis di persimpangan antara Jalan Daan Mogot, Kisamaun, dan Kiasnawi. Aku selalu berpikir, jika masjid adalah manusia, pasti Masjid Agung adalah manusia yang rendah hati. Sederhana karena meski ia tidak setenar masjid lainnya, tapi tanpa sadar ia sudah memenangkan banyak hati manusia. Terlebih hatiku. Rasanya ada magnet yang membuatku selalu kembali. Bisa jadi karena meski berada di persimpangan jalan dengan banyak sekali angkot yang berhenti menunggu penumpang, Masjid ini masih terasa begitu teduhnya. Seperti ketika aku mulai memasuki gerbang di sisi kanannya. Jalannya memang tidak terlalu mulus, rusak di beberapa bagian, tapi karena aku berjalan kaki, hal ini tidak terlalu kurasakan. Sepertinya siang ini juga banyak pengunjung yang menumpang istirahat di sela - sela kegiatan mereka. Banyak motor terparkir di halamannya. Beberapa berada di depan toko - toko di sisi kanan. Aku tidak pernah terlalu memperhatikan apa yang toko - toko itu jual, karena fokusku langsung tersita oleh penjual somay di sisi kiri. Gerobaknya langsung terlihat ketika aku melangkahkan kaki pada halaman masjid pertama kali. Ini somay Bandung kesukaanku. Aku selalu kesana setiap kali ada kesempatan, bahkan sepertinya terkadang merupakan sebagian besar alasan. Satu piring 10 ribu rupiah, tanpa pare dan kentang, aku biasanya akan menambahkan bahwa aku hanya ingin somay, telur, dan kol rebus saja yang aku makan. "Iya Neng" abangnya sabar menuruti, dan menjawabku dengan logat sundanya. Kemudian aku menambahkan catatan yang lainnya yaitu jangan tambahkan sambal, cukup saus kacang dengan lebih banyak kecap, dan lengkaplah sudah satu piring Somay Bandung yang tidak akan terlupakan. 

Dengan somay di tangan, tentu saja aku langsung beralih dari Mc Flurry yang konsentrasi airnya sudah lebih banyak daripada es krimnya sendiri. Rasa somaynya masih sama sejak kali terakhir aku kesana, dan aku lekas menghabiskannya. Setelah itu aku beranjak dan menuju gedung masjid melewati sisi kanan, bagian perempuan. Rasanya makin teduh semakin aku menginjakkan kaki di pelatarannya. Beberapa pengunjung duduk di bawah rindangnya pohon. Beberapa sedang bergegas meninggalkan masjid, kembali ke aktivitasnya. Aku melangkah masuk, melepas alas kaki, segera mengambil air wudhu. Airnya terasa dingin membasahai wajahku selepas perjalanan siang - siang dibawah panasnya matahari. Rasanya menenangkan sampai ke hati. Ternyata meskipun banyak manusia di luar sana, di dalam masjid masih terasa begitu tenangnya. Mukenahnya wangi, karpetnya juga. Terasa empuk sekali menyentuh telapak kaki. Selepas solat, aku semakin betah saja disini dan tidak ingin kembali. 

Sembari memanjatkan doa kepadaNya pemilik semesta, perlahan aku teringat mengapa aku disini. Mengapa siang hari ini begitu tidak biasa. Bagaimana ajaibnya ketika aku menyadari bahwa perjalanan singkat berujung Masjid Al-Ittihad ini telah mengalihkan pikiranku untuk beberapa waktu. Serupa simulasi melupakan, seperti jalanku di siang hari ini. Awalnya aku berjalan dengan pikiran - pikiran yang tidak mengenakkan. Lalu seiring banyaknya pijakan, ternyata aku justru menemukan banyak hal - hal kecil yang membahagiakan dan sering kali luput dari pengawasan. Contohnya Mc Flurry dingin, sepiring somay, ataupun teduhnya Masjid yang menenangkan. Bagaimana semua hal - hal kecil tadi telah amat menyita ketika aku sengaja meluangkan tempat di hati dan pikiran. Sampai akhirnya aku sempurna terbawa rasa yang penuh kesyukuran, dan melupakan hal - hal yang sebelumnya memberatkan. Momentum yang hanya terjadi ketika aku mengambil jeda dari segala keriuhan pikiran. 

Ketika melangkahkan kaki keluar dari Masjid, aku tersenyum dalam hati. Ternyata begini rasanya menjadi lebih ringan. Tanganku kosong tapi pikiranku kini memiliki kunci untuk setiap patah hati di masa nanti, bahwa yang terpenting adalah terus saja berjalan tanpa henti. Lelah tak apa, asalkan jangan pernah lupa mensyukuri hal - hal kecil yang ternyata masih kita miliki.

0 comments