kontradiktif
Aku berhenti menulis karena tidak lagi ingin mengabadikan cerita - cerita spesifik yang ujungnya hanya membuatku semakin membenci. Sampai ketika orang lain bertanya kenapa, maka jawabannya adalah "Entahlah, aku hanya tidak dapat menulis lagi". Aku lupa bahwa dahulu, pilihan itu ada di tanganku sendiri. Aku juga tidak merasa tulisanku dinantikan sebagian orang. Apalah aku yang frasanya masih banyak cela. Tapi yang mereka tidak tau adalah alasan sebenarnya.
Jadi sepertinya, aku akan mencoba menjelaskannya lagi.
Aku berhenti menulis karena tidak lagi ingin mengabadikan orang - orang spesifik yang mengenal mereka hanya berujung pada aku yang kehilangan diri sendiri. Merangkai frasa untuk setiap yang melukai memberi kesan bahwa mereka telah memenangkan perkelahian ini satu kali lagi. Seolah aku masih jadi sang pemuja. Masih amat mencinta. Kebencian yang purna, membuat satu hal yang paling penting luput dari pengamatan. Bahwa menulis disini dan mencatat bagian - bagian krusial dari patah hati, adalah selalu soal diriku sendiri. Menemukan kembali serpihan seorang aku diantara setiap spasi.
Aku sempat melihat setiap tulisan sebelum ini dengan amat penuh benci. Serupa melihat fragmen - fragmen berkelebat dari seseorang yang tidak menghargai bahwa aku ada. Membawaku kepada penyesalan, kenapa hidup bisa jadi begitu naifnya. Seolah menjadi naif dan penuh rasa adalah hal yang paling salah sejagat raya. Lupa bahwa banyak berkah juga pernah berasal dari sana. Tanpanya aku kehilangan empati. Tanpanya aku kehilangan harapan dari setiap mimpi. Tanpanya aku hanyalah manusia yang dadanya tidak pernah lapang untuk memaafkan kesalahan pun menerima kegagalan.
Berhenti menulis membuat hatiku mati, dan atasnya tidak ada definisi yang lebih menggambarkan kehilangan diri sendiri. Terkadang kita memang butuh waktu lama untuk menyadari, bahwa pilihan - pilihan yang dirasa benar hanyalah suatu kontradiksi. Seolah hidup membawa kita pada trek lari dengan jalur memutar, yang selalu berujung kepada hal yang kita hindari. Mungkin jalan terbaik memang selalu dengan menghadapi.
0 comments