Suatu ketika, kita berada dalam satu ruangan pada sisi yang berlainan. Kamu berdiri di sampingnya, lenganmu rekat karena hatimu aman disimpannya. Kalian bersisian, dengan aku yang tidak bisa apa - apa. Rasanya ada yang menderu, serupa rasa dari masa lalu. Pernah berdiri dengan gagahnya di tempat laki - laki itu adalah aku. Membanggakanmu dengan banyak cerita pencapaian, dengan lain waktu memeluk setiap kegagalan agar dalam hatimu tercipta kelapangan. Saat itu, mimpi kita saling bertautan. Meski aku belum mengerti benar tentang arti berpasangan, tapi yang aku tau, kamu adalah esensi dari masa depan. Oleh karena itu, kamu menjadi serupa kota yang menenangkan, aku berdiam di dalamnya. Kamu adalah ujung dari setiap usaha - usaha. Tidak lain agar kamu bahagia. Satu - satunya alasan yang pada akhirnya kembali serupa bumerang dengan api menyala. Meluluh lantahkan kota yang setiap sudutnya dihiasi oleh cerita - cerita. Di dalamnya kita tidak lagi bahagia. Setiap sisi yang tadinya taman bunga, kini hanyalah abu tanpa warna. Aku dipaksa keluar dari kota karena api yang menyala.
Kemudian aku tersadarkan, untuk berhenti memainkan lagu - lagu nostalgia tentang kala ketika. Ini adalah cerita yang sudah kutau akhirnya. Membiarkan kepalaku mengatur langkah kaki menuju pintu keluar yang berlawanan dengan kamu dan dia. Aku melihatmu terakhir kali dan tawamu ternyata masih melumpuhkan logika. Aku ingin menangis agar tidak sesak rasanya di dalam dada. Tapi tidak malam ini, ataupun banyak malam setelahnya. Pada akhirnya, aku hanyalah laki - laki biasa tanpa mesin waktu di dalam lemarinya, sehingga satu - satunya yang bisa kumainkan adalah kata seandainya atau suatu jika. Jika saja aku cukup membaca setiap tanda bahaya, akankah kini jadi berbeda?
---------
Suatu ketika, kita berada dalam satu ruangan pada sisi yang berlainan. Aku berlindung di sisinya dari setiap kenangan yang mungkin tidak sengaja kamu bawa bersamaan. Lenganku masih erat bertautan dengan satu - satunya cahaya setelah banyak sekali malam penuh dengan keputus asaan. Aku bergantung sekuat tenaga, karena melihatmu berdiri di sisi yang berbeda justru membuat luka semakin menganga. Ingin sekali pergi, tapi hatiku sudah lelah pada banyak sekali pelarian yang akhirnya kehilangan arti. Seringkali justru kembali pada titik awal lagi. Akhirnya langitku pasrah dihujani memori. Serupa hujan yang riuhnya bising, mengaburkan setiap kehadiran manusia lain di ruangan ini. Menyisakan kamu yang menyala serupa inti matahari. Mengingatkanku soal mimpi - mimpi yang kita rajut penuh dengan hati - hati. Berulang kali mengingatkan bahwa kamu tidak pernah sendiri. Berusaha memeluk setiap ketakutanmu dengan selalu berada di sisi. Tanpa disadari, ternyata usahaku kembali serupa bumerang dengan nyala api. Meluluh lantahkan kota dengan aku di dalam intinya, tidak berhenti menangisi. Sampai akhirnya yang aku tau, kamu adalah mahkota yang aku dipaksa melepaskannya agar tak lagi berat bebanku untuk bangkit dan pergi.
Kemudian aku tersadarkan, untuk berhenti memainkan lagu - lagu nostalgia tentang kala ketika. Ini adalah cerita yang sudah kutau akhirnya. Mengembalikan jiwaku dari berkelana, akhirnya kembali di sisinya. Aku melihatmu menuju pintu keluar, meninggalkan secangkir kopi di atas meja. Rasanya ada yang menyesakkan di dalam dada, haruskah kamu begitu tergesa - gesa. Aku bisa saja menangis sejadi - jadinya, tapi tidak lagi malam ini ataupun banyak malam setelahnya. Aku bukan lagi masalah yang memberatkan, ujarku agar tetap percaya bahwa ini adalah jalan terbaiknya. Pada akhirnya, aku hanyalah gadis biasa tanpa mesin waktu di dalam lemarinya, sehingga satu - satunya yang bisa kumainkan adalah kata seandainya atau suatu jika. Jika saja banyak tanda bahaya terbaca, akankah kini jadi berbeda?
-------------------------------------------
Inspired by exile - Taylor Swift.
Terimakasih untuk lagunya, dan liriknya yang membuatku turut ingin menangis sambil bercerita. Perayaan kehilangan memang tidak pernah ada habisnya. Alias ni lagu sedih banget emang woe :")
0 comments