31 Desember 2015 : Refleksi Melupakan

Sudah sering saya mendapatkan saran untuk segera saja membuat buku. Menyalurkan hobi menulis dan bercerita yang mendadak ada karena salah satu fase di hidup saya, fase remaja antara 17 - 20. Waktu yang sebentar untuk sebuah perjuangan menuju kedewasaan, tapi terlalu lama untuk sesuatu hal memusingkan yang namanya Cinta hahaha. Termasuk malam ini, ketika untuk kesekian kalinya, salah satu teman saya menyarankan saya untuk lebih sering menulis. Bukan satu tulisan yang curhat atau bercerita, tetapi satu tulisan serius soal fiksi, biografi, atau hal lain yang mungkin bisa membuat saya jadi kaya raya hahaha. Menarik, tapi let's see, sepertinya saya belum siap untuk itu. 

Tulisan, terutama blog, bagi saya adalah suatu jurnal yang menceritakan fase - fase penting di hidup saya. Bagaimana saya berpikir, bagaimana saya berubah, dan bagaimana saya, menjalani setiap proses untuk menjadi karakter manusia yang saya inginkan. Blog menyimpan itu semua di balik lini masa, disimpan dalam setiap tulisan absurd yang bahkan, tulisan fiksi sekalipun, hanyalah bentuk lain dari salah satu figura kejadian di hidup saya. Setiap penulis pasti punya signature stylenya sendiri, dan kejujuran adalah apa yang saya miliki. Contohnya pada momen tahun baruan seperti ini, membuka post - post jaman baheula adalah nostalgia paling seru yang saya punya, melihat bagaimana ternyata, bahkan seorang anak kecil seperti saya berubah jadi sesuatu yang, entah, lebih baik atau sebaliknya.

Dan saya terjebak pada belasan post tentang saya berumur 17 tahun yang sedang desperately broken heart. 

Belasan post yang membuat saya akhirnya berkaca dan mengerti, bahwa satu pertanyaan telah terjawab. Pertanyaan soal, akankah saya punya kehidupan saya lagi seutuhnya, tanpa adanya intervensi dari kenangan kenangan tak perlu, atau, manusia yang keberadaannya dulu begitu lekat, sampai bahkan kehilangannya dapat meninggalkan bekas parut yang sampai sekarang mungkin tak bisa hilang. Akankah saya punya hidup saya lagi seutuhnya, dan Ya, saya punya itu sekarang. Bukan berarti semua beban sudah hilang, hanya saja, ketika manusia menjadi dewasa, maka hidup berdampingan dengan masa lalu ternyata adalah hal paling normal sebagai manusia. Ya, saya pernah sebodoh itu, dan ya, kami memang pernah ada, tapi tetap tak baik diadakan lagi karena beberapa alasan yang nampaknya lebih rasional ketimbang menganggungkan perasaan. Dulu, berulang kali saya ucapkan bahwa hidup saya telah bersih dari seorang dia, namun di tahun baru ini, saya sadar, bahwa bersih adalah definisi paling semu yang bisa saya buat. Saya tidak akan pernah bersih, akan selalu ada dia dan cerita kami yang mengikuti setiap orang baru yang hadir, namun, rasanya saat ini jika mengingat cerita itu, yang ada hanyalah perasaan "saya harap kita bisa benar benar jadi teman sekarang". 


0 comments