setahun lalu

Setahun lalu hari ini. Saya masih sholat maghrib di kamar lama berwarna merah muda. Agak terburu-buru karna ada kamu yang menunggu. Ini hari pertama kamu disini, entah kenapa bisa disini, tidak tau bagaimana akhirnya kesini. Saat itu tak ada yang lain dipikiran saya karna yang saya tau kita setelah ini akan menikmati semangkuk ronde panas di pusat kota. Kamu masih asing tapi sudah terasa familiar. Kamu bukan siapa-siapa, tanpa makna. Anehnya saya perlahan mengeja bahagia ketika bahkan namamu saja tidak pernah tertera sebelumnya.

Saat itu sepertinya saya sempat berpikir jadi apa kita setahun lagi, ternyata sampailah disini.

Ketika saya yang mencoba menuliskan hal-hal yang seharusnya saya sampaikan dengan lisan. Beberapa menit sambungan telfon yang seharusnya tidak mematikan, tapi saya tidak bisa. Saya tidak bisa menerima segala kemungkinan jawaban yang hati ini belum bisa memberikan kelapangan. Saya sedang tidak cukup kuat untuk berpura-pura.

Tidak, saya tidak akan membahas kita. Saya hanya ingin bercerita, seperti biasa.

Sore ini saya takut sekali. Takut sendiri. Takut tidak punya siapapun yang membersamai suatu hari nanti. Banyak hal akhir-akhir ini yang membuat saya berantakan. Patah hati. Sampai saya tidak tahu harus sedih untuk alasan yang mana. Rasa-rasanya hidup selalu punya jalan untuk membuat saya merekonstruksi ulang segala rencana jangka panjang. Membuat saya harus mulai lagi dari awal, berkali-kali. Mendapatkan suatu harapan untuk kemudian dibenturkan sampai kepada kehancuran. Setahun lalu saya pernah bercerita tentang kejadian serupa. Kamu menjawab dengan begitu sederhana, bahwa kita manusia dan hidup memang tidak seharusnya selalu bahagia serta baik-baik saja. Setahun lalu saya masih begitu ceria, karna kita berbicara cukup lama meski menceritakan hal-hal yang sempat membuat saya merasakan sebaliknya.

Kini, kita tidak lagi berbicara, dan hal-hal itu ternyata berulang, kembali nyata dengan banyak hal-hal yang lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Dan saya semakin yakin, bahwa kata-katamu kala itu memang sulit dimengerti.

Tangan saya dingin, salatiga selalu dingin, kini saya hanya ingin menangis sejadi-jadinya.


Diantara segala hal yang tidak baik-baik saja, saya masih berdoa agar kamu tidak menjadi salah satunya. Baik-baiklah, semoga selalu bahagia, Gat. 

0 comments