Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


It was my first encounter with the other side of my dear friend, who was suicidal. I felt depression my self, just before we met, and (was likely) healed. Not as bad that made me want to kill my self. But, he was. And on that day, he told me the story how it was only second before he took the rope, tied it on his neck, and hang him self on the ceilings. He was not loud, but deafening enough to make me quiet, listen, and think of what I should say to make him feeling safe. Safe enough to tell the story, safe enough to not leave this life. If there is anything I could help him with, I would definitely take that way without any further second. 

Instead, I asked, what did make him stop, even with rope already in his hands? 
"There was this inner voice that saying 'are you really want to lose over this game?'". Thus, some part in him awaken, part that wants to fight the same chaos once again.

I was taken aback by that statement, almost 3 years after that. (Again) under depression. Much worst than my younger self ever had, beyond what I could understand. And suddenly I think of every lost souls in suicidal spiral of thoughts. I asked to my self, where is God when all the broken souls decided to end this life?.

And this reliving moment when something answered "God was there, saying to him 'are you really want to lose over this game?".

Akhir - akhir ini ia seringkali menabung pengulangan kata - kata yang sama.

"Kalau saja kita bertemu lebih dulu."

Lebih dulu sebelum bencana besar dalam hidup seorang gadis yang amat mencintai ayahnya. 

Lebih dulu sebelum bagian dirinya mati ditikam percaya.

Lebih dulu sebelum gagasannya soal belahan jiwa diruntuhkan seseorang yang dulu adalah sahabat jiwanya.

Lebih dulu sebelum banyak sekali kejadian yang membuatnya berpikir bahwa hidupnya tidak semestinya bahagia.

Bahwa jalan ini akan sepenuhnya nelangsa.

Bahwa karenanya ia memutuskan untuk merangkul kesedihan seperti teman dekatnya yang ternyata menyembunyikan belati di belakang punggungnya.

Lebih dulu sebelum ia kehilangan kemampuan mencinta, karena seluruh tenaga ia habiskan untuk berlari dan berjaga - jaga. 

Jikalau setiap bahagia yang semu akhirnya selesai juga.


I'm counting days before I no longer able to acknowledge my self as 25. Quarter life crisis came too early, and hit like truck lately. But if that was a tunnel, then, I guess this is the light that i started to see. I lost many things, just like many other people. But I gain a lot too, and this is one of them. 

Being the only child alive in my core family, I've been spending most of my life feeling afraid of being alone. That's why my biggest fear was losing them. I lost dad earlier this year, and praying harder to have more time with mom. 

But, that got me thinking, eventually, it is inevitable to lose every one you love. Every relationship will end either way. Whether you are prepared or not. And the only thing you can keep is yourself. Because it is always up to you. Whether to keep her along or leave her behind. Whether to built her up or beat her down. Which also by knowing this, I understand that I'm not as helpless as I thought. For the first time, surprisingly, I have a little bravery to grow up alone. A little sparks indeed and yet more than enough. 

Though, to take it from different perspective, I have to admit that eventhough I no longer that afraid to live alone, I still have that lingering fears of losing every one I love. Maybe, it is something that I will never get over, or I don't know. It is still a long journey ahead to get the answer of the question, I hope.

I have less than 5 years before hitting thirty. I dont know where I would be, what I would do, or who I would love. But I hope I slay that age. To be honest, for a former hopeless romantic, imagining have a life with only my self is a bit lonely sometimes, but it somehow feels liberating. To be not bound with everyone else and to every uncertainty it follows. Being with my longest commitment, which is my self, is enough for now. 

I still have picture that my 17 y.o. self holds dearly. Married, having family and kids of my own. Living in our house which far from big because we like to keep everyone packed inside feeling warm with love, laugh, and stories before bed. Wide yards and cozy fench for a coffee in the morning, in the neighborhood where we actually know everyone. That picture still beautiful for me in every way. But I'd loved hard before, got disappointed, while miscalculating everything. I was a victim and a villain in other stories. Because heart changes, and the only certain thing is the existence of ourselves in our life. So when it comes to conclusion, other people may have that kind of life, and I will always happy for them. However, if my stories come differently, I'm no longer afraid, as it is still a life that I will cheer as long as I breath :).

Pada salah satu hari di bulan Oktober, Bapak menangis dihadapan layar TV yang menyiarkan pernikahan anak perempuan presiden. Hanya ada aku dan Bapak di ruang perawatan. Tanpa Mama karena siang itu adalah giliranku berjaga. Aku hanya menggodanya. Meski hatiku terasa patah, sempurna kuhindari keberadaannya. Aku belum siap berhadapan dengan fakta, bahwa tangisan Bapak bukan berasal dari haru karena melihat orang lain bahagia. Saat itu aku mengerti, bahwa tatapannya di layar tivi tidak melihat presiden kami sebagai seorang yang berkuasa atas pemerintahan negeri ini. Di tengah perhelatan yang sedang disiarkan, Bapak hanyalah melihat seorang bapak lain yang pada hari itu, kebahagiaannya purna karena satu - satunya anak perempuan keluarga, telah bertemu setengah bagian jiwanya. Laki - laki yang karena begitu besar rasa cinta, bersedia ganti menanggung gadis kecilnya di akhirat dan dunia. Seorang bapak di layar tivi itu tau, bahwa meskipun tidak akan ada laki - laki di luar sana yang memiliki cinta kepada anak perempuan itu sama besarnya, tapi setidaknya kini, ada seorang laki - laki lain yang mau menghabiskan seumur hidupnya berusaha memberi cinta yang sama. 

Pada salah satu hari di bulan kelahiran Bapak, aku menangis di depan tumpukan pakaiannya yang masih berada di pojok kamar, dengan hati yang coba dirangkai kembali, hanya untuk gagal berkali - kali pada hari - hari payah seperti ini. Aku kembali pada tiga tahun lalu ketika aku menggodanya, seraya mengiyakan perasaanku sendiri ketika hari itu Bapak menangis di ruang kamar sederhana. Meski tanpa kata, perasaanku mengerti, bagaimana Bapak seakan tau bahwa meskipun amat menginginkannya, ia tidak akan pernah sampai pada masa yang sama. Dimana ia dapat melihat anak perempuannya bersama laki - laki yang karena begitu besar rasa cinta, bersedia menanggung gadis kecilnya di akhirat dan dunia. Laki - laki yang tidak pernah ragu - ragu dalam setiap usaha membuat yang paling ia cinta bahagia. Laki - laki yang padanya, Bapak mantap digantikan dengan penuh kerelaan. 

Pada salah satu hari, di antara percobaan ribuan kali untuk dapat merasa lagi, aku tau, bahwa penyesalanku yang tertinggal di tiga tahun lalu hanya satu. Mengatakan yang sudah aku mengerti, bagaimana ia dengan segala ketidak sempurnaannya di antara ribuan laki - laki, selamanya tidak akan pernah terganti. Aku sering berpikir, bagaimana tugas Bapak di dunia sudah purna. Tapi, pada suatu ruang dengan banyak tanda tanya aku menemukan diriku bertanya apakah Bapak masih dapat berkata

"Dia orang yang baik Ta, Bapak merestuimu dengannya".

Seminggu sebelum eyang kakung sedha, Bapak berujar ingin membawa satu kipas angin baru ketika pulang kampung nanti, agar eyang nyaman berada seharian di atas satu - satunya kasur di ruang tamu rumahnya. Setahun itu, eyang sudah tidak dapat pergi kemanapun karena serangan stroke di pertengahan tahun sebelumnya. Ketika berita duka sampai pada dini hari menjelang subuh, yang terlihat samar - samar di bawah remangnya lampu ruang tamu, adalah bapak terduduk di sofa. Pundaknya lesu, matanya terpaku pada ubin di bawah kakinya. Pikiran dan hatinya entah dimana. Kemungkinan besar melanglang buana menembus berkilo - kilo jarak antara Tangerang dan Malang yang saat itu terasa begitu jauhnya. Mama dengan terburu - buru berlalu lalang antara kamar dan seisi rumah, mengisi tas dengan baju - baju bapak, perlengkapan mandi, obat - obat darah tinggi, juga sejumlah uang tunai yang tidak seberapa. Aku tidak ingat siapa yang menelfon agen perjalanan, tapi yang pasti, sebelum adzan subuh hari itu, bapak sudah mendapatkan satu tiket pesawat menuju Bandara Abdul Rahman Saleh, semua sudah siap untuk satu perjalanan yang tidak direncanakan. 

Aku yang kebingungan akan guna keberadaanku, duduk mengambil tempat di samping bapak. Tanganku merangkul pundaknya, sedangkan pikiran dan hatiku mencoba meraba sesuatu. Bagaimana kesedihan bapak saat itu?. Aku mencoba memahami, karena kupikir dengan mengerti, maka aku akan tepat tau apa yang harus kulakukan untuk membantunya melewati kondisi ini, daripada sekedar membuat gerakan tangan berulang di pundaknya yang terasa kaku, hambar, penuh kebingungan, alih - alih menenangkan. Akhirnya, aku mencoba membuat skala kesedihan yang mungkin terjadi dalam hati laki - laki tinggi di sampingku. Sudah pasti kesedihan karena kegagalan akan rencana membeli kipas baru, berada di batas paling bawah. Aku tidak begitu yakin apa yang dapat mengisi titik tengah, tapi mungkinkah batas paling atas adalah kesedihan paling purna yang membuatmu ingin menyusul kematian?.

Saat itu, aku yang sok tau, berusaha menggambarkan kesedihan ditinggalkan oleh seseorang yang seumur hidup menjadi pahlawanmu. Sedih sudah pasti, tapi sampai sejauh apa rasanya adalah ruang penuh tanda tanya. Yang baru terjawab kurang lebih lima belas tahun setelahnya. Ternyata, rasanya tidak akan pernah dapat sempurna diabadikan dengan jutaan koleksi kosakata. Kesedihan yang rasanya seperti jutaan sel dalam hatimu tercerabut sekali dengan begitu brutalnya. Kemudian rasa nyeri akan tinggal, dan muncul lagi berkali - kali karena berbagai macam hal sederhana. Mungkin kipas angin bagi bapak juga perjalanan yang tiba - tiba. 

Bertahun - tahun setelah eyang sedha, aku jadi mengerti tentang nyeri yang tetap tinggal setelah anaknya tiada. Karena kini, sel - sel hatiku sudah tercerabut berkali - kali pada berbagai macam hal - hal sederhana. Pada semburat garis wajah yang serupa pada saudara - saudara kandung bapak. Segelas susu sapi murni yang kini aku nikmati sendiri. Juga ingatan tentang suara tawa bapak yang khas, yang kini didekap pikiranku dengan erat dan hati - hati. Banyak hal yang kini ingin membuatku kembali pada ruang tamu rumah lama kami, dibawah lampu remang - remang, untuk memberi tahu gadis kecil yang kebingungan. Bahwa sebaiknya, ia berhenti melakukan usaha yang sia - sia untuk meraba kesedihan bapaknya. Ia hanya cukup ada di samping laki - laki pahlawannya, seterusnya, selama yang ia bisa. Karena sebenarnya, tanpa ia tau, sebanyak apapun tahun yang terbentang di depannya, tidak akan pernah cukup lama untuk membalas setiap cinta.

Ya Rabbana, Laa Hawlaa wa La Quwwataa Illa Billah.

Teruntuk mimpi, aku katakan padamu setiap hari.

Tetaplah hidup, meski redup.

Jangan mati, setidaknya bukan hari ini.

Jika Ia menjadikan ini untuk kita, maka setiap jalan akan dimudahkan.

Jika Ia menjadikan ini untuk kita, ditengah kesulitan, Ia akan memberikan jalan terhadap kesulitan.

Tepat seperti banyak sekali kejadian.

Jika ternyata akhirnya Ia tidak menjadikan ini untuk kita, maka hatiku akan dilapangkan.

Dan ingatlah bahwa tidak ada usaha baik yang berujung kesia - siaan. 

Bahwa setiap keberhasilan dan kegagalan, semuanya hanyalah satu langkah perjalanan dalam kehidupan.

Yang kemudian mengingatkan kita, bahwa setiap yang hidup dan mati bergantung padaNya.

Bahwa akan selalu ada yang lebih besar dari setiap rencana.

Bahwa kita hanyalah makhluk yang amat kecilnya, sehingga esensi hidup fana ini hanya seputar doa, berusaha, dan berdoa.

Hari pertama aku menemukanmu, serbuan kata segera memenuhi kepalaku. Ribuan tanya mengantri di ujung jemari, menanti untuk akhirnya sampai padamu. Soal banyak hal tentang satu laki - laki yang sama - sama kita kenali. Hai Dhi, kenalkan aku, seorang gadis yang tidak pernah kamu kenali, pun temui. 

Mungkin sebaiknya, pertama - tama, seharusnya aku mengenalkan diri. Aku Dita, dan ini hari kedua ku dalam isolasi. Ditengah sunyi, tiba - tiba aku menjadikan nyata setiap tanya dalam kepala. Menjadi beberapa paragraf frasa untuk seorang gadis yang tidak pernah aku kenali, pun temui. 

Mungkin suatu hari kamu akan membacanya, mungkin tidak sama sekali. Tidak apa, toh bukan itu tujuan utama, karena aku hanya ingin bercerita. Laki - laki yang kau sebut pasangan dengan bangganya, adalah seseorang yang pernah meninggalkanku dalam palung Mariana. Yang kemudian, ditengah nyala api, aku menemukanmu, menjadi satu - satunya arah yang ia tuju, ketika punggungnya sempurna menjauh dariku. 

Aku sudah sejengkal menuju tekad untuk bertanya. Aku atau kamu, siapa yang pertama?. Aku atau kamu, siapa yang sesungguhnya ia berikan sepenuhnya rasa?. Aku atau kamu, siapa yang dulu sebenarnya ada dalam maket masa depannya?. Pertanyaan - pertanyaan yang akhirnya kusimpan dan coba kujawab sendiri dengan berbagai macam cara.

Aku mencoba mereka - reka, siapa kamu seorang gadis diujung sana. Kenapa ia memilih untuk menghampirimu ketika aku juga selalu menunggu laki - laki yang sama dengan setia?. Bisakah aku menjelma menjadi serupa lebihmu yang akhirnya menggenapkannya?. Mampukah aku menjadi kamu, yang diperlakukan sebaik - baiknya oleh seorang laki - laki yang mencinta?. Usaha apa yang seharusnya dulu kulakukan, agar tidak jadi sekedar pilihan?. 

Sampai pada suatu ketika, aku cukupkan diri dalam mengenalmu. Tidak kutemukan suatu kesalahan darimu. Kita sama baiknya, hanya berbeda cerita. Pada kesempatan berbeda, kita mungkin saja menjadi dua kawan yang bertukar cerita dengan serunya. Berbagi tawa tentang perjalanan seperempat abad menjadi wanita, dengan berbagai macam kekacauannya. 

Mempelajarimu dengan hati - hati, membuatku sadar bahwa kamu memang pantas dicintai. Kita hanya tidak sengaja terikat, dalam suatu tali tidak kasat mata, dengan laki - laki yang sama sebagai pusatnya. Laki - laki yang pada satu titik di kehidupannya, sempurna kebingungan akan dua jalan dengan kita di setiap ujungnya yang berlawanan. Kebingungannya yang akhirnya membuatku menyadari, bahwa aku juga pantas dicintai sama besarnya, tanpa langkah setengah hati. Bahwa aku pantas untuk suatu ruang, yang ketika didalamnya aku berhenti bertanya, apakah aku benar - benar diterima. Ruang yang lapangnya meyakinkanku, bahwa aku tetap menjadi satu - satunya.

Hai Dhi, ini surat dari seorang gadis yang tidak kamu kenali. Tapi ketahuilah, aku tidak membencimu. Tidak lagi. 

Selamat berbahagia ya. Percayalah, jika suatu hari semesta mempertemukan kita dalam suatu komedi sederhana, maka aku hanya akan berkata

"Hai Dhi, sebenarnya, aku sudah mengenalmu sejak lama 🤣"

Tanpa mereka tau, diam - diam aku adalah pendendam. Kusembunyikan dalam saku paling dalam, ketika yang orang lain tau hanyalah pengikhlasan. Meski begitu, aku tak pernah benar - benar menjadikan dendamku jadi kenyataan. Semuanya kupasrahkan kepada semesta, ketika aku duduk dengan hikmat menjadi penonton pertama. Sampai hatiku terpuaskan dengan kehancurannya yang sama, aku terus mendapati diriku diam - diam mengamati mereka yang sempat menyakiti. Meski tampak tidak peduli, di dalam hati, rasa penasaranku masih begitu membumbung tinggi. Bukan mencari penyesalan atas apa yang telah mereka lakukan, aku hanya mendamba kehancuran yang (kupikir) seharusnya mereka dapatkan. Saat itu adalah kemenangan dari setiap pesakitan, dimana cerita sempurna tertuntaskan.

Sampai suatu ketika, dalam pencarianku, aku menemukan bahwa ia masih begitu bahagia. Teramat bahagia dengan cara yang sama pernah membuatku luka. Jika dendam adalah tujuan, ini jelas suatu kekalahan. Tapi rasanya hatiku berkata bukan, yang kupercaya adalah suatu kesalahan. 

Aku berdiskusi dengan hatiku, dan sampai pada suatu kesimpulan. Ternyata, pembalasan dendam tidak selamanya mengambil rupa sebagai kehancuran. Pada sebagian cerita, ternyata kita cukup dengan kebahagiaan yang sama. Cukup dengan pengertian, bahwa ia adalah pelajaran, bukan bagian utama dari jalan menuju kebahagiaan. Cukup dengan pemahaman, bahwa kepergiannya telah menciptakan suatu ruang untuk sosok yang baru. Ia yang kemudian menunjukkan, bahwa membersamai dengan sepenuhnya kehadiran, bukan pekerjaan yang cukup dituntaskan dengan perhatian sambil lalu. Ia yang selalu mengingatkan, bahwa menerima banyak kurangku bukanlah suatu beban yang ia bawa di ranselnya setiap waktu. Ia yang membuatku menyadari, bahwa ternyata aku pantas diusahakan tanpa basa - basi, bukan seseorang yang hanya cukup dicintai setengah hati. Ia yang kemudian menjadikan kedua mataku serupa kuil, yang pada kedalamannya ia memeluk ketenangan hatinya sendiri. 

Jika impas adalah tujuan dari pembalasan dendam, maka kini aku tetap sampai pada titik keseimbangan. Kami sudah impas dalam menjadi penuh kebahagiaan. 
Aku benci hati manusia, dan bagaimana ia begitu amat mudah berubahnya. Suatu ketika ia ingin berlari menuju yang paling hati ingini, dan suatu ketika ia dapat pergi begitu saja lalu menyendiri. 

Aku benci hati manusia, dan bagaimana hal itu membuatku kehilangan percaya. Pernah bergantung padanya sepenuh jiwa, membuatku merasa dikhianati karena setiap langkah mengikutinya berakhir percuma.

Aku benci hati manusia, dan bagaimana ia bisa jadi sangat penuh kendali terhadap isi kepala. Aku pernah berkata bahwa aku hanya akan dipenuhi logika, dengan segala hitungannya yang sempurna. Lalu tiba - tiba aku tersesat dalam rasa yang serupa rimba, karena hatiku berkata bahwa inilah satu - satunya cara bahagia. Segala hitunganku tidak lagi dilihatnya, abai saja terhadap setiap tanda bahaya. 

Aku amat benci hati manusia, sampai suatu ketika kebencianku terasa begitu membutakan mata. Sehingga aku lupa, ditengah gelapnya ada cahayaNya yang selalu menuntunku kepada rencana paling baik daripada rencana manusia. Sehingga aku lupa, kemampuannya untuk berubah menjadi tajamnya pecahan kaca, juga bekerja dengan cara yang sama menuju tujuan berbeda. Mengarah kepada kemampuan menyembuhkan diri sendiri dari luka. Kembali sempurna merasa setelah banyak hal menyakiti. Mampu tertawa lagi ketika melihat setiap yang terjadi, benar - benar telah terlewati. 

Tanpa kusadari, hatiku tidak lagi sakit setiap namamu muncul serupa jendela yang berderit. Aku juga sudah melupakan kenapa satu gelang pernah terasa begitu istimewa, bahkan aku lupa waktu itu kubeli dimana. Bahkan kini aku dapat melewati Banaran dengan hati yang ringan. Serta kenangan akan jam tangan hijau tosca pun sudah aku kuburkan dengan tenang, seperti mimpi - mimpiku lainnya. Kalian berguguran, dan yang kembali kupercaya namun sempat kulupa adalah, meski tidak jadi nyata, tapi tidak akan ada asa yang sia - sia. Dan aku meralat segala frasaku, bahwa memang benar banyak usaha sia - sia, tapi pelajaran ini akan kubawa selamanya.

Jadi dari setiap hal - hal tidak membahagiakan, ternyata ya enggak sia - sia amat sebenarnya. Iya gak? Hehe.
Empat bulan aku menahan untuk menuliskannya. Menghindari hal - hal yang tidak dapat aku abadikan dengan sempurna. Karena kemarin mengingat bapak adalah soal luka, dan bagaimana aku mendaraskan sesuatu ketika mataku menjelma menjadi musim hujan tanpa tanda akan berhentinya. Tapi kamu penting, dan aku ingin kamu mengenal bapak. Bapak yang bahagia. Aku yang mengingatnya dengan bahagia. 

Hal pertama yang harus kamu tau adalah, bapak selalu pergi ke mesjid setelah adzan maghrib, adzan subuh, dan ketiga adzan lainnya jika ia sempat. Pada beberapa waktu yang ia kira adalah waktunya, satu - satunya pesan adalah jangan pernah meninggalkan solat. Meski sulit. Meski waktu terasa menghimpit. Meski pikiranmu tidak lagi mampu untuk mengingat banyak surat. Jangan pernah tinggalkan tiang agama, bahkan ketika rasanya hatimu patah karena semesta. Ia tidak perlu menjelaskan kenapa, tapi setelah kepergiannya, aku jadi mengerti bagaimana hanya dengan solat, hatimu dapat kembali terisi setelah kekosongan yang teramat sangat. Ingatlah, jika suatu hari akhirnya kamu sampai di ruang tamu rumah ibuku dan terdengar adzan Dzuhur, percayalah bapak pasti akan beranjak ke masjid di ujung gang, dan mengajakmu turut serta. Jika ia masih ada.

Hal kedua adalah, ia seorang laki - laki yang lucu dan penuh tawa. Sampai akhir hayat, aku adalah gadis kecilnya yang tidak pernah habis digoda. Soal bagaimana ia memesankan mi goreng pedas dengan sengaja, padahal aku tak suka. Pesanan yang kemudian ia ralat ketika sudah selesai bercanda. Soal banyak hal - hal sederhana yang hanya akan jadi lucu jika kuceritakan secara langsung ketika akhirnya kita diijinkan semesta untuk bertegur sapa. Ia adalah detak pada banyak obrolan yang menempatkan dirinya sebagai pusat setiap tawa. Ia yang karena itu jadi amat dicintai kawannya dan banyak orang di sekitarnya. Tukang gorengan pinggir jalan, tetangga yang berbeda gang, bapak - bapak tukang cukur di bawah pohon beringin. Sampai keluarga kecil yang sempat menempati ruangan di sebelah kamarnya, ketika ia terbaring karena serangan stroke yang tanpa aba - aba. Ia yang mengajarkanku bahwa tawa adalah hulu dari setiap rasa bahagia, termasuk cinta. Tawa yang diam - diam ikut pergi bersama nafas terakhirnya.

Hal ketiga adalah, ia seorang bapak yang tanpa alfa. Ia hadir seutuhnya, tanpa pernah setengah jiwa. Tidak pernah ada tanda tanya kenapa jika soal inginku dan mama. Cintanya selalu nyata meski tidak pernah berbentuk kata. Ia yang memacu motor tua pada kecepatan paling kencang, karena aku yang salah seragam pada hari dimulainya sekolah menengah pertama. Ia yang tidak pernah alfa dari menjadi pegawai pertama mama, dari berbagai macam usaha yang akhirnya mereka lakukan berdua. Ia yang tanpa ragu kembali ke kampung halaman demi orang tua. Meninggalkan pekerjaan yang terhadapnya, ia amat bangga. Meninggalkan setiap kebiasaan yang sudah menjadi satu di nadinya. Kehadiran cintanya dimana - mana menjadi hal yang tidak dapat kholas aku pasrahkan. 

Sabtu bersama bapak dan banyak kuntum bunga. Banyak penyesalan tumbuh subur seperti setiap jumput rumput di atas pusaranya. Rinduku bukan lagi hujan, tapi badai yang menjebak dengan guntur yang memekakkan indraku. Menghambarkan kemampuan merasa, merubah setiap warna serupa abu - abu. Sampai suatu hari, satu - satunya warna warni mengambil rupa bunga yang dirangkai mama dengan hati - hati. Tanpa jeda, pada setiap sabtu pagi. Membuat aku teringat, meski raganya tidak lagi hangat, kini bapak sudah tidak sakit lagi. Tidak direpotkan dengan dunia yang semakin kacau saja. Tidak perlu hidup dengan tanya, kenapa bapak tidak dapat kembali merasa muda. Aku ingin percaya kata - kata seorang temanku yang amat sederhana, bahwa kebahagiaan tertinggi umat yang beriman adalah pertemuan dengan Rabb-Nya. Oleh karena itu aku sudah memutuskan, setiap penyesalan dan rindu yang kini jadi satu, akan kubayar dengan setiap doa agar pertemuannya dengan Rabb-Nya jadi yang paling membahagiakan sejagat raya, karena kini, bapak disisiNya.
Satu tahun lalu, aku sempat berdoa kepadaNya, agar Mei kali ini lebih membahagiakan daripada sebelumnya. Sedangkan, ketika melihat apa - apa yang tersisa di genggaman tanganku, tidak dapat aku katakan bahwa semesta telah menjadi sedemikian rupa sesuai dengan permintaan seorang wanita menjelang umur ke-dua puluh lima. Namun setidaknya, malam ini aku punya cukup keberanian untuk beranjak dari pusara kepercayaanku yang mati setahun lalu. Berhenti meratapi. Menuju jalan, yang meski belum cukup terang, tapi mulai menampakkan cahaya di ujung lorong yang panjang. 

Dimulai dari afirmasi, bahwa aku, kamu, pantas dianggap ada. Kamu yang sedang merasa amat patah dan hancur berserakan. Kamu pantas diperlakukan sebaik - baiknya. Kamu pantas ditanyakan bagaimana kabarmu dengan dunia. Kamu pantas mendapatkan waktu untuk bercerita, bagaimana pekerjaanmu terkadang bisa jadi amat menyita. Kamu pantas diberikan sandaran ketika sedang teramat lelahnya.

Dimulai dari penyangkalan, bahwa aku, kamu, setiap perasaan di dalam dada adalah valid. Bukan hanya sekedar imaji, atau asa yang dianggap tidak nyata. Kamu berhak marah ketika mimpimu tidak dihargai dan dianggap sampah. Tidak apa kalau kamu merasa amat sedih ketika jadi satu - satunya yang berjuang untuk suatu ide yang disebut orang - orang sebagai cinta. Bahkan wajar saja, jika kamu yang biasanya paling tegak menantang dunia, menjadi seorang gadis kecil yang tanpa kekuatan dan merasa begitu lemahnya. Hampir kehilangan orang - orang yang dekat di hati memang dapat mengaburkan setiap apa yang tadinya jelas pada pandangan mata. Tidak perlu juga kamu malu ketika beban semakin berat, dan kamu butuh rumah untuk singgah dan beristirahat. 

Diakhiri dengan pelarian panjang, bahwa aku, kamu, dan hal - hal penting dalam tas punggungmu kini harus menempuh perjalanan meninggalkan mereka yang tidak pernah menghargaimu seperti ibu bapak terhadapmu. Seperti sahabatmu yang diam - diam mengkhawatirkanmu. Seperti gurumu yang seringkali lebih percaya kepadamu, daripada kamu mempercayai kemampuanmu sendiri. Kamu hanya cukup sedikit berani meninggalkan rumah yang tidak lagi nyaman untuk persinggahan ketika lelah. Menuju jalan yang bisa jadi sepenuhnya berbeda. Dan setiap yang berbeda, seringkali dapat jadi begitu ngeri, tapi setidaknya kamu tau, bekalmu lebih mantap kali ini. Kini, kamu mengerti, bagaimana dirimu amat bernilai, dan mereka yang tidak melihat inti pentingnya maka jalan terbaik adalah meninggalkannya selamanya. 

Kamu selalu satu. Kamu selalu utuh. Mereka tidak dapat mencuri apapun darimu, kecuali jika kini kamu memutuskan untuk berhenti berjalan lagi. Kecuali jika kamu hanya percaya bahwa tidak ada yang lebih baik di depan sana. Ketika sebenarnya, pilihannya ada di tanganmu sendiri. Jangan sampai kamu kalah untuk yang kedua kali.

Aku salah berdoa. Kupikir tidak akan pernah ada yang salah dari suatu doa. Tapi ternyata setelah kita berjalan lebih jauh, nuranimu dapat menyadari bahwa kita benar - benar bisa salah berdoa. Berdoa akan hal - hal yang kasat mata, dan mengaburkan hal - hal yang paling penting hanya karena ia kini tak kasat mata. Berdoa menginginkan hal - hal jangka pendek sembari menggugurkan banyak kemungkinan - kemungkinan jangka panjang, yang bisa jadi memiliki kebermanfaatan yang lebih lapang.

Berdoa akan manfaat dunia, yang tanpa sadar menjauhkan kita dari manfaat akhirat pada setiap jengkalnya. Bagaimana momen yang tidak abadi ini sungguh dapat membutakan hati dan nurani. 

Seharusnya, aku berdoa agar aku diberi kesempatan untuk dapat lebih bermanfaat bagi sesama. Bukannya sekedar memenuhi kepuasan jiwa atas nama manusia disekitarku yang lainnya. 

Aku berdoa agar suatu hari aku dapat mendirikan sekolahku sendiri. Aku berdoa agar memiliki pekerjaan yang membuatku punya alasan bangun esok hari. Aku berdoa agar aku tetap memiliki jiwa dan mimpi seperti ini. Agar suatu hari, aku dapat menjadi perantara gadis kecil di liputan televisi, yang dengan mata berbinar berbicara tentang mimpinya menjadi dokter, meski di belakangnya tumpukan sampah Bantar Gebang dapat begitu mengintimidasi. Aku ingin membuktikan kepada anak - anak seperti dia, bahwa mimpi mereka tidak pernah sia - sia.

Bahwa mimpiku, tidak pernah sia - sia. 

Hey, ternyata, aku masih ingin belum menyerah kepada dunia. Meski sedikit, ternyata masih ada sedikit keberanian untuk keluar dari zona yang begitu nyamannya. Meski sedikit, tidak apa, kita coba lagi perlahan saja.

Aku berhenti menulis karena tidak lagi ingin mengabadikan cerita - cerita spesifik yang ujungnya hanya membuatku semakin membenci. Sampai ketika orang lain bertanya kenapa, maka jawabannya adalah "Entahlah, aku hanya tidak dapat menulis lagi". Aku lupa bahwa dahulu, pilihan itu ada di tanganku sendiri. Aku juga tidak merasa tulisanku dinantikan sebagian orang. Apalah aku yang frasanya masih banyak cela. Tapi yang mereka tidak tau adalah alasan sebenarnya. 

Jadi sepertinya, aku akan mencoba menjelaskannya lagi. 

Aku berhenti menulis karena tidak lagi ingin mengabadikan orang - orang spesifik yang mengenal mereka hanya berujung pada aku yang kehilangan diri sendiri. Merangkai frasa untuk setiap yang melukai memberi kesan bahwa mereka telah memenangkan perkelahian ini satu kali lagi. Seolah aku masih jadi sang pemuja. Masih amat mencinta. Kebencian yang purna, membuat satu hal yang paling penting luput dari pengamatan. Bahwa menulis disini dan mencatat bagian - bagian krusial dari patah hati, adalah selalu soal diriku sendiri. Menemukan kembali serpihan seorang aku diantara setiap spasi.

Aku sempat melihat setiap tulisan sebelum ini dengan amat penuh benci. Serupa melihat fragmen - fragmen berkelebat dari seseorang yang tidak menghargai bahwa aku ada. Membawaku kepada penyesalan, kenapa hidup bisa jadi begitu naifnya. Seolah menjadi naif dan penuh rasa adalah hal yang paling salah sejagat raya. Lupa bahwa banyak berkah juga pernah berasal dari sana. Tanpanya aku kehilangan empati. Tanpanya aku kehilangan harapan dari setiap mimpi. Tanpanya aku hanyalah manusia yang dadanya tidak pernah lapang untuk memaafkan kesalahan pun menerima kegagalan.

Berhenti menulis membuat hatiku mati, dan atasnya tidak ada definisi yang lebih menggambarkan kehilangan diri sendiri. Terkadang kita memang butuh waktu lama untuk menyadari, bahwa pilihan - pilihan yang dirasa benar hanyalah suatu kontradiksi. Seolah hidup membawa kita pada trek lari dengan jalur memutar, yang selalu berujung kepada hal yang kita hindari. Mungkin jalan terbaik memang selalu dengan menghadapi.

Sejujurnya, aku pernah membayangkan rasanya menyayat pergelangan tanganku sendiri. Memberikan warna yang berasal dari jalur - jalur nadi. Memberikan lega kepada setiap beban di hati. Aku pernah seputus asa itu kepada diri, dan membencinya setengah mati. Tidak lagi mencintai diri sendiri adalah bukan kata yang tepat saat itu, karena yang kutau adalah aku hanya tidak dapat melakukannya lagi. 

Singkat cerita, aku akhirnya melewati fase itu hidup - hidup dan tanpa bekas luka. Hanya cerita akan malam - malam yang penuh dengan monolog yang kubawa sebagai kenang - kenangan serupa piala. Aku menang, kukira. Aku lebih kuat sekarang, kukira. Aku saat itu tidak sepenuhnya salah, meskipun ternyata tidak juga begitu benar. Aku memang lebih kuat untuk setiap yang kuhadapi kala itu, tapi tidak untuk setiap apa yang menunggu di depan sana.

Aku sadar ketika kehidupan membawaku pada ruang tamu rumahku. Terrmangu meski sudah pukul tujuh. Seharusnya aku sudah dalam perjalanan kembali berpacu. Tetapi ini hari yang tidak biasa, karena rasanya sudah tidak lagi punya energi. Aku yang posesif, tiba - tiba siap melepaskan setiap apapun dalam genggaman jemari. Meskipun kecil, meskipun tidak begitu berarti untuk dunia ini. Rasanya aku hanya tidak dapat berjalan lagi. Aku tersesat dalam belantara pikiranku sendiri, dan tidak kembali. Aku pecah menjadi serpihan tajam yang tidak akan pilih - pilih dalam melukai setiap jemari yang ingin menyatukannya lagi. Aku rusak dan tidak dapat dibenahi. 

Sampai suatu ketika, akhirnya aku memutuskan untuk mengguyur kepalaku pada pukul dua dini hari. Membuatku menyadari sesuatu. Manusia adalah spesies yang cukup purba. Ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan tahun kita telah berevolusi sampai menjadi frasa hampir sempurna. Terlepas dari definisi evolusi yang kita percayai, apapun itu, aku percaya bahwa manusia dan peradabannya sudah melewati banyak hal diatas dunia. Menjadi partikel kecil dari megahnya galaksi. Bisa jadi gunung meletus, tsunami, temperatur ekstrim sampai masalah - masalah modern dan krisis ekonomi. Begitu kompleksnya tapi sebagian besar populasi manusia selalu bertahan pada akhirnya. Berkembang biak lagi, menciptakan krisis baru yang selalu sama memusingkannya. Kita kembali berdiri, kembali pulih dari setiap luka yang beragam bentuknya.

Keilmuan mengingatkanku bahwa aku yang ternyata masih manusia juga sebenarnya punya potensi yang sama. Kembali utuh meski retak. Kembali berdiri meski belum begitu tegak. Aku kembali berkata kepada Tuhanku, kata - kata yang dulu hadir ketika aku hampir menyayat nadiku sendiri. Aku akan tetap disini, sampai Allah berkuasa sebaliknya. 

Meskipun setelah pulih dari banyak beban yang akhirnya berlalu, dan ternyata aku mengacau lagi dan menciptakan jutaan masalah baru, aku akan tetap disini. Agar jika sampai pada waktunya, aku dapat mengutip Taylor Swift "She had marvelous time ruining everything" hehe.

Kenapa kita tidak bisa mendengar suara hati para mati?. Tidak pernah aku bertanya, sampai suatu ketika bapak menjadi salah satu diantaranya. Jika bisa, mungkin jadinya akan lebih mudah daripada setiap perenungan setelah banyak sekali mimpi yang berdatangan. Lebih mudah daripada menerka kesimpulan dari mimpi - mimpi yang meresahkan, dan selalu satu tahap merusak kewarasan setiap malam. Apakah malam ini suatu pertanda, atau hanya pikiranku yang sedang tidak baik - baik saja. Tapi karena manusia adalah sumber dari segala ketidaktahuan, mungkin juga jika bisa, perjalanan penerimaan ini akan tetap menjadi yang paling tidak mudah. Toh, aku pernah mereka - reka akan seperti apa kesedihannya, mempersiapkan setiap rencana untuk beragam kemungkinan. Bodohnya aku yang kemudian baru menyadari bahwa soal melepaskan yang amat kita cinta, akan selalu lebih besar daripada kelapangan dada.

Tapi mungkin begitulah inti dari setiap ujian yang sering kali lewat dari pencatatan. Agar tercipta lebih banyak ruang di hati kita, untuk menerima setiap rasa di dunia yang begitu luasnya. Agar kita akan selalu sedikit lebih besar daripada setiap masalah di depan sana.

Pak, dita tidak akan lagi menerka - nerka setiap mimpi, atau ingin mendengar suara hati para mati. Dita hanya akan tetap percaya bahwa bapak yang amat menyayangi anak gadisnya, tidak akan pernah habis menghibur agar setiap tangis berhenti. Setelah ini, dita akan jadi sedikit lebih besar untuk setiap masalah yang harus dihadapi tanpa cinta seorang laki - laki yang entah dimana lagi dapat dita temui. Sedikit lebih besar yang ternyata selalu cukup untuk membuat kita berjalan lagi. Sedikit lebih besar yang ternyata adalah rahasia dari kata - kata bapak dahulu, bahwa akan ada jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ▼  2021 (15)
    • ▼  November (2)
      • my first time
      • perjalanan melelahkan
    • ►  September (1)
      • Last drip of 25
    • ►  Agustus (1)
      • pernikahan anak presiden
    • ►  Juli (2)
      • kipas angin baru
      • Yaa Rabbana
    • ►  Juni (2)
      • Hai Dhi!
      • balas dendam
    • ►  Mei (4)
      • hati manusia
      • sabtu bersama bapak
      • Mei yang kesekian
      • salah berdoa
    • ►  April (3)
      • kontradiktif
      • evolusi
      • suara hati para mati
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates