aku masih gadis sederhana yang kau temui dahulu di persimpangan jalan itu. dengan dua kuncir di kepala, tersenyum bahagia dengan kesepian mendalam yang tak kau lihat. menggenggam seserpih mimpi yang penuh dengan harapan, belum ada kenangan disana, tentang kita, atau cerita yang tak kusangka akan berakhir seperti ini. dan setelah itu, ini yang terjadi.
kita bertemu lagi, disana, tepat dengan dua kuncir di kepala, dan kau dengan kalung tali rafia, lucu. pantas untuk dijadikan kenangan terindah, bekal cerita di masa depan yang kini kubawa untuk kuceritakan pada mereka, penonton hidup kita yang bersedia tertawa dan menangis ketika melihatnya.
semua canda tawa yang ku ingat masih tersimpan ditempat yang tak kau lihat, dan tentu saja, takkan pula teringat. hanya cukup menjadi koleksi pribadiku, untuk kulihat sesekali dan bersyukur karnanya walaupun ternyata ada pilu yang dirimu tinggal disana. walaupun begitu, iya, aku bahagia, maka terimakasih ya.
lalu badai itu datang, menghantam, dan menghancurkan. tak ada yang patut menjadi pihak tersalahkan, karna ketika tentang perasaan, semuanya sah, dan benar. salah satu persamaan cinta dan perang. tak ada yang salah didalamnya, baik cara, maupun rasa. selama ada harapan gemilang di ujung jalan, apapun menjadi benar bukan?. dan itulah yang terjadi pada kita setelahnya. tapi aku terlupa, sebenar apapun, akan selalu ada pihak yang tinggal dan terluka di sudut cerita, termenung, dan menangisi keadaan. pilihan yang salah sebelumnya, keterbatasan otak manusia dalam mengira. membuat perasaan menjadi terhina, karna ia tak dianggap, terabaikan. dan kali ini, kuharap itu bukan aku.
lalu semua berjalan begitu saja. semua pihak sudah terlalu letih untuk mempermasalahkan apa yang sudah tak lagi ada. karna ya, sekarang semuanya tak lebih dari sekedar kata, semu, yang hanya dapat kau baca melalui paragraf paragraf abstrak di dunia maya. semu memang akan selalu menjadi maya bukan?. mereka berteman, selayaknya kenangan dan rasa sakit yang selalu berjalan berdampingan. seperti kita dulu , kebahagiaan dan pesakitan, pada saat yang bersamaan. semua cerita memang tak selalu indah, termasuk yang satu ini, yang alurnya sedang kuabadikan dalam kata demi kata, perlahan menuju konflik yang kau tau pasti akhirnya. aku juga tau, karna memang kita pengarangnya bukan?.
dan ini ujungnya, chapter terakhir dari trilogi kisah, mungkin tak akan sehebat karangan rowling, atau shakespeare yang abadi, tapi paling tidak, kisah ini nyata, dan memang kita miliki keberadaannya, walaupun sekarang hanya dapat menjadi tempat wisata yang kita kunjungi sesekali, ketika rindu menerpa, tapi jalan menuju kesana sudah tak lagi ada. dan aku akhirnya sepakat denganmu, yang menutup kisah ini terlebih dahulu.
aku masih sesederhana dulu, walaupun tak lagi ada dua kuncir di kepala, dan tali rafia tak lagi menggantung lemah di tulang selangkamu yang kini bertambah bidang. aku tersadar, kita sudah besar, tak sepolos dulu, ketika dunia masih kelihatan abu abu, ketika kita berdua masih bersahabat dengan ragu. maka cerita kita sederhana, sesederhana maafmu yang kuterima ditengah senja bulan desember. dan karna itu, terimakasih kamu, karna telah melegakanku. memutus tali amarah yang selama ini mengikat jalanku menuju senyum dunia, menahanku untuk terus berada disana, dengan anggapan ada sesuatu yang belum lunas, dan tak benar. tapi kali ini, kau membuatnya lebih sederhana untuk dilepaskan. maka sekali lagi, terimakasih kamu.
maka kali ini, bab penutup cerita kita. kita tutup dengan senyum dan sayonara sederhana ya?. agar di masa depan, ketika kau sudah tegap berdiri dengan seragam polisi, dan aku kuat ditengah terpaan debu beton gedung gedung proyek kebanggaan, kita dapat mengulang senyum. mengulang senyum sederhana ketika kau menungguku di pintu gerbang sekolah, masih dengan kalung tali rafia dan senyum di bawah terik matahari kota. yang selamanya akan menyimpan cerita kita dalam hiruk pikuknya.
0 comments