Eulogi


   Menceritakan kepribadian diri diambil menjadi tema di hari pertama tantangan menulis 30 hari, yang entah dibuat oleh siapa. Mungkin dipikirnya, tema ini mudah, karena toh siapa juga yang akam kesulitan menggambarkan kepribadian seseorang yang setiap detik selalu dia amati dan nilai. Tapi toh, akhirnya aku, yang iseng - iseng mengikuti tantangan asal lewat, kesulitan untuk menggambarkan kepribadian diri sendiri. 

   Jujur saja, pikiranku kini sedang tidak benar. Seolah berjalan di lapisan es amat tipis yang dapat seketika retak pada satu pijakan yang tidak beruntung. Sehingga, tema ini aku biarkan terbuka untuk setiap orang yang pernah mengenalku. Katakan saja keinginanmu, dengan senang hati aku berikan id instagram atau twitter teman - teman tersayangku yang seringnya berisik di jagat maya. Agar mereka mengisi paragrafnya serupa membuat suatu eulogi. Agar kamu mengenalku dalam sosok yang hidup dalam pikiran mereka. Tentu saja jika mereka bersedia dan tidak sibuk menjalani kehidupan seperempat abad yang penuh dengan hiruk pikuk. 

   Sehingga, mari kini kita bicara soal eulogi. Indonesia tidak terlalu familiar dengan adanya eulogi. Yang pada film - film barat, biasanya diberikan di prosesi perayaan kematian seseorang. Sebuah pidato dari seseorang untuk mengenang hal - hal baik dari kerabat dekatnya yang hari itu raganya berpisah dengan dunia. Sedangkan, masyarakat kita lebih familiar dengan bisik - bisik tetangga di rumah duka. Soal bagaimana ia mati, betapa menyedihkannya keluarga ditinggal sosok yang penting, dan entah pikiran apa lagi yang saat itu muncul di dalam kepala. Hanya segelintir orang yang cukup waras menyuguhkan pembahasan tentang betapa baiknya almarhum dan kemenangannya soal hidup. Walaupun, juga tidak dapat dipungkiri, akan ada saja yang membahas soal desas desus dan kabar burung yang seringnya soal berita 'gres' dan penuh intrik. Kalau ada eulogi setidaknya akan ada satu sesi untuk mengingat si mati dengan hati yang hangat. Sayang sekali, Indonesia tidak kenal eulogi.

   Padahal, sudah aku bayangkan. Jika jiwa dan ragaku sudah tidak jadi satu, aku akan amat senang (jika aku masih dapat merasa senang) mendengarkan banyak eulogi. Serupa seorang anak yang menerima raport sekolahnya di dunia ini. Oleh karena itu, beberapa hari lalu, aku bertanya kepada teman - temanku soal eulogi apa yang mereka berikan pada hariku nanti. Dan, seperti sudah berkomplot, tidak ada satupun dari mereka yang bersedia. Pertanyaan ini membuat mereka ketakutan, dan mengundang pikiran - pikiran negatif di sudut - sudut kepala. 

Padahal kan biasa saja, ia tidak?
Aku kan hanya ingin tau rapotku di kepala mereka. Apakah aku sudah hidup selayaknya seorang manusia, yang seharusnya berarti dan bermanfaat bagi sekitarnya?
Atau apakah aku hanya seseorang yang sekedar lewat tanpa arti apa - apa?

Jika aku memintamu membacakan eulogi ketika aku masih bernafas di dunia, kamu mau tidak?

0 comments