Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Teruntuk gadisku. Jika suatu hari mimpimu terasa terlalu tinggi, tetaplah berlari. Meski jika kamu lelah dan ingin berhenti. Meski seolah tak ada celah yang dapat kamu lewati.
Teruntuk gadisku. Jika suatu hari kamu menangis sejadi-jadinya. Hancur sampai lebur. Tenggelam sampai rasanya sesak. Percayalah aku selalu ada di sisi. Mengamini setiap harapan yang bahkan tak berani kau ucapkan.
Teruntuk gadisku. Tak apa. Sabarlah.
Bukankah kita selalu tau, kamu pasti bisa.
.
.
.
Bukankah kini sudah berulang kali Ia tunjukkan, bahwa kamu tidak pernah sendiri.
Aku harap ini dapat melegakan setiap bagian yang masih kecewa. Aku harap ini jadi kali terakhirnya, dimana setiap kata yang akan kau baca setelahnya mengeja namamu dengan setiap tanda yang mungkin ada.

Ini sudah sering terjadi, namun kali ini aku akan berusaha jujur kepada diri sendiri. Bahwa alasan setiap percobaan melupakan selalu gagal ditengah perjalanan kemungkinan besar karna aku yang begitu lekat dengan kenangan. Ada bagian yang masih berkata bahwa diammu adalah untuk sebaik-baiknya jiwa, bahwa pergimu tidak lain agar setiap cerita yang menumpuk dapat mengisi setiap sela yang hampa pada waktunya. Bahwa kalimat sederhana di awal perjalanan adalah setulus-tulusnya kata yang dapat diucap manusia.

Bahwa kamu tidak seragam dengan setiap yang pernah menyinggahi. Ternyata, aku yang kemarin masih nyaman dengan imaji.

Kini, aku sadar bahwa setiap kata adalah sama, tanpa makna. Setiap kembali adalah langkah setengah hati karna kamu selayaknya anak laki-laki, seringkali tidak mengerti dengan apa yang diingini. Kamu bukanlah laki-laki yang terakhir kali dan karenanya sungguh aku tidak berharap akan ada kembali suatu hari.

Kini, aku ikhlaskan itu untuk terjadi. Aku maafkan diriku yang seringkali masih begitu percaya. Aku mengikhlaskan kamu yang tidak mengingatku sebagai seseorang yang pernah memberi arti. Kamu bagiku bukan cerita sambil lalu, tapi aku ikhlaskan jika kamu begitu. 

Aku cukup dengan diriku sendiri.
Aku kira satu-satunya hal yang bisa diakui kepemilikannya adalah mimpi. Selagi itu baik, meski tak mungkin dan rasanya sulit sekali, tetap saja aku dekap erat sampai rasanya ada jiwa yang bergetar setiap kali mengingatnya. Dari setiap hal, yang sejatinya tidak pernah jadi milikku, aku kira bermimpi adalah suatu hadiah kecil. Satu-satunya yang dapat kita miliki, agar tetap selalu ada bahagia meski dunia tidak lagi tampak begitu terbuka.

Ternyata, aku salah. Bahkan mimpiku, tak pernah jadi milikku. Yang berarti, setiap kematiannya bisa terjadi tiba-tiba, setiap dirinya dapat dimusnahkan dengan begitu sederhana, setiap kesempatan menujunya dapat tertutup tanpa ada celah. 

Lalu karnanya, menjelang tahun ke-23, doaku sederhana berulang, agar diberikan kekuatan untuk mengikhlaskan hal-hal yang tidak ditakdirkan.

Teruntukmu,
Aku biarkan kamu mati dalam tulisan ini. Beristirahat agar hatiku tidak lagi berat. Aku biarkan mengalir dalam sungai-sungai panjang. Tidak apa, kamu sudah berjuang, dan semoga beberapa kehilangan dapat mendewasakan. Semoga hatiku dapat mencinta dengan benar, bukan lagi kepada hal-hal. Bahkan bukan kamu yang pernah aku anggap begitu sakralnya sehingga tak apa dicinta oleh sepenuhnya jiwa. Patahku berbeda kali ini, tapi tetap tak apa.
Siang ini bukan kali pertama ada yang jadi begitu menyesakkan. Mari kita habiskan setiap hal yang bisa jadi memberatkan. Mungkin dengan menyisakan sedikit harapan akan suatu hari di masa depan. Mungkin beberapa waktu setelah ini, bisa jadi hitungan bulan, beberapa tahun bahkan puluhan, atau tak apa jika satu-satunya waktu bagiku adalah ketika kamu terduduk di senja hari dengan rambut yang sudah memutih. Tidak apa meski hanya sekali waktu saat itu, ketika kamu akhirnya mengingatku pada hari-hari dulu.

Bagaimana aku berlari ketika mendengar kabar bahwa kau tak lagi baik-baik saja, kecelakaan besar, kau anfal, yang ternyata hanya lelucon di kala siang. Bagaimana segala kebiasaan sudah aku mengerti dan terima. Bagaimana aku hampir selalu ada dan jadi yang pertama. Bagaimana ketika mimpi buruk menyita segala bahagia, ada aku yang hadir di sana, menjadi seseorang yang kamu anggap begitu familiarnya. Bagaimana setiap kejatuhanmu aku coba bagi separuh agar tak lagi terlalu dalam atau menenggelamkan. Bagaimana aku juga sempat begitu, sebaliknya.

Suatu hari, semoga kamu mengingatku dan merasakan hangat di hati, mungkin dengan rasa kehilangan sekali lagi karna kesadaran bahwa ternyata ada yang pernah sangat terlewati.

Sedikit harapan yang akhirnya mencukupkanku kini dan semoga hari-hari setelah ini. 
Mungkin, yang harus saya sadari kini adalah tentang ketidak kuasaan kita terhadap segala sesuatunya. Meski tidak suka, saya harus mengerti, bahwa suatu hari akan ada yang berjalan beriringan denganmu. Lekat di sisi, hangat di hati. Dia yang pada akhirnya kamu anggap menjadi yang paling mengerti. Dia yang membuat segala pencarian berhenti. 

Saya harus menerima, jika suatu hari saya hanyalah manusia yang tidak punya kuasa. Bukan dia yang bisa membuat debar singgah tiba-tiba. Bukan dia yang membuat seorang kamu berkata iya terhadap segala hal di masa depan, baik dan buruk untuk selalu bersama. Pada akhirnya, saya harus ikut berbahagia, karna bertemu cinta adalah suatu perayaan. Peristiwa yang menunjukkan suatu kebesaran. Kejadian yang tidak kamu temui setiap hari, pun tidak terjadi pada setiap hati, dan karnanya saya pasti berbahagia. Pasti, ikut bahagia. Setidaknya, mungkin bukan karna sempurna merelakan, tapi karna saya akhirnya mengerti tentang banyaknya perasaan yang harus dikorbankan. Bagaimana untuk menemukan dia, yang sama-sama berjanji untuk saling setia, adalah perjalanan panjang yang jauh dari kata sederhana. 

Saat itu, saya pasti hanya ingin memelukmu dengan sepenuh hati mengerti tentang hal terpenting yang dari dulu saya yakini, pada akhirnya kamu bahagia.
Dengan siapapun itu, meski bukan saya.

Ini jarak terjauhku. Berhenti merapal nama yang serupa wajahmu. Aku ganti dengan kata-kata penuh harap untuk setiap doa sederhana agar hati tidak lagi kecewa.

Ini jarak terjauhku. Berhenti berusaha pada jalan panjang menuju kata. Cerita-cerita yang dicintai dengan sepenuh hati oleh jiwa. Setiap hal-hal yang disebut mimpi oleh manusia.

Ini jarak terjauhku. Berhenti bercerita kepada semesta. Diisi sunyi pada setiap sujud siang hari. Beroleh hampa karna tak lagi meminta apa-apa.

Ini jarak terjauhku. Aku tak berharap agar suatu hari jadi biasa sampai lupa. Aku masih ingin pulang, dan sepenuhnya berbahagia. Dengan hati yang terisi. Dengan rasa ganjil yang akhirnya menjadi genap. Dengan resah yang kini sudah diistirahatkan agar tak jadi lelah. Dengan kepala yang penuh dengan rencana. Aku masih sangat ingin pulang. Aku masih ingin jadi ia yang tidak hanya sekedar hidup sebagai manusia.

Aku rindu bisa kembali bercerita.
"He is just somebody that I used to know"
Pada titik pisah kita akhirnya dapat mengerti hal-hal yang selalu gagal dibicarakan sampai hati lelah. Bahwa baik tidak selalu bersama saling mengawali hari. Bahwa ada tidak selalu harus berwujud menjadi rasa. Bahwa sebaiknya peluk bisa jadi serupa kata yang dipanjatkan kepada semesta. Bahwa pengertian merupakan pelepasan terhadap setiap usaha untuk menyesuaikan. Akhirnya kita tau, setiap kamu dan aku tidak lagi bisa punya rumah pada satu titik temu.
Sore ini gue bingung milih sepatu. Satu kota yang gak gede-gede amat hampir saja habis gue kelilingi karna gak ada sepatu yang pas.  Me looking for shoes is definitely the worse of all. Picky at the very most. Then I look at my old navy shoes. Buluk udah jelas, but then I moved the big feet inside and feels like every curve is just fit with the fingers. 

'apa gak usah beli aja ya, ini juga masih bisa dipake sih'

Yah, same old game that my mind played. Susah karna terlalu picky untuk cari yang baru, then find my self comeback to the old one, which already not good enough with all the flaws seemed blur for the sake of familiarities. Sepersekian detik kemudian gue ingat bahwa meski masih dapat dipakai, tapi dia sudah sering kena komen netijen karna warna yang gak lagi sebenar2nya biru tua. Berulangkali kena air ujan pun bikin dia pada beberapa hari punya bau gak enak karna it is the only wearable shoes I have. Banyak sekali minus yang sempat gue lupa, because damn, it's harder to give up all the comfort I've already knew. Ini jadi penting, karena mind game macam ini juga terjadi pada banyak hal, bukan hanya sekedar urusan milih sepatu baru. 

'gak, gue gak bisa kayak gini terus, pokoknya malam ini gue harus pulang dengan sepatu'

Then I comeback to the first store with eyes open lil bit wider then before. Berusaha untuk melihat bagian-bagian yang sebelumnya gue skip. Mengamati lebih lama pilihan yang tadinya hanya gue lewati, without any second thought. Trying to find all the good that I might love. Ternyata ada, dengan begitu sederhana. 
Gue pulang dengan sepatu biru tua yang baru, dengan sedikit aksen kuning dibeberapa sisi. 

Oh, malam ini gue semakin mengerti. Pada beberapa hal yang sama rumit urusan memilihnya, mungkin kita harus membuka mata sedikit lebih lebar untuk melihat sedikit lebih luas. Berhenti membandingkan dengan yang pernah memberi nyaman. Bersiap bahwa memang yang terbaik bukan soal mana yang lebih familiar. Toh semua yang baru juga datang dengan ketidaksesuaian, dan ketidaknyamanan, iya gak?

Wah . . . Akhir2 ini dita banyak mikir seriusnya HAHAHA
Bagaimana bantu-bantu di warung mama ternyata lebih gue butuhkan daripada mama membutuhkannya. Banyak hal-hal yang membuka mata seorang Dita yang masih seringkali kurang bersyukur. Sebelumnya di hari itu memang tidak diawali dengan begitu baiknya. Rasanya banyak yang salah, atau gue cuma lelah. Banyak hal-hal yang membuat gue ingin sekali berhenti, terkecuali fakta bahwa gue sangat butuh pekerjaan ini. It has lifted lot of things in my life, sadly, except dreams. The latter that burden me so much, it has haunted my life far before all of this begin. I can talk about this literally all day, complaining, whining, arguing that I can get better, far better. And damn, I miss my friends a lot.  

And it was happen. Seorang bapak agak renta, lebih tua dari bapak. Sehari-hari jualan macem bubur favorit gue, kata mama. Dia udah jadi langganan mama sejak entah kapan. Bapak itu masuk ke toko dan memulai transaksi jual beli dengan bon. Belanjaannya hari ini nggak akan dia bayar sampai besok, dengan harapan dagangannya laku, habis tandas. Memilih beberapa barang dan ketika sampai perhitungan akhirnya kita tau, siang itu dia sudah berbelanja 15.000 lebih sedikit. 

........

Udah sadar belum? 
Bagaimana diluar sana 15.000 masih menjadi hal besar untuk sebagian orang, yang harus berdiri seharian berjualan di bawah matahari yang kalo panas udah bikin kita ngeluh berasa kayak di neraka. Harus melanjutkan kayuhan sepeda walau hujan karena bubur di panci belum habis, karena ketika menyerah sekarang maka bon modal hari ini gak akan terbayarkan. Harus menunggu dan menunggu dan menunggu dan menunggu. Pekerjaan yang diakui banyak orang menyebalkan. 
Dan gue, cuma hampir kehilangan mimpi. Belum kehilangan mimpi. Ketika disana masih banyak bapak yang gak tau besok ngasih makan apa ke anaknya. Masih banyak anak yang mimpinya setinggi gedung-gedung di ibukota ketika rumahnya sudah doyong kemana-mana karena dia bisa berharap apa dari triplek yang disusun seadanya?. Gue baru sadar, seburuk-buruknya kita saat ini, pasti masih ada yang bisa kita syukuri. Seenggakpunyanya kita dalam merasa, pasti masih ada yang baik dari segala yang kita miliki. Bahkan ketika akhirnya kita merasa sendiri, kesepian, losing hope with all the things ahead, we still have breath in our lungs, which means, Allah masih sayang, begitu sayang dan ingin kita agar berusaha sekali lagi. 

Ia gak perah menghadirkan pikiran yang sia-sia ke dalam otak kita. Gak pernah salah dalam menakdirkan sesuatu meski nampaknya sulit untuk dijalani.

Semoga dita selalu ingat ini ketika masa-masa tidak masuk akal kembali lagi suatu hari.

P.s: Suatu sabtu siang kemarin, I want to literally just stop. I can't handle all the insecurities inside. Lalu gue solat Dhuhur. Gak khusyuk karena yang ada di otak gue hanya "should I stop to readjust in something that I feel don't fit me" "should I chase for the better just like any other stories people has told" "should I just quit everything". Setelah kembali ke ruangan, ternyata gue sudah ditunggu oleh supervisor dan dua orang mentor di ruang meeting. And they explain every evaluation. It was unexpected. Which somehow has eased me, a lot. Satu yang ada di kepala gue saat itu. Bahkan ketika kita tidak bercerita dengan benar, meminta pertolongan dengan sopan, Allah masih begitu sayangnya mendengar, menunjukkan, dan meringankan.

Saat itu gue tau, gue gak pernah sendiri.   

Aku berdoa untuk segala yang ingin kamu jadikan nyata. Untuk setiap usaha yang tidak lelah kamu ulangi, meski harus berkali-kali. Pun untuk keselamatan pada setiap pijakan kamu pergi, agar selalu ada hangat pada tempat yang kamu singgahi.

Tenang saja, aku tidak mengharu biru kini.
Kamu, cukup balas dengan doa sederhana, agar setiap pertanyaanku bertemu dengan jawaban. Agar ada hati yang selalu lapang menerima setiap yang ditakdirkan.

Tetaplah jadi sebaik - baiknya manusia.
Sampai ketemu lagi di persimpangan lainnya.
Aku tau ini terlambat, tapi semoga dapat menjadi pengingat. Untuk bisa memaafkan selapang langit, yang kembali biru meski hujan sempat membuatnya kelabu.
Bukankah kita akan melupa pada masanya?. Pada setiap mimpi yang tak bisa dijalani, pada setiap manusia yang memutuskan untuk pergi. Lantas, kenapa harus begitu memaksakan hati?. Tidak apa, mungkin hanya bukan kini, bisa jadi nanti, atau tenang saja, masih ada esok hari.

Bukankah pada masanya kamu juga akan menjadi seseorang yang pergi?
Setahun lalu hari ini. Saya masih sholat maghrib di kamar lama berwarna merah muda. Agak terburu-buru karna ada kamu yang menunggu. Ini hari pertama kamu disini, entah kenapa bisa disini, tidak tau bagaimana akhirnya kesini. Saat itu tak ada yang lain dipikiran saya karna yang saya tau kita setelah ini akan menikmati semangkuk ronde panas di pusat kota. Kamu masih asing tapi sudah terasa familiar. Kamu bukan siapa-siapa, tanpa makna. Anehnya saya perlahan mengeja bahagia ketika bahkan namamu saja tidak pernah tertera sebelumnya.

Saat itu sepertinya saya sempat berpikir jadi apa kita setahun lagi, ternyata sampailah disini.

Ketika saya yang mencoba menuliskan hal-hal yang seharusnya saya sampaikan dengan lisan. Beberapa menit sambungan telfon yang seharusnya tidak mematikan, tapi saya tidak bisa. Saya tidak bisa menerima segala kemungkinan jawaban yang hati ini belum bisa memberikan kelapangan. Saya sedang tidak cukup kuat untuk berpura-pura.

Tidak, saya tidak akan membahas kita. Saya hanya ingin bercerita, seperti biasa.

Sore ini saya takut sekali. Takut sendiri. Takut tidak punya siapapun yang membersamai suatu hari nanti. Banyak hal akhir-akhir ini yang membuat saya berantakan. Patah hati. Sampai saya tidak tahu harus sedih untuk alasan yang mana. Rasa-rasanya hidup selalu punya jalan untuk membuat saya merekonstruksi ulang segala rencana jangka panjang. Membuat saya harus mulai lagi dari awal, berkali-kali. Mendapatkan suatu harapan untuk kemudian dibenturkan sampai kepada kehancuran. Setahun lalu saya pernah bercerita tentang kejadian serupa. Kamu menjawab dengan begitu sederhana, bahwa kita manusia dan hidup memang tidak seharusnya selalu bahagia serta baik-baik saja. Setahun lalu saya masih begitu ceria, karna kita berbicara cukup lama meski menceritakan hal-hal yang sempat membuat saya merasakan sebaliknya.

Kini, kita tidak lagi berbicara, dan hal-hal itu ternyata berulang, kembali nyata dengan banyak hal-hal yang lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Dan saya semakin yakin, bahwa kata-katamu kala itu memang sulit dimengerti.

Tangan saya dingin, salatiga selalu dingin, kini saya hanya ingin menangis sejadi-jadinya.


Diantara segala hal yang tidak baik-baik saja, saya masih berdoa agar kamu tidak menjadi salah satunya. Baik-baiklah, semoga selalu bahagia, Gat. 
Suatu hari aku ingin seseorang menuliskanku dengan kata-katanya yang timpang. Tidak penuh tapi cukup. Tidak indah tapi punya rasa.

Suatu hari aku ingin seseorang menuliskanku dengan pikirannya yang sudah pikun. Dengan ejaan yang tidak sempurna, tapi namaku lengkap tertera.

Suatu hari aku ingin seseorang menuliskanku dengan pena yang hampir kosong. Guratannya muncul dan tenggelam. Beberapa huruf hilang di entah, tapi kalimatnya tetap bersuara.

Suatu hari aku ingin seseorang menuliskanku, lengkap dengan segala kekurangannya menggambarkan segala kekuranganku. Berharap bertemu aku.

Suatu hari aku ingin seseorang menuliskanku. Ketika rindu ia membaca tulisannya, yang meski tanpa rima, tapi tetap hangat sampai di jiwa. Seseorang yang menemukan nyaman pada setiap kata. Seseorang yang sederhana menerima.
Aku masih bermimpi bagaimana suatu waktu kita bertemu. Di tengah perjalanan menuju tempat berlawanan. Mungkin dengan kata sapa sederhana dan perasaan yang sudah ringan. Kepalaku pasti masih mengingatmu dengan betul karna aku jarang melupakan cerita - cerita yang serupa ini. 

Kita mungkin hanya akan berlalu dan pergi. Kembali memakukan pandangan pada setiap langkah kaki. Bersiap melupakan pertemuan dengan seorang teman lama yang sudah kehilangan arti. 

Aku mungkin akan kembali disadarkan, bahwa banyak hal terlewati. Hidup ini akan selalu diisi oleh manusia yang datang dan pergi. Beberapa menetap dengan yang lain memutuskan untuk hanya sekelebat dan kembali singgah. Beberapa akan meninggalkan luka dengan yang lain menggurat bahagia. Segala cerita kemudian menyisakan kita dengan sisa - sisa. Meninggalkan kita dengan segala pilihan - pilihan akan jadi apa setelah setiap perlakuan yang mereka berikan. 

Bahwa hidup memang bisa jadi buruk. Manusia bisa jadi tidak dapat dipercaya. Tapi bertemu denganmu telah membuatku sampai kepada pilihanku. Untuk tidak hidup sekedarnya. Untuk ingat kemana aku harus kembali. Untuk mencintai diriku sendiri. Karna aku tak akan pernah dapat bergantung kepadamu atau orang-orang lainnya. Karna merasa dicintai adalah sepenuhnya tanggung jawabku dan diri ini.
Sore ini acara sepulang dari warung adalah makan ronde bareng mama. Ada hal yang baru gue sadari bahwa ternyata bisa jadi banyak yang terlewati dari agenda makan bareng di warung pinggir jalan. Saat itu kita pilih ronde yang harga satu mangkoknya nggak sampe 5000. Pembelinya cuma empat, gue dan mama ditambah seorang ibu dengan anak kecilnya. Seketika gue bertanya, kira – kira berapa ya yang bisa didapat si ibu-ibu ronde setiap malam, yang dagangnya bisa jadi sampe dini hari. Seabisnya itu ronde dan antek – anteknya.

Sampai kini pun gue nggak tau berapa, tapi yang pasti nggak banyak.

Seketika pikiran ini bikin gue ingat untuk bersyukur. Bikin gue berhenti meragukan pekerjaan baru dengan working hour beserta gajinya yang mengingatkan gue akan sistem kerja rodi jaman Jepang. Bikin gue kepikiran rasa – rasa malas yang ada di hari – hari kemarin ini.
Lalu nyeletuklah anak gadisnya si ibu – ibu ronde yang minta pulang.

“ya nanti ya nduk, katanya mau beli soto, wong udah di pesen loh”

Anak gadis berambut keriting itu cuma cengengesan malu dengan memberikan jempol – jempol imut. Ngeliat dunianya yang masih baik – baik saja, dengan permintaan semangkok soto yang masih bisa dituruti orang tuanya, dibelakang gerobak ronde yang sudah bersiap begadang lagi karena suasana kota berhujan yang kelewat sepi. Kita nggak akan tau bahwa semangkok soto bisa jadi berat untuk sebagian orang ditengah jaman dimana ekonomi lagi di posisi paling lesu. Bikin hati gue rasanya ringan tapi menyesakkan. Ringan karena senyumannya tulus bikin bahagia semua orang yang ngeliat. Menyesakkan karena banyak ironi disekitarnya yang belum berhasil ia mengerti, kecuali fakta bahwa dia bisa makan enak malam ini.

Hidup ini bisa jadi begitu pahit untuk dimengerti, yang serupa obat, kadang cukup kita telan tanpa basa – basi.

Dan tiba – tiba pikiran gue berhenti ketika ngeliat dua mangkok yang menyisakan sedikit sari jahe. Mangkok gue, mangkok mama.

Posisi itu bisa jadi orang tua gue berbulan – bulan lalu, selama 4 tahun ini. Atau mungkin selama 22 tahun ini.

Gue yang dunianya baik – baik saja di Purwokerto. Makan di tempat favorit gue ketika mama harus mikir dua kali setiap belanja. Nongkrong malem – malem saking serunya sampe kadang lupa alasan mama sama bapak pasti udah tidur jam segitu, iya karna kecapekan seharian ngewarung. Lalu banyak lagi ingatan tentang hal – hal serupa itu yang menyadarkan gue bahwa gue sama si anak kecil tadi hanya berbeda pada kesadaran, tapi masih tidak bisa merubah keadaan.

Ternyata banyak hal, terlalu banyak, yang nggak bisa seorang anak jadikan impas. Nggak bisa dibalas sampai tuntas. Rasa – rasanya gue semakin merasa bersalah karna seringkali terlalu pasrah. Masih terlalu lemah. Masih belum bisa kasih apa – apa selain jadi anak dengan motto “kalau belum bisa jadi baik, seenggaknya nggak usah jadi buruk”.


Ternyata itu nggak akan pernah cukup. Jadi anak baik ternyata bukan batas minimal untuk membalas segala yang sudah mereka jadikan genap.
Kini aku tau, bagaimana menghidupkan kamu selamanya meski hanya dengan sisa - sisa jiwa.

Aku bermimpi dapat sekolah lagi. Menghabiskan semua kemungkinan jenjang pendidikan. Bukan untuk status sosial yang tidak pernah aku pedulikan, tapi karna belajar dengan sabar adalah satu-satunya hal yang bisa aku lakukan dengan penuh kebahagiaan. Dengannya aku bisa mendapatkan beasiswa yang sedikit demi sedikit aku kumpulkan untuk mimpiku selanjutnya.

Menjadi pengajar yang membumi. Untuk manusia-manusia kecil dengan kemewahan yang seringkali tidak kita miliki. Bisa bermimpi. Aku ingin menjadi bagian dalam perjalanan mereka menuju tempat yang mereka inginkan. menjadi pintu dari segala kesempatan mereka untuk melihat dunia. Membuat mereka percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin, dan menjaga mimpi di dalam hati tidak akan pernah sia-sia. Tidak akan pernah membuat mereka kecewa. Awal perjalanan yang akan dimulai dari suatu tempat dengan nama yang masih aku cari-cari, dengan bidang yang aku sukai.

Aku tidak ingin ada lagi seorang pemimpi yang patah dan kehilangan dirinya berkali-kali.

Aku masih ingin menjadi dia yang mewujudkannya. Aku tuliskan agar hal-hal yang sudah susah payah aku temukan dan jaga tidak hilang begitu saja. Namun jika sampai akhir aku tidak bisa jadi sekuat itu untuk mewujudkan, semoga ada manusia lain yang bisa menjadikannya nyata. Setidaknya ada jiwa yang masih dekat meski raga tidak ada.
Sore ini jalanan ungaran salatiga lengang. Banyak karyawan sudah pulang, sampai ke rumah, mungkin sedang bertukar cerita bagaimana kehidupan karyawan di kota industri. Bertukar tawa sesekali, berbagi bahagia, atau mungkin melepas penat bahkan kesedihan. Seperti yang kita sama - sama mengerti, bahwa tidak selamanya hidup penuh dengan kemudahan. 

Hal yang masih coba aku terima dan pahami dengan cara sebaik baiknya manusia. Tepat ketika aku melihat ke angkasa yang kala itu sesak dengan awan kelabu. Membuat kenampakannya lebih sempit daripada seharusnya. Mencari kelapangan karna rasanya di dalam hati pun tidak begitu jauh berbeda. Membuat aku memutuskan untuk melaju pada kecepatan paling pelan. Mengulur waktu, mencari tenang, sembari berdoa agar segala tangis dan sesak jadi rahasia aku dan Dia. Tanpa perlu bapak, mama, eyang tau, bahwa sore itu setiap bagian aku rasanya hancur dalam perjalanan pulang yang terasa lebih panjang. 

Dan Dia mengabulkan. Kepada mama aku bisa menceritakan segala kegagalan siang tadi dengan perlahan, memilih setiap kata, menyisihkan ingatan yang tidak perlu agar tidak ada air mata yang sering kali bisa jadi begitu kurang ajar. Bapak pun hanya bertanya, pertanyaan yang sama berkali-kali (seperti biasa), dan rasanya kesabaranku sedang dipasok ulang, kesabaran untuk menjawab dengan menahan kesedihan paling kecil yang bisa saja hadir tanpa permisi. Rasanya semuanya baik-baik saja, ini prestasi baru, akhirnya aku bisa mengatur perasaanku. Walaupun di dalam sini, setiap kehancuran masih terasa begitu nyata. Seperti permukaan koran yang membungkus telur setelah dijatuhkan. Masih terlihat begitu sempurna, tapi tetap saja sia-sia, karna setiap kulit di dalamnya sudah jadi pecahan.

Hal yang membuatku berpikir bahwa mungkin memang ini yang dinamakan hidup. Tepat ketika kita sudah berpikir bahwa suatu ujian adalah yang paling buruk, ternyata kemudian semesta menunjukkan, bahwa akan selalu ada lebih buruk yang baru. 

Semoga Allah memberikan kami sekeluarga kekuatan untuk melewati segala cobaan.
Teruntuk mimpi.
Aku harap, kamu tidak mati kali ini.
Tidak apa berhenti, terlelap, tapi jangan mati.
Jangan meninggalkan aku sendiri.
Mengejar sesuatu yang tidak akan pernah aku mengerti.
Menuhankan hal - hal yang aku benci.
Mengharapkan tempat - tempat yang tidak aku sukai.

Teruntuk mimpi.
Aku harap, kamu tetap hidup kali ini.
Tidak apa ketika lelah menghampiri, tapi jangan berhenti membersamai.
Jangan menjadikan aku seseorang yang tidak familiar.
Membenci kehidupan karna tidak bisa mencapai suatu hal.
Menggadaikan setiap harapan pada semu.
Yang suatu hari hanya akan berujung sesal.

Teruntuk mimpi.
Aku harap, kamu tidak marah kali ini.
Aku memang belum cukup tinggi untuk menggapaimu.
Belum cukup besar untuk menjadi sebesar kamu.
Belum cukup kuat untuk menjagamu dari segala realita hidup.

Aku harap, ada waktu agar aku jadi semua itu.
Karena kamu masih menjadi catatan yang aku bawa kemanapun.
Masih menjadi angan yang terus aku berusaha untuk nyalakan.
Meski susah payah. Meski terkadang kehilangan arah.
Karna kamu, adalah satu dari sekian banyak terang dalam kegelapan.
Menuju jalan dimana setiap harapan kebahagiaan aku gantungkan.

Semoga kamu terus hidup.
Redup tidak apa, tapi jangan mati.
Karna separuh aku, berisi kamu.

Ini tahun kelima, dan kupikir pasangan hidup adalah dia yang pertama juga terakhir. Lebih tinggi dariku sehingga tak ada lagi benda – benda yang terlalu tinggi, termasuk mimpi.

Ini tahun kesepuluh, dan kupikir pasangan hidup adalah dia yang membuatku kesal sampai marah. Membuatku mengejarnya di seluruh gedung karena menuduhku suka, yang sebenarnya juga tidak salah.

Ini tahun kelima belas, dan kupikir pasangan hidup adalah dia yang hadir dalam setiap menit setiap hari. Membuatku percaya akan apa yang dia percaya, bahwa aku dan kamu selamanya. Serangkaian kata rumit yang dimaknai terlalu dangkal pada masanya.

Ini tahun kedua puluh, dan kupikir pasangan hidup adalah dia yang tau segala ketakutanku, segala lelah, segalanya. Membuatku berbicara tanpa akhir karena ia adalah seorang teman yang kukenal baik setiap kurangnya, setiap lelahnya, setiap bagian dirinya.

Ini tahun kedua puluh satu, dan kupikir pasangan hidup seperti kata manusia lainnya, dia yang hadir tanpa kamu sangka, merubahmu dalam rupa yang sepenuhnya berbeda. Menyentuhmu tepat di jiwa. Tertawa dengan mama, dengan bapak yang mengenali wajahnya.


Ini tahun kedua puluh dua, dan aku masih tidak tau dia siapa. Yang sebagian doa dihadiahkan untuknya, urusannya, kesehatannya, kebahagiaannya. Tapi kupikir, pasangan hidup adalah dia yang dengannya segala mimpi tetap hidup meski sempat mati berkali – kali karna realita. Dia yang bisa membuatku menertawakan setiap kesalku karena ia tidak masuk akal. Dia yang tidak menyapaku setiap hari, tapi selalu ada pada setiap malam paling buruk seorang manusia. Dia yang padanya aku bisa bersikap tidak dewasa, merajuk, meminta. Dia yang dengannya aku menjadi lebih baik sebagai manusia. Dia yang dicintai oleh keluarganya juga keluargaku sama besarnya, dicintai oleh teman – temannya, dicintai oleh setiap jiwa yang dia temui sampai akhir hidupnya.   
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2018 (21)
    • ▼  September (2)
      • 20.42
      • untuk kecewa
    • ►  Agustus (3)
      • tidak apa
      • soal terlewati
      • soal niscaya
    • ►  Juni (2)
      • jarak terjauhku
      • "He is just somebody that I used to know"
    • ►  Mei (2)
      • titik temu
      • milih sepatu
    • ►  April (2)
      • warung mama
      • mei
    • ►  Maret (2)
      • tiga puluh satu yang kedua puluh dua.
      • lupa
    • ►  Februari (4)
      • setahun lalu
      • suatu hari
      • bertemu
      • dua mangkok ronde
    • ►  Januari (4)
      • rumah kultur
      • sore ini
      • teruntuk mimpi
      • pasangan hidup
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates