Bahagia








    Sudah seharian ini aku memaksa isi kepalaku memikirkan tema hari kedua:

"Apa yang membuatku bahagia?"

   Sampai sore tidak kunjung ada jawabannya. Padahal, di hari - hari sedih lainnya, bahagia sering kali mengambil definisi paling sederhana. Nampaknya, gadis ini mulai kehabisan keberuntungannya. Tapi tenang saja, aku masih belum ingin menyerah. Tekadku bulat untuk menuntaskan setiap tema sampai 28 hari kedepan. Sehingga, aku berpikir lebih keras.

Lalu, Eureka! 

    Ingatanku berjalan mundur pada suatu siang yang terik dan tiba - tiba. Idolaku menjulang dan melambaikan tangan dengan senyum yang ringan. Kala itu, kelelahanku menyeberang ke gedung tetangga, melawan matahari siang bolong, terasa tidak apa - apanya. Bahagia bisa jadi amat sederhana dan tidak disengaja. 

  Lalu sisi diriku yang skeptis muncul dan menegasikannya tepat di muka. Premis bahagiaku dianggapnya terlalu dangkal karena masih saja menyimpan bahagia di saku celana orang (laki - laki) lainnya. Aku kembali diam dan tersudutkan. Pertanyaan yang cukup familiar kembali bermunculan.

   "Mungkinkah sejak pertama, memang aku yang selalu salah?."

    Jika sudah seperti ini, biasanya aku akan kabur kemanapun aku suka, sendiri. Membeli tiket kereta keluar kota untuk satu perjalanan yang tanpa rencana. Makan sushi favoritku di tengah kota. Pergi ke Gramedia paling besar yang puluhan kilometer jauhnya. Usaha demi usaha sebagai pembuktian bahwa aku mampu untuk membahagiakan diriku sendiri. Usaha yang kini otomatis didiskualifikasi sepihak oleh pandemi.

  Menuntaskan tema hari kedua makin terlihat kabur. Sampai menjelang adzan Maghrib, aku mendapati diriku dan mama di kafe ala - ala dalam salah satu minimarket di Salatiga. Menikmati minuman diskonan hari senin untuk berbuka. Cafe dolce untukku, lemon tea hangat untuk mama. 

   "Aku masih suka sedih loh ma kalo mikirinnya" entah kesurupan apa, tiba - tiba perasaan yang beberapa hari ini menyesakkan, berhamburan tanpa perlu perintah.

  "Ya gapapa, perasaan kan gak bisa langsung berubah" ia menanggapinya santai.

    "Iya sih, tapi jadi takut aja rasanya. Kayak kemarin udah keliatan se-serius itu, tapi ternyata sama aja"

   "Ta, kamu gak boleh lho seolah menentukan jalannya nanti gimana. Kalo udah kayak gini, pasti kayak gitu. Gak semuanya sama. Kita kan gak tau"

   Aku, tentu saja hanya bisa mendengarkan sembari mengubur banyak sekali 'tetapi'. Mama jarang sekali salah, dan punya tendensi untuk mendominasi. Bahkan jika suatu ketika aku yang benar, maka aku rela jika kemenangan ditimbun dengan setiap diam dan hikmat dalam mendengarkan ucapannya. Dalam rangka meraih surgaNya dengan seribu cara. Yang kemudian, sore ini secara tidak sengaja membuatku sampai pada jawaban atas pertanyaan tiada akhir soal bahagia. 

   Ternyata, membahagiakan dapat bercerita kepada mama soal kegagalan yang masih menyesakkan dada. Kesempatan yang tidak aku miliki ketika SMA, atau saat di Purwokerto dengan sekarung penuh keanehannya. Juga kebahagiaan karena dapat berbuka berdua yang tidak digagalkan oleh spreadsheets dan email yang terus saja membelah diri. 

   Aku kemudian menyadari, bahwa aku hanya harus mengganti kacamata perspektifku soal bahagia. Karena definisinya masih begitu sederhana. Aku saja yang terlalu sibuk mengulang - ngulang serentetan cerita kegagalan dalam kepala, tentang hal - hal yang seharusnya aku kubur sedalam - dalamnya. Menciptakan ruang untuk lebih banyak syukur terhadap hal - hal sederhana yang sama membahagiakannya, meski dalam bentuk berbeda.

   Sesampainya di rumah, sepupuku paling kecil menyambut kami dengan tawanya yang meringis, penuh dengan gigi geripis. Ia memang diluar spektrum anak - anak biasanya. Oleh karenanya di hidup kami, ia anak yang luar biasa sampai ke hati dan ketulusannya. Lenganku digelayutinya, bahkan ketika sepatu belum terlepas sempurna. Sampai kini, ia memang belum dapat bicara, tapi rasa sayangnya diungkapkan dengan penuh kejujuran. Dalam kedua telapak tangannya yang menangkup pipiku ketika aku menggodanya. 

Aku semakin yakin, bahagia memang masih begitu sederhana. Aku saja yang sering kali menutup mata.

0 comments