Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Three years ago, in the end of 2012, I was wondering, will I be able to regain my life before you. and now, Yes, I am. and I am happy with it, hoping you done that too. Dan sadarkah kamu, ada sesuatu yang selama ini kita salah mengerti, bersama bukan berarti bahagia, berpisah bukan berarti tidak bahagia, dan diantara keduanya bukan berarti kita berpura - pura. Semoga kamu selalu bersyukur dengan pilihanmu, dan semoga aku terus punya energi untuk membangun jalanku. Karena, pada akhirnya kita memang tidak belajar mengucap selamat tinggal bersama sama, tapi lebih dari itu, ternyata, Tuhan hanya ingin kita belajar mengeja "Bahagia" secara berbeda. Bahagialah, Nu :).

Gadis item, kucel, kepanasan, yang nungguin lo lagi lomba di foto ini, sekarang udah bisa fangirlingan lagi kayak dulu. hahaha. I wish, someday, we will have a chance to meet, and saying, hey, how's life, friend? gimana keluarga lo? hehehe.
Dunia paralel kita.

Pandanganku terpaku pada cangkir kopi diatas meja, kopinya habis, amarahku masih, karena ternyata kafein gagal mendamaikan kita dalam diskusi. Kepalaku masih sakit menghadapi kau yang tak pernah mendengarkan segala keluh akan pasti. Kau yang terdiam karena kebimbangan akan rumitnya kondisi yang kau ciptakan sendiri. Kita yang berada di ujung tanduk, antara jatuh dan tinggal, dua duanya butuh keberanian. Dia? mungkin saja saat ini sedang bersenandung riang, tanpa tau ada badai yang terjadi ditengah terik siang, di dalam kafe tempat kita duduk sekarang. Dia siapa? Ya! Dia, yang wajahnya terlintas ketika melihatmu, membuat cangkir kopi kotor diatas meja lebih menarik daripada matamu, mata yang sama, yang membuatku dulu tenggelam di dalamnya. 

Seandainya aku bisa menyalahkan dia dan senyum manisnya, tapi sayangnya . .  dia hanyalah korban salah tusuk akibat pertengkaran kita yang tak pernah usai, akibat kesetian laki - laki yang tak lebih dari janji - janji kosong romantisme remaja. Kita bisa apa setelah ini Le?.

Dunia paralel kita.

Aku tau saat perasaan ini sederhana meyakini ketika sosokmu hadir ditengah ramai. Kita berjalan beriringan diterik siang, dipinggir kafe kita berhenti, sejenak menghela nafas, dan kau lanjutkan lagi jalan yang sebelumnya terhenti. Dibawah sana ternyata jemari kita sudah menemukan tempat singgahnya yang paling aman. Aku bercerita tentang segala mimpi yang gugur dan usai, lalu kau menawarkan segala obat tentang masa depan yang menarik untuk ditinggali. Ceritamu masih menggodaku untuk melepaskan segala beban masa lalu. Dibagi, kau bilang. Kau tak lagi sendirian. Kau bilang, bersama adalah obat dari segala sepi yang selama ini lekat dengan nadi. 

Namun ada selapis bimbang disetiap janji, aku tau, meski tak yakin. Aku mengerti walau tak tau alasannya, setidaknya ada yang kau tutupi. Ragu tak pernah tak singgah ketika kau berbicara. Tapi aku sudah terlanjur menulismu terlalu banyak disetiap cerita yang aku tulis sendiri. Janjimu telah jadi mantra yang terngiang terus di telinga. Aku sudah jatuh cinta, tapi tak kunjung kau beri kepastian untuk menapak bersama. Kita bisa apa setelah ini Le?.





*Really, just to make sure, that there is no specific reason i named this post after Ale. I just love this name, and surely make it into one of my post's title. Name that i just got from one of lovely Ika Natassa novel which titled Crucial Eleven. But despite of everything, i do really sorry that this post is not that solid. Some of you might didn't get what is the meaning and also where this story is heading, but generally, this story just a form of me that tried to figured out how we, as human, can feel both love and angry at the same time, and how you gain a misery when they are entwined together. And after all, glad to be here and write again hahaha, Hello World!*



Aku kalah pada hujan petang ini. Bukan karna baju yang akhirnya basah kuyup, atau rencana yang akhirnya tergagalkan karena derasnya. Lebih dari itu, hujan membuatku merindu kamu dan segala perasaan tentang waktu itu.

Mengingatmu adalah hal mudah, rindukulah yang jadi masalah. Rinduku rumit, bayangkan saja, bagaimana caranya aku merindu kamu, tapi kehabisan ingin untuk sekedar menyapa. Setengah mati ingin dicinta, tapi setengah mati pula tak ingin kembali. Ingin bersembunyi dibalik rangkulan lenganmu, tapi bahkan tangis kala itu masih kuingat dengan jelas, tangis yang menjadi alasan mengapa lengan itu merangkul hangat menenangkan. Aku rindu, tapi aku tak suka kamu. Aku rindu tapi tau, bahwa kau sampai saat ini pun bukanlah satu yang mungkin aku tunggu.

Aku salah.

Mungkin aku tak rindu kamu, mungkin aku hanya rindu diperlakukan seperti itu. Tetap dilihat sebagai gadis paling cantik bahkan ketika poni ala anak SMAku salah potong. Tetap mendapat anggukan iya, walaupun pada akhirnya aku tau aku yang salah. Tetap ditemani bahkan ketika aku penuh peluh, menikmati musik dari band yang aku sukai, tanpa peduli seberapa lusuhnya gadis ini, seberapa tidak menariknya melihat gadis yang hanya pakai jeans, sneakers dan kaos ke suatu pensi, dan jejingkrakan tanpa tau posisi.

Dicintai tanpa alasan. Dilindungi sampai sebegitunya.

Diterima seperti apa adanya.

Sesuatu yang bahkan aku ragu, akankah ada kamu lain yang dapat menerima segala alfa, bahkan ketika aku lupa, bahwa kehadiranku seberharga itu.

Ketika aku lupa sedang dicintai, ketika lupa bahwa sebenarnya aku tak sendiri.

Ketika aku lupa bahwa kamu ada dan mengikuti segala pergi.
Ketika sulit, ingat!  dulu proses apa yang kau minta dalam doa - doa panjang.
Ingat seberapa benci kau dengan lemah,
seberapa menyakitkan rasanya jatuh tanpa baju pelindung,
dan seberapa memalukan jika kalah dengan orang yang tak tau apapun.
Jangan mengeluh,
jalani saja mesti sakit,
walau nafas tersengal,
jalan berbatu,
percaya saja Allah itu ajaib,
maka batasanmu,
hanyalah
langit.
Every co card has its own story.

Assalamualaikum semuaaa!!! How are you all doing? everythings going good? or just simply bad as hell? lol, everyone had that. For me, it has been half hell, half heaven. Let see how that was going. 

Satu kepanitiaan telah selesai, and another comes up. Sudah kurang lebih dua bulan ini gue bergerak dalam satu kepanitiaan fakultas. Kepanitiaan dengan acara yang sederhana, melombakan antara himpunan mahasiswa satu dengan lainnya dalam beberapa lomba di cabang olahraga dan seni. Lombanya banyak, mulai dari futsal, sepak bola, kejar mantan, lomba siapa yang paling cepet dapet htsan, eh maap . . . . salah. dan masih banyak lomba menarik lainnya. Lombanya biasa aja, just like ordinary championship out there. Yang lebih seru justru ada di cerita dibalik kepanitiaannya.

I might share you later, but one thing for sure, this co card definitely have a story. Story about struggling and to learn to expect the unexpected. 

Selfie dengan badan yang rasanya masih ngilu ngilu lucuk

Hey, apa kabarmu?. Saya tau saat pertama kali membacanya maka kau akan bertanya tanya siapa saya, apa yang akan saya tulis, dan apa tujuan saya. Sungguh, tanpa mengenalmu cukup lama saya sudah tau kamu seorang pemikir, sampai saya berpikir dua kali dan akhirnya memutuskan untuk memainkan sebuah permainan dan mengajakmu ikut di dalamnya. Permainan surat kaleng. Dimana saya menjadi seorang misterius di kehidupanmu, berlagak sok puitis dengan mengirimkanmu surat kaleng, dan kamu yang kebingungan sampai paragraph terakhir. Sungguh nikmati saja, baca saja sampai akhir dan kamu akan mengerti segalanya.

Saya sudah cukup lama tak menulis lagi, ini adalah tulisan pertama saya di tahun ini, dan tulisan pertama saya yang terhubung dengan seorang kamu. Jangan pikir ini surat cinta, saya bukan pencintamu, jadi . . maaf saja hahaha. Dan saya tau kamu sudah menjadi pencinta orang lain, dan hal itu tak menghentikan saya untuk menjadi pengagum seorang kamu. Ceritakanlah pada gadis itu, saya tak keberatan, dan katakanlah kepadanya tak perlu risau, toh saya hanya daun daun kering di pekarangan yang tak pernah kau tau ada.

Banyak hal yang ingin saya ceritakan sebenarnya. Bagaimana kita bertemu, bagaimana sampai akhirnya saya menyanjungmu sampai sebegini memalukan. Tapi itu tak akan terjadi, karena itu jelas adalah kekalahan telak hahaha. Dan saya tak akan memberikan kamu kemenangan semudah itu, jadi mari kita mulai lagi. Mungkin saya hanya akan memberi kamu satu tanda kecil agar membuat permainan ini menjadi adil. Saya mengenal kamu, dan kamu mengenal saya. Dan satu hal yang membatasi kita adalah, saya berada di luar lingkaranmu, pun begitu sebaliknya, entah siapa yang berada terlalu jauh, atau sepertinya memang sesederhana circle pertemanan kita yang berbeda. Tapi itu tak jadi masalah. Saya menikmati menjadi pengagummu yang misterius, dan kamu, seperti anak laki laki yang lain, akan secara hati berjingkrak jingkrak mendapat surat semacam ini. Kita berdua aman. Kamu akan selalu menjadi kamu dalam bayangan saya. Dan saya adalah pengagummu yang egois karena hanya menikmati gambaranmu yang tanpa cela. Karena kamu adalah bintang. Bersinar hanya dari kejauhan.

Dan terakhir, sebagai seorang pengacau singkat, saya hanya berpesan, kemenangan saya ada di dalam kepalamu. Tepat ketika kau tak sanggup melupakan seseorang yang tak pernah mempunyai nama tapi menyentuh rasa ingin tahumu terlalu dalam. Bercokol terus dalam kepala sampai akhirnya mengira ngira “Apakah dia . . . Ah mungkin dia, atau dia?”. Sampai hanya semesta yang akan tertawa melihat kau mengira ngira dan pada satu tebakan ternyata benar tapi tetap saja kamu menjadi manusia yang maha bingung di hari itu. Maka terimakasih, senang bermain denganmu. Semoga pada permainan selanjutnya kita sama sama sadar, bahwa ternyata jarak kita tak sejauh itu. Selamat liburan! J

Now, if you are still wondering, yes, it was me. congratulation! games are all over!
ealah, ternyata sekarang kita bisa main bersama lebih sering. semesta itu humoris. hahaha. dan lo ternyata . . . ah sudahlah.
"I'll never be your good Plan B"
Kalau saya sih tak apa walau hanya memelukmu pada sepenggalan sapa di pagi hari

Kalau saya sih tak apa, ketika segala kata rindu hanya terucap dan menguap begitu saja ketika kamu ada

Tak apa pula untuk saya menghabiskan khawatir akan kamu, ketika kamu ingin pergi, hanya dengan satu pesan singkat berujar "tiati bray haha"

Lalu hanya mendoakanmu, percaya kepada Yang Maha memberikan rasa. bahwa pesan saya kelihatan bercanda, tapi perasaan, sebenarnya tak pernah sebercanda itu

Kecewa pun tak apa, ketika harap saya kosong ketika ia ada

Tapi tenang saja, senang berlebih pun pernah, ketika kamu percaya, mempercayakan segala ceritamu tentang dia, tentang kalian. Setidaknya, kamu percaya saya.

Ya, kepercayaan sebagai teman dekat. Sekedar teman semu untuk tumbuh bersama. saat ini. dan hanya saat ini

Semuanya tak apa, tapi kamu . . . .

Apakah tak apa, jika dicintai sampai sebegitunya? Oleh satu - satunya gadis yang kamu percaya tak akan pernah punya rasa kepada teman dekatnya.


-October 30th 2015-
About 7,5 hours left to be twenty, semoga ini yang terakhir. Semoga setelah ini, tak ada tokoh seperti kamu, atau cerita seperti kita. Semoga kali ini Allah bersedia mengabulkan doa yang satu ini, Bolehkan?
It's been a while . . .

No

Thats a bullshit

Udah lama banget gue nggak nulis disini. Assalamualaikum semuaaaaa!!!!

gue kangen banget kangen rasanya untuk nulis dan berbagi cerita lagi sama kalian. Sama entah diamanapun kalian berada. Tons of sorry because there's no update for like months back then. Hidup gue sekarang cukup riweuh. Banyak banget hal yang terjadi yang akhirnya hanya terlewat begitu saja. Kebiasaan, karna rasanya kadang terlalu sakit atau terlalu menyenangkan, atau sekarang terlalu melelahkan bahkan untuk membaginya berapa menit kedalam jurnal ini. Pun gue maklum kalau sekarang sudah jarang readers yang akhirnya melihat tulisan gue. Mungkin karena memang sudah jarang sekali update, atau ya, karna simply, life change. Semua orang tumbuh dewasa, berubah, punya urusannya masing - masing and just ain't got time for fucking care about other people life. Thats normal, so do I. Tapi lagi - lagi, rasanya memang ketika pertama kali membuat blog ini, tujuan gue bukan jadi attention whore or something superb writer. No, gue masih jauh dari itu, tapi gue memang ingin memiliki satu space yang gue bisa cerita semuanya. Dimana gue ya gue, tanpa harus pura pura bahagia, pura pura dewasa, pura pura ceria, pura pura tidak merasakan apa apa ketika bahkan semuanya sudah tercecer nggak beraturan. Suatu hari, ketika gue sudah dewasa, gue akan membacanya dan tertawa, ternyata gue pernah sebodoh itu, ternyata gue pernah sekuat itu.

Ya. ini album digital dari momen momen terpilih hidup gue. I might save my future self, or someone heart, or just simply fulfill the urge to be in my old self, with all of the circumstances.

But let's continue the story by the way.

Cerita kali ini ditulis dengan kata Alhamdulillah di setiap tarikan nafas yang gue buat. No, gue nggak baru aja dapet jackpot. Pun gue nggak ketiban rejeki di samperin adam levine di depan kosan. Gue cuma simply baru menyadari, di atas motor, sore hari, bahwa banyak sekali nikmat yang Allah berikan selama ini, dan betapa gue adalah manusia yang sering kali menutup mata. 

Awalnya, again, entah ke yang berapa kali, i love someone who never loved me back. Patethic ya? indeed. I know him more well than I know my self, especially at the point that after all this time, I actually have a feeling for him. Tapi, lagi lagi, bukan itu. Untuk yang satu itu, gue udah biasa. Udah sering sampai rasanya terlatih untuk menjalaninya secara biasa biasa saja. I even managed to be his friends, casually. But the thing is, He love other girl. Ya, indeed that hurt me, but again, I'm well trained for that. The thing is, whats that left is just me and my pathetic self.

Pathetic bukan karna sayang sama orang, patethic karena ketika sayang sama orang lain, gue hampir kehilangan diri gue. Somehow gue merasa nggak cantik, nggak berbakat, nggak ada artinya. Kenapa? yes, dia lebih memilih orang lain, tanpa pernah liat ada gue yang selama ini kayakanya nggak jauh jauh amat. Tanpa liat kalau selama ini, gue yang mendengarkan segala ceritanya dia tentang dunia dan segala masalah yang dia punya. I'm downgrading my self at that time, apalah gue dibanding cewe itu, yang cantik yang dipuja seluruh khalayak ramai. Lalu ujung - ujungnya gue malah ngedumel sama Yang Maha Kuasa. Kenapa rasanya semua yang gue lakukan bahkan nggak pernah cukup, untuk at least, make someone loved me that much. I miss being loved, sama seorang cowok yang kayak gitu. Gue nggak pernah mengkonkritkan itu sebagai suatu doa, gue selalu takut untuk mendikte Tuhan, berbicara tentang apa apa yang gue inginkan secara memaksa. Toh siapa gue yang cuma manusia kecil. Tapi ya rasaya, kenapa salah satu keinginan gue lagi lagi tidak tercapai.

And . . . I'd been thinking.

Dibalik satu doa yang rasa - rasanya nggak pernah dikabulkan sama Yang Maha Kuasa, ternyata ada banyak doa - doa kecil yang rasanya sepele yang Dia kabulkan. Semuanya, semuanya, benar benar nggak ada yang salah. Nggak ada satupun yang membuat gue buruk dan merasa rugi. Salah satunya, masih kuat dalam ingatan gue 2 tahun lalu ketika jadi Maba. Melihat salah satu senior yang membuat gue kagum karna segala kata katanya soal mahasiswa, yang membuat gue nyeletuk dalam hati, coba gue bisa kenal sama dia. Dan nggak butuh waktu satu tahun, akhirnya gue kenal, kita satu kepanitiaan, dan gue belajar banyak hal dari dia. Nggak cuma itu, bahkan gue kenal sama banyak orang yang nggak pernah gue sangka sebelumnya, yang lagi lagi, memberikan segala ilmu tentang hal hal penting maupun sepele. 

even now I can say that I even managed to be him. Berbagi spirit untuk menjadi mahasiswa yang mahasiswa dengan segala idealisme yang gue rasa harus selalu ada di dalam diri kita. Sebagai mahasiswa, sebagai manusia. Dulu, doa itu rasanya sepele, tapi sekarang itu jadi sesuatu yang nyata. Menampar gue bahwa Allah benar benar mendengarkan, bahkan sampai ke doa yang rasanya nggak penting - penting amat.

Terlepas dari itu, masih banyak lagi kesempatan yang akhirnya datang begitu saja tanpa gue serius meminta. Semuanya hanya berawal dari celetukan gue yang nggak tau apa apa, kesempatan jadi asisten lab, jadi guru les privat, jadi juri di salah satu lomba, ikut lomba debate nasional walaupun hanya jadi semifinalist novice, jadi seseorang yang gue dulu inginkan dan masih banyak lagi. Hal hal yang dulu rasanya nggak mungkin, tapi dengan mudahnya Allah membuat satu persatu angan jadi nyata. sampai sering kali gue berpikir, Allah itu ingin sombong, menunjukkan bahwa memang hanya Dia Yang Maha Ajaib, Maha Kuat, maha segala galanya, dan ya, cuma Dia yang berhak menyombongkan diri akan hal itu, karena cuma Dia yang bisa membuat nyata hal hal yang rasanya . . . . impossible. 

And it slap me in the face.

Untuk permintaan - permintaan sepele saja Dia kabulkan, berarti ada sesuatu ketika Dia tidak mengabulkan permintaan - permintaan serius gue. Bukan Dia tidak mendengar, bukan pula mengacuhkan, that means, He saved me from something I don't know. Mungkin karena memang sesuatu itu buruk, mungkin karna memang ada hal baik lain yang telah Dia siapkan. Dan kenapa pula gue harus bersedih ketika segala permintaan tentang cinta dan berharap untuk jadi "cantik" tidak atau belum dikabulkan, toh Dia telah mengabulkan ratusan doa sepele gue, bahkan doa yang paling penting, yaitu dicintai tanpa gue pernah sadari. Ya, gue dicintai oleh Dia, melalui telfon telfon Bapak yang sering kali tak terjawab, doa mama yang selalu disimpan dalam diam, kangen yang tersirat dalam status status temen gue di Tangerang, dan marah - marahnya temen - temen gue di Purwokerto ketika gue lupa makan, atau simply, karna udah lama nggak keramas atau beres beres kamar hahaha.

Gue pasti manusia terbodoh jika tidak pernah merasa cukup pada cinta yang sepowerful itu. Maka, nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan?.
Terus saja begini. Saya hanya satelit kecil di langit luasmu, mengitari dengan mata yang buta dan orbit yang tak lagi mulus.

Terus saja begini. Saya hanya pelengkap didalam segala pidatomu, gap filler, yang selalu terbawa tapi tetap, mudah saja digantikan.

Terus saja begini. Saya adalah tokoh yang penonton tak akan sadar ketika dia hilang, dan menjadi benar saja ketika tersakiti.

Terus saja begini. Saya adalah pujangga ulung, yang merangkai segala kata rindu di surat yang tak akan pernah kau baca.

Terus saja begini. Saya si peminum racun yang tersusun dari setiap perhatian dan perasaan yang saya telan bulat - bulat. Meringis, tapi harus.

Terus saja begini. Saya yang belaga jadi aktor, berbohong dengan topeng profesionalitas.

Terus saja begini. Kesakitan sendiri di malam malam hari.

Memutuskan segala cakap tak perlu. Menghindari segala pertemuan tak penting. Memangkas setiap rasa yang tumbuh subur. Karena saya semakin mengerti, beberapa pahit ada untuk menggarisbawahi manis, beberapa kemungkinan memang tak bisa dibuktikan eksistensinya. dan beberapa manusia, cukup puas jadi pemeran sampingan. Bukannya tak berusaha, karena lagi - lagi pengertian membenturkan saya akan nyata, bahwa dari awal semuanya memang soal sakit, itu hanya masalah waktu dan cara. Dan saya, hanya berusaha mengambil setitik bahagia yang paling mungkin dari segala sakit yang tersedia. 

Semesta, bahkan untuk ini, cukup simpan saja. tanpa penyampaian. Simpan saja ini sebagai satu satunya rahasia kecil diantara segala rahasia tentang sakit manusia. Semesta, simpan ini seperti saya memegang serpihan kecil yang bahkan ia tak pernah tau ada, menyembunyikannya dalam kantung terdalam dari baju hangat yang tak akan pernah saya pakai. 
Gue udah lama banget rasanya nggak nulis disini ya hahaha. Oia, Assalamualaikuuum gengs!. How's life? how's love? hahaha. Semoga keduanya baik baik saja di kehidupan kalian. Ya ya ya sabar, gue tau kalian ngebet bingitz untuk tau segala hal yang terjadi pada kehidupan gue. Yaaa bukannya geer atau merasa ngartis, whether gue artis atau nggak, gue rasa memang kita, manusia, harus mengakui bahwa terkadang, atau sering kali, menemukan bahwa mendengar cerita kehidupan orang lain adalah suatu hal yang menyenangkan. Syaratnya cuma satu, kita cukup tau aja, masalah memberikan solusi itu urusan kedua. Iya toh? haha. 

Pun bukannya gue mau menjelekkan kehidupan sendiri, karena menurut gue segala hal yang terjadi nggak ada yang jelek. Semuanya terjadi untuk suatu tujuan. Pasti ada maksud tertentu. Contohnya, duluuu sekali gue pernah galau setengah mampus ketika seorang teman bercerita, bahwa dia bertemu dengan mantan gebetan legendaris gue di stasiun, sedang mengantarkan mantan calon pacar legendarisnya dia. Duh sakit. Sedangkan gue pada saat yang bersamaan pun sedang berada di stasiun yang beratus ratus kilometer jauhnya, sama, kembali ke kota perantauan untuk menimba ilmu. Tanpa diantar oleh, let's say, lelaki spesial. Duh, sakit kuadrat. Tetapi pada akhirnya ditengah kegalauan gue tetap memutuskan untuk beranjak dan berjalan ke arah rel kereta api. Nggak nggak, gue nggak mau bunuh diri kok, apalagi terapi listrik, serius, gue cuma mau naik kereta, secepatnya sampe kamar dan tidur, karena nggak sanggup menerima kenyataan bahwa ternyata gue masih aja baperan (SAAT ITU, iya, keterangan waktu ini memang penting banget, agar ketertiban rakyat dan khalayak ramai tetap terjaga). 

Lalu naiklah gue ke kereta. Dengan wajah linglung akhirnya gue masuk gerbong dan seketika kaget. Sejauh mata memandang adalah kepala kepala plontos dengan rambut minimalis, berbadan tegak, dan memakai seragam kedinasan coklat coklat. Dan saat itu gue seketika tersenyum lugu ala gadis desa ngeliat perjaka kembang kampung sebelah. Puji syukur langsung gue panjatkan, emang Tuhan tau aja gimana caranya mencuci mata dan hati gue. Ciegitu. Dan dalam pencarian kursi, gue berdoa lamat lamat, semoga gue duduk dikelilingi salah satu mas mas macho dan bermasa depan cerah ini MUAHAHAHAHA *evil devil laugh*. Eh ternyata bener lagi!, yah tapi gue ternyata nggak begitu seneng. Duh repot deh harus jaga image, tidur nggak enak, mbok tiba tiba gue keceplosan mangap tanpa sadar kan nggak lucu, image hayati mau ditaro dimana? di saku kegedean, di idung nanti dikira upil. Yaudah gue telen aja, duduk tegak, leher kaku, tapi image aman, jadi mari kita ucapkan Alhamdulillah. 

Lanjut. 

Sampai lamaaa sekali, sekitar 1/4 jalan lagi sebelum kita sampai purwokerto, kedua mas itu memulai percakapan. Sebenernya kita memang beberapa waktu sudah ketawa bersama (mungkin cengengesan absurd tapi tetep jaim bersama) karena tingkah salah satu anak kecil yang penasaran sama kepala plontos mereka, dan dengan semena mena nge-plok plokin (maafkan atas kesalahan diksi, sumpah, gue frustasi untuk memilih mana kata yang paling tepat untuk menggambarkan kejadian plok plokan luchuk di ubun ubun itu) jidat dan ubun ubun dua taruna dibelakang kursinya. Kalo gue nggak jaim, kalo gue nggak sendirian, mungkin gue nggak harus mules karena nahan ketawa, karena adegan itu sebenernya lucu banget, tapi apa daya, hayati lemah kakanda, aszek.

nah, lanjut.

Singkat cerita akhirnya kita basa basi ala orang tua. Dari mana mbak? mau kemana? kuliah? dan pertanyaan semacamnya yang membutuhkan fake smile dengan keanggunan tingkat dewa sepanjang percakapan. Well, mereka nggak boring, tapi jawa abis. Mereka berasal dari Surabaya, lelah, dengan tingkat keteposan sudah tahap akut. Iya, kereta itu ujungnya memang surabaya dan berhenti di Purwokerto, which is sekitar 12 jam harus duduk di atas kursi yang katanya busa dengan senderan punggung hampir 90 derajat. Tapi after all mereka menyenangkan. Gue banyak cerita soal bagaimana mereka bisa masuk Akademi Polisi di purwokerto itu. Sampai tibalah kami di stasiun purwokerto. Ketika gue beranjak turun, wah salah satu yang sedari tadi memang paling aktif ngomong langsung berdiri di belakang gue. Gue merasa aman, selayaknya artis yang kemana mana di temenin body guard. Wah boljug nih kata gue. And you know what?! yep! dia minta nomer gue. Dengan pertimbangan panjang dan penuh perhitungan akhirnya gue kasih aja, wkwkwk. Toh kalo nggak bener nggak usah dibales, kalo udah ekstrem tinggal di block. habis perkara. Tapi yang pasti somehow gue seneng banget. Malamnya dia sms gue, dan mentelfon gue beberapa kali tapi nggak pernah keangkat. Yaudah. 

Menurut lo cerita ini akhirnya bakal apa?

Nggak kok

Kita nggak jadi makin deket

Sahabatan nggak

Apalagi jadian

Komunikasi itu akhirnya berhenti kurang dari seminggu. Iya, cepat datang dan cepat pergi. Tapi saat itu gue nggak sedih, gundah galau gulana. Sama sekali nggak. Cuma somehow, gue merasakan bahwa memang kehadiran lelaki taruna itu ditujukan hanya untuk pengalihan. Untuk obat dari luka gue yang sebenernya nggak ada apa apanya. Karena memang, setelah masuk ke gerbong itu, lalu bertukar nomer, saat itu, bayangan si mantan legendaris nggak muncul lagi. Otak gue melupakannya dengan satu pemahaman yang timbul bahwa mungkin gue yang harus melihat lebih luas. Sadar bahwa masih banyak lelaki yang lebih worth itu, lebih keren dan lebih segalanya daripada si mantan gebetan legendaris itu. Dan gue nggak perlu sedih hanya karena dia lebih memilih orang lain, yang pada saat itu, kualitas dirinya tak henti hentinya membuat gue membandingkan. Isu soal cinta sudah berubah menjadi isu tentang bagaimana kualitas diri gue. Fisik maupun kepribadian. Karena merasa tak dipilih, segala hal berubah menjadi serius, kesedihan berlipat ganda, dan gue tenggelam pada pencarian jawaban soal pertanyaan "Apa sih positifnya gue". Kejadian dengan si mas mas taruna yang entah sekarang nasibnya kayak apa, pun sebenernya nggak ngebantu banyak. Tapi paling nggak, saat itu gue bisa berfikir bahwa, dengan apa adanya gue, toh gue masih worth it. Masih ada lelaki lain diluar sana yang nggak kalah keren, yang masih aware dengan kehadiran gue, dan pada sore itu menjadikan gue sebagai satu satunya pilihan untuk menjadi gadis yang disimpan nomor handphonenya. Gue masih dipilih walaupun pada saat itu gue belum bisa menemukan jawaban dari pertanyaan paling besar. Seenggaknya gue memaafkan dan itu cukup.

Kejadian itu benar benar menunjukkan kepada gue bahwa tak pernah ada kejadian yang tanpa hikmah, pun pertemuan hasil ketidak sengajaan. Semuanya punya maksud, semua orang punya arti, cuma masalah manusia yang kadang kepikiran maksudnya apa nggak hahaaha. 
This evening, it's not the fact that I really don't know who are you the most, but . . .

apparently 

I really don't know who I am. my heart, to be exact.

Shame, you fool!
Tulisan ini tak akan pernah punya arti apa apa. Baca saja dengan santai, jangan berpikir hal yang tidak tidak karena kesan yang saya buat. Terkadang tulisan memang menyakitkan, tapi disitulah kemenangannya.

Saya sering mendengar kalimat bahwa sebenarnya kita diciptakan berpasang – pasangan. Wanita dan pria, sama sama menjadi setengah bagian, untuk melengkapi bagian lainnya. Ada pula yang bercerita bahwa takdir kita sudah tercatat di langit ketujuh. Saya dengan dia, Dia dengan dia, dan pasangan lainnya. .  Saya pikir sampai sini kita sepakat bahwa setiap orang punya pasangan.

Masalahnya adalah, pada praktiknya kadang hal itu menjadi suatu yang kompleks. Perjodohan takdir tak berjalan sesederhana saya yang telah ditakdirkan dengan dia, lalu kami hidup bersama sampai ajal memisahkan. Pertanyaan timbul ketika, pada praktiknya, toh ada pria yang memiliki istri lebih dari satu. Ada pula seorang istri yang memutuskan untuk menikah lagi setelah pernikahannya yang gagal. Tapi konsen tulisan ini bukan berada pada kasus semacam itu.

Tulisan ini saya buat berdasarkan seorang nenek di sebelah tempat tidur mama beberapa tahun lalu. Renta, dengan selang yang menjadi penopang setiap nafas yang tersengal. Seorang gadis duduk di sampingnya, nampak dibayar untuk menemani saja, sehingga ketika dia duduk bermalas – malasan dan bersikap acuh, sepertinya tidak menjadi suatu masalah. Tapi dari gadis itu kami tahu, bahwa nenek itu punya keluarga tapi tanpa pasangan. Ya, ia memang tak pernah menikah. Dan laki – laki muda yang beberapa hari sekali menjenguknya adalah keponakan yang ia asuh terlalu baik sampai dianggap sebagai anak. Cinta memang dapat berasal dari mana saja. Tapi memikirkan bahwa sampai serenta itu dia hidup tanpa pasangan, rasanya, saya tak mengerti dan takut pada saat bersamaan.

Berdasarkan teori sebelumnya, saya mulai memikirkan satu kemungkinan. Mungkinkah, pria yang ditakdirkan untuknya sudah “pergi” duluan? Toh kita pun sering mendengar beberapa remaja berakhir hidupnya, bahkan ketika mereka belum mengenal cinta. Mungkinkah? Saya merinding membayangkannya, sekaligus tidak mengerti. Mereka kehilangan satu sama lain, bahkan sebelum mereka sadar bahwa mereka memiliki satu sama lain. Terikat begitu saja di langit ketujuh, tapi terputus ketika sampai dunia. Atau, kemungkinan lain adalah mereka memang tak pernah ditakdirkan bersama. Si wanita ditakdirkan sampai ujung hayat tak berpasangan, dan si pria ditakdirkan “kembali” tanpa mengenal pertalian jodoh. Lalu bagaimana dengan kata – kata “Setiap orang diciptakan berpasang – pasangan”? Saya pernah membaca hal ini di Al Qur’an, tapi saya sadar untuk tidak mengartikan dan mengambil kesimpulan secara kasar berdasarkan pengetahuan saya yang nol. Tapi tetap saja, kata – kata seperti itu menimbulkan pertanyaan. Dan saya lebih menyukai ide pertama, bahwa setiap manusia memang ditakdirkan berpasangan. Ide kedua memang realistis, tapi rasanya tak adil, ketika manusia lain memiliki pasangan, mengapa mereka tidak. Setidaknya pada ide pertama, mereka memang tidak memiliki pasangan disini, tapi telah dijanjikan di akhirat (walaupun sampai sini pun pertanyaan lain muncul di kepala saya, memangnya ketika sampai akhirat kita akan tetap mengenal pasangan kita di dunia? Memangnya yakin dapat bersama sama sampai surga? Tapi memikirkan pasangan yang seperti memang ditakdirkan bersama dari sananya, seperti bapak dan mama saya, lalu berpisah dan menjadi individu mandiri ketika sampai akhirat, rasanya tak nyaman saja membayangkannya)

Hal ini tidak sederhana. Semesta memang tak pernah kehabisan bahan untuk berpikir. Terlalu rumit untuk otak manusia sekecil saya. Mungkin tak peduli sampai sepanjang apapun tulisan ini, saya tak akan menemukan jawabannya. Tulisan ini memang tak seperti curhatan yang lalu lalu. Dimana saya selalu menemukan pintu untuk setiap pertanyaan dan kebimbangan. Ya maklum saja, kali ini agak berat dan memang mungkin di seluruh dunia pun tak ada yang punya jawaban pasti soal hal ini. Tapi satu yang saya tahu, Tuhan memang tak bekerja secara langsung. Jawabannya tak selalu datang secepat pesan singkat di handphone, kadang butuh waktu yang sangat lama, dan kadang mungkin tak akan terjawab sama sekali. Tapi yang saya tahu, saya tak boleh tak berpegang pada suatu hal ketika masih menjalani hidup. Akhirnya saya memilih untuk percaya pada apa yang saya ingin percayai. Dalam hal ini adalah ide bahwa setiap manusia memang ditakdirkan untuk memiliki pasangan. Biarkan Tuhan menjadi korektor satu – satunya yang memiliki hak untuk membenarkan, toh Ia adalah yang Maha Benar.

Lalu satu pikiran melintas di kepala saya, bagaimana jika saya berada posisi si lelaki yang meninggalkan jodohnya karena tuntutan takdir. Bagaimana kalau sampai akhir hayat saya tak dapat bertemu dengan dia yang entah siapa. Bagaimana jika pada akhirnya ia berakhir di kursi goyang, menikmati teh di sore hari sendirian, yang seharusnya saya tepat berada disampingnya. Jika hal itu terjadi, rasanya saya  . . . .  Saya kehabisan kata kata. Mungkin saya akan menulis surat untuknya, jika memang, hal itu adalah sesuatu yang nyata. Dan karena ini adalah hasil kerja Semesta, lagi lagi, biarkan semesta yang menyampaikan surat saya, nanti, entah kapan.




Kehidupan gue sebelum ini bukanlah kehidupan yang luar biasa. Sekedar hidup seorang gadis komplek yang pagi sampai siang di sekolah, sore sampai malam dirumah, bercengkrama dengan orang tua. Hanya saja satu yang gue pahami bahwa menulis adalah soal mengabadikan banyak hal. Dan kehidupan gue sebelum ini adalah salah satu yang harus diabadikan, karena dalam kesederhanaannya, kehidupan yang dulu tetap saja tak pernah gagal membuat gue rindu, kangen, dan semacamnya.

Berawal dari malam minggu kedua di bulan April. Sudah beberapa hari itu gue merasa sangat amat hampa. Ada perasaan sedih yang gue sendiri nggak tau asalnya darimana, kenapa, dan karena siapa. Tiba tiba ya cuma sedih aja. Gue nggak mood kemana mana, nggak mood untuk melakukan apapun, dan diperparah dengan sariawan yang sedang meradang. Beberapa hari itu rasanya gue berubah jadi makhluk pendiam sejagat raya. Sampai pada malam minggu, puncaknya, gue memutuskan untuk muter muter keliling kota, naik motor, sendirian. Kecepatan 40 km/jam dengan gue yang mikir selama perjalanan. Kenapa gue merasa terganggu hanya karena perasaan yang nggak jelas juntrungannya. Dan ditengah ramainya jalanan di malam minggu, gue pun terpikir bahwa seandainya gue di Tangerang, pasti cerita malam minggu gue nggak akan segloomy ini. Gue membayangkan kedua sahabat gue sudah merangsek masuk ke kamar, at the right time when I was about to cry. Stalking artis artis youtube yang kenal aja nggak, dan akhirnya makan mi goreng jam 10 malam tanpa perlu khawatir soal lemak. Kalau saja gue masih di Tangerang, mungkin perasaan kayak gini nggak akan muncul. I might not have to take that long lonely stroll in Saturday night. Mungkin gue nggak harus ngerasa sendirian, ketika padahal, di kota baru ini, mungkin lebih banyak manusia yang gue kenal daripada di Tangerang. Kalau gue masih di Tangerang, mungkin malam itu gue nggak akan tidur dengan perasaan kesepian, sedih yang aneh, yang nggak bisa berubah jadi air  mata, yang yaudah, cukup di telen aja. Tidur gue setelahnya pun nggak kalah hampa. Gimana ya perasaan mereka malam ini?.

Lalu paginya gue terbangun, seperti biasa, kesiangan, karena terbangun pada tengah malam dan nggak bisa tidur lagi sampai jam 3. Bau harum masakan udah kecium bahkan sebelum gue membuka mata. Kalau dulu, itu pasti aroma masakan nyokap gue. Pada hari hari biasa seringnya wangi sayuran yang ditumis, telur hangat atau sekedar tempe goreng legendaries. Kalau beruntung, mungkin nyokap gue akan masak model masakan yang banyak bumbunya, macem ayam bumbu bali, atau masakan lain yang gue nggak tau namanya, tapi rasanya nggak ilang ilang dari lidah karena terlalu mancep. Tapi sekarang di kosan ini, bau harum semacam itu, seringnya gue nggak tau aroma makanan apa, bikin laper, tapi nggak bikin seneng, karena seberapapun enak baunya, gue nggak bisa makan. Karena sederhana, Itu bukan masakan nyokap gue. Itu masakan ibu kos gue yang kadang baik, kadang juteknya ngalahin cruela devil. Meh.

Tapi saat itu juga hari minggu. Biasanya mama juga nggak masak kalo hari minggu. Karena seringnya pada hari itu kita pergi, beli barang barang keperluan rumah tangga, sembako, belanja bahan bahan kue, atau berkunjung ke rumah sodara. Pokoknya hari minggu itu adalah harinya keluarga gue, kemanapun hari itu, kita pasti bertiga, keluarga kecil Dita. Jadi, pagi hari untuk mengatasi lapar, biasanya kita jalan ke jalanan utama perumahan. Menuju satu warung bubur ayam yang ramenya setengah mampus kalo hari minggu pagi, namanya warung Bubur Ayam Pak Gendut. Kita kesana hanya setiap minggu, karena pada hari biasa, pagi di keluarga gue berlalu dengan sangat cepat, jadi nggak memungkinkan untuk sarapan di warung bubur langganan. Walaupun begitu, pak gendut tetep inget pesenan keluarga gue. Satu bubur ayam komplit (mama), satu nggak pake kacang (bapak), dan satu nggak pake bawang daun dan kacang (gue). Kadang Pak Gendut salah ngasih pesenan, kadang punya gue di kasih bawang daun, kadang punya bapak dikasih kacang, tapi kita nggak protes. Keluarga gue memang bukan tipe yang complaining, kami tau diri bahwa pesanan banyak dan permintaan kita terlalu bertele tele, jadi yaudah terima aja. Tapi tetep, bubur Pak Gendut adalah bubur terbaik di jagat kota Tangerang menurut gue. Long Live Pak Gendut dan Buburnya!. Disini juga ada kok bubur ayam yang rasanya mirip mirip. Porsinya gede, pas banget buat anak kosan, ramenya juga nggak kalah sama Pak Gendut, tapi sayang, bapaknya nggak gendut, walaupun pada akhirnya itu jadi bubur ayam favorit gue di kota ini. Dan akhirnya kesanalah gue pergi pada hari minggu pagi itu. Sedikit mengatasi kangen yang lagi muncak banget. Dan saat itu bukan bapak sama mama yang ada di depan gue, melainkan temen satu kosan yang udah jadi partner sejati untuk cari sarapan. Temen sekosan gue memang selalu ada ketika dibutuhkan pada saat saat seperti ini.

Dan saat itu gue sadar akan sesuatu.

Mungkin hidup gue nggak semenyenangkan itu sekarang. Sekarang, ketika gue membuka mata, bukan lagi kamar kuning dengan meja belajar dan seperangkat personal computer. Bukan juga jendela yang pemandangannya langit di atas tempat cuci piring gue. Mungkin sekarang nggak senyaman itu. Kamar gue tak lagi berwarna kuning, melainkan merah muda. Furniturenya di lapisi sampul plastic murahan bernuansa biru. Kamar ini pun nggak terlalu luas, malahan sempit kalo dibandingkan dengan kamar yang dulu. PC pun sudah diganti dengan laptop minimalis yang menemani gue setiap saat dengan musiknya, atau sekedar jendela menuju dunia cyber ketika gue butuh referensi untuk laporan praktikum. Tapi kamar ini menyediakan segala yang gue butuhkan ketika lelah lelahnya. Tempat untuk beristirahat, kasur kapuk yang keras tapi dingin, kamar yang sempit tapi bisa muat barang barang penting, setiap spot fungsional.

Sama juga seperti hal lainnya disini. Temen, kegiatan, kuliah, tempat, sahabat. Mungkin memang nggak senyaman dulu, tapi kehidupan gue disini menyediakan apa apa yang gue butuhkan. Walaupun sekedar cukup tapi harusnya gue bersyukur atas segala sesuatunya. Gue masih punya temen yang walaupun nggak sedeket sahabat sahabat gue disana, tapi mereka selalu ada. Mereka tahan dengan segala swinging moodnya gue. Mereka marah marah ketika gue mandi malem, mereka marah ketika gue nggak makan seharian. Mereka care seperti kedua orang tua gue, dan selalu ada seperti sahabat sahabat gue. Mungkin mereka nggak sesempurna itu untuk menggantikan posisi keduanya (walaupun sampai kapanpun memang nggak ada yang bisa menggantikan posisi mereka karena mereka akan selalu ada), tapi mereka hampir mirip dan itu teramat cukup untuk gadis ini. Begitu juga dengan kota ini. Kota ini sepi, nggak ada apa apanya, tapi ditengah kearifan, kota ini mengajarkan banyak hal kepada gue. Menempa gue untuk hidup mandiri, bahwa kita nggak boleh bergantung ke orang lain, kalo lo nggak cari makan ya lo nggak kenyang. Kalo lo nggak jaga kesehatan ya jangan ngeluh kalo lagi sakit. Kalo lo nggak gerak ya nggak akan dapet apa apa. Kalo lo nggak ngurusin diri sendiri, ya jangan harap akan ada orang lain yang ngurusin lo, karena mereka pun sudah sibuk dengan urusannya masing – masing.

Kehidupan setelah itu memang nggak nyaman, nggak seaman kehidupan sebelum ini, tapi kehidupan saat ini membantu gue membangun diri. Dan saat ini, dengan mengabadikan kehidupan yang lalu sudah cukup untuk menjaga kesadaran gue. Bahwa kita masih bisa tetap memegang hal hal indah, bukan untuk kembali dan meratapi, tapi untuk mengenang. Seperti oase ditengah kering, ketika gue merasa lelah dan harus berhenti sejenak. Dan mungkin suatu hari, gue akan merindukan kehidupan yang sekarang gue bilang nggak lebih nyaman dari kehidupan gue sebelum ini. Mungkin, mungkin, mungkin. Hidup gue memang nggak akan pernah kehabisan kata mungkin. 
Pernah nggak sih kalian bangun pada suatu pagi, dengan lagu sedih yang otomatis terputar gitu aja di dalam kepala yang entah suaranya darimana. Kayaknya semuanya salah, semuanya hanya main main, semua yang gue lakukan entah kenapa wasted, padahal ini belum sampai akhir. Segala dugaan dugaan buruk yang terus saja melompat di dalam kepala, meledak ledak dan seperti menghancurkan pikiran gue dari dalam.

Gue nggak terlalu frustasi untuk menulis, tapi kata hati gue memandatkan bahwa perasaan ini harus ditulis secepatnya. Entah bagaimana caranya, semuanya harus tersalurkan, lewat apapun itu. And here I am, gadis yang sepagian ini tiba - tiba sedih tanpa tau kenapa alasannya. Mungkin satu deskripsi sederhana yang akan menjawab pertanyaan "Kenapa" yaitu . . . perasaan tak mampu melakukan apapun, perasaan I'm not one of that beautiful girl, perasaan bahwa gue . . . tak pernah diinginkan. Rasanya rumit dan merusak tanpa gue tau bagaimana menghentikannya.

Have you feel that way? I already took a cone of ice cream, it feels good, but like its cold, it isn't last. 

I just wanna be home. soon. wherever it is. whatever it cost.

Dan gue berpikir mungkin itu normal. Mungkin memang terkadang kita harus meresapi jatuh untuk mensyukuri ketika di atas.
Saya memiliki kamu, dalam setiap doa senja hari yang diucapkan lamat lamat. Doa yang tanpa nama, tanpa wajah. Semoga kamu baik - baik saja, semoga segala usaha tak berujung sia - sia. Semoga kau segera sadar, bahwa telapak tangan wanita yang ada dalam senja kala itu, bukanlah satu yang dapat melengkapi sela - sela jarimu dengan sempurna. Semoga kita saling menemukan secepatnya dalam ketiadaan, karena aku mulai lelah menduga - duga.





-Di sela sela kuliah pagi seorang dosen yang mendayu dayu-
Life is God's masterpiece with a twist in the end.

Gue suka baca novel, kebanyakan adalah novel fantasy and sorry to say, terjemahan. Bukannya gue apatis dan meremehkan karya penulis Indonesia, mereka bagus, tapi hanya sebagian kecil yang sanggup membuat gue percaya akan karya mereka dan akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan berapa puluh ribu untuk dibawa pulang kerumah. Alasan lain gue suka novel terjemahan adalah, mereka lebih apik menaruh twist dalam setiap cerita. John Green adalah pemberi twist novel paling hebat selama 19 tahun gue hidup. Dia bisa membuat gue jatuh cinta pada akhir yang twist, yang meremukkan hati pembaca, dan akhirnya kesel kesel sendiri karena nggak nyangka novel ini akan berakhir seperti itu. Lalu setelah membaca gue baru sadar bahwa, sebenarnya hidup kita seperti novel, Tuhan adalah pencipta twist yang paling juara sepanjang sejarah semesta. Termasuk hidup gue. Dan sekarang, kayaknya, gue sedang menghadapi salah satu twist dari sekian twist yang belum kebuka. 

Dan itu berawal dari fasilitas chat terabsurd yang isinya, entah lelaki gila sex, manusia kesepian dan butuh kasih sayang, atau seorang gadis yang hanya ingin menghabiskan kegabutannya selama liburan karena nggak tau harus ngapain lagi. Thats me. Sudah sekitar 1 bulan gue ada disana. Ngobrol dengan banyak orang, mulai dari cowok yang habis ngomong hey langsung ngajakin pacaran, cowok koplak yang kerjaannya nontonin power rangers, cowok yang ternyata adek kelas gue pas SMA, sampai gigolo yang demenannya tante tante. Sederhananya, fasilitas chatting itu menyediakan segala wawasan tentang dunia lain yang gue nggak tau. Termasuk dunia dia, yang sampai sekarang gue nggak tau siapa. 

Dia adalah satu dari yang (katanya) lelaki. Obrolan kita nyambung, mulai dari film dan kesamaan hobi yaitu dance. Iya, gue suka dance, nggak pernah tau kan?, karena memang itu adalah hobi masa kecil yang gue simpan karena gue tau, gue nggak bisa melakukan itu di dunia dan di lihat banyak orang. Hal yang paling gue suka dari percakapan kita adalah, gue bisa ngobrol serius tanpa merasa serius. Bahwa apa yang kita obrolin ya sebenernya seru, dengan cara yang unik. Dengan cara yang orang lain akan bilang membosankan. Kita bisa cerita panjang tentang pikiran manusia liberalis sampai lama. Keseruan itu adalah sesuatu yang membuat gue akhirnya lupa bahwa ada twist dari cerita ini.

Ya, Dunia kita berbeda. No no no, bukan berbeda seperti antara dunia ghaib dan dunia nyata. Dunia kita, circle kita, pergaulan kita, berbeda. Yaaa gue juga realistis, tanpa bukti yang jelas dia ngomong ini itu soal betapa bergelimangnya kehidupan dia, dengan segala fasilitas, studi, dan wanita yang menggila bahkan ketika cuma ngeliat mukanya. Betapa ia bisa aja merayu dalam hitungan jam lalu berakhir di hotel. Dunia yang sepenuhnya berbeda dengan gue yang ia menyebutnya adalah "Anak baik baik". Nggak ada bukti, gue bisa aja nggak percaya, tapi entah kenapa gue percaya dengan mudahnya. Selama ini sih gue sudah cukup dewasa untuk memfilter segala informasi dari sana. Gue nggak mudah percaya sama orang lain, I know things that obvious from cyber world is there are nothing that obvious. Tapi entah kenapa, pada akhirnya gue percaya. 

Dan hal tersebut, segala ceritanya soal wanita, kehidupannya, ke nyambungan kita ketika ngobrol, membuat gue akhirnya menguninstall app chatting tersebut dengan segala masalahnya :'. Well, sebenarnya nggak hanya karena dia, tapi juga karena app itu menyita konsentrasi gue. Gue jadi generasi nunduk karena akan selalu ada orang yang diajak ngobrol disana. Ngobrol dengan orang lain adalah suatu morphin di kehidupan gue. Padahal, di dunia nyata, akan selalu ada temen gue yang bersedia untuk diajak ngobrol. Secara langsung, dengan emosi dan rusuh rusuh yang nggak bakal bisa tersampaikan walaupun dengan emot sebanyak apapun. Mereka mulai protes karena sekarang gue lebih sering pegang hp dibanding ngealay dan ngerusuh bareng. Begitu juga orang tua. Mereka terganggu, dan dapat membuat gue sadar walaupun mereka nggak ngomong. Dan saat itu gue baru sadar, gue punya kehidupan nyata yang sudah cukup indah, tanpa harus ada manusia manusia random yang asik diajak ngobrol. yang kenal pun enggak, status teman pun sebatas tanda bintang di icon profile. Gue sadar, hidup gue lebih dari itu. 

Memang agak membuat bimbang pada awalnya (maafkan bimbang kali ini sangat amat nggak guna). Tapi gue teringat akan obrolan panjang kita terakhir, tentang tutup tupperware dan botolnya. Mungkin kita memang nyambung, mungkin kita seperti tutup tupperware yang klik sama botolnya. Tapi akhirnya gue sadar, mungkin "kebocoran" kita memang bukan berada di bagaimana kita bisa ngerti jalur pikir masing masing, tapi memang dunia yang membuat kita berbeda. Dan gue nggak bisa membahayakan diri gue untuk masuk dan merasakan kenyaman yang lebih jauh dari itu. Karena gue tau, ini semua nggak akan ada ujungnya. Cuma main main, dan gue bukan gadis yang bisa main main terlalu lama. Akhirnya gue memilih untuk menghapus satu satunya penghubung yang ada. Seperti gue yang memilih untuk tak lagi memakai botol tupperware gue agar buku buku tak lagi keriting karena kebahasan yang nggak sengaja. 
GUE JANJI UNTUK MENYELESAIKAN TULISAN INI ENTAH SEBERAPAPUN ABSURDNYA IA.

Okeh. itu adalah komitmen gue yang akhir akhir ini runtuh aja ketika moodnya sudah habis. Sudah lama gue nggak menyapa kalian disini, apa kabar apa kabar apa kabaaaar? hahaha. Banyak hal yang sudah terlewati. Salah satunya adalah terlewatinya semester 3! Yeah! walaupun hampir mati, nafas tinggal setengah, dan pipi yang semakin membulat (entah kenapa) akhirnya semester itu pun terlewati juga. Banyak hal yang gue dapatkan di semester yang katanya neraka itu, salah satunya adalah time management, bahwa benar kata orang, kalau kamu tidak segera "memenggal" waktu, maka waktu yang akan "memenggalmu". Tapi segala kesibukan di semester lalu, gue boleh bilang, nggak ada yang sia sia. Gue belajar menjadi mahasiswa yang . . . memahasiswa. Kata orang sih gitu. Tapi tetap, konsekuensinya adalah tidur yang kurang, jarang makan, tapi ngemil jalan terus. Kang mendoan di pertigaan tiba tiba jadi hafal dengan paras kelelahan ini, karena berapa hari sekali absen beli mendoan, cukup 3.000 rupiah udah dapet 3 mendoan panas dan 2 dage (makanan khas purwokerto yang dibuat dari ampas tahu, teksturnya, menyes menyes sedep). Cocol pake sambel, mantapnya bikin gue sanggup melek sampai dini hari untuk ngerjain laporan. Kemarin hidup gue nggak jauh jauh dari itu. 

Semester ini . . . kayaknya bakal begitu lagi. 

Tapi sungguh, gue mensyukuri segala kesulitan yang datang. Gue percaya bahwa hidup itu seimbang, kesusahan, kesenangan. Gitu gitu aja sebenernya. Nah oleh karena itu, gue berniat menghabiskan jatah kesusahan gue di masa muda, jadi yang tersisa ketika gue sudah punya keluarga sendiri adalah . . . jatah senang senang. Semoga, semoga, semoga. Hidup gue nggak akan jauh jauh dari segala semoga agar Tuhan selalu mengaminkan segala ingin. See you next time! semoga hutang gue tentang Tour de Tangerang bisa segera lunas sebelum gelombang praktikum meluluh lantahkan segala jadwal. Much Love! xoxoxo

Kata orang, menulis dapat mengabadikan beberapa hal yang tak dapat diabadikan. Bagiku sama saja kali ini, mengabadikanmu adalah sesuatu hal yang mudah saja dilakukan ditengah Endorphin yang sampai pucak. Menulis menjadi fasilitas mewah untuk mengabadikanmu yang bahkan nama pun tak tau, wajah tak terbayang, dengan senyum yang masih segaris pucat hitam putih abu abu. Dirimu masih serancu itu dalam otakku, tapi hatiku memujamu dengan sejelas jelasnya sampai rasanya menulis mu . . . ya mungkin saja. hahaha.

Menulismu dengan perasaan macam ini adalah hal baru. Kalau kau tau, sudah cukup lama aku tak menulis rentetan kata kata cinta. Ah jangan muluk muluk, dahulu cukup saja kata Senang, jika memungkinkan. Setelah tau bahwa sakit itu menyenangkan, tetiba aku menjadi manusia yang terdedikasi untuk jiwa jiwa Masochist. Ya, aku menoreh luka baru tiap hari di atas luka lama yang belum mengering sempurna. Aku tertawa ditengah tetesan merah yang menetes tapi tak terlihat, aku bahagia ketika hati ini meringis pedih sambil mendendangkan nostalgia nostalgia kelam. Tulisanku berteriak lantang dan bangga karena dalam kesakitan ia merasa menang.

Lalu sekarang, kamu tiba - tiba datang ditengah ketiadaan, membuatku jenuh menjadi pencandu perih dan menciptakan satu alter ego yang selama ini ada tapi mengintip malu malu kucing. Ya, aku adalah Pencintamu yang Amatir. Kepribadian yang tiba tiba saja terbentuk karena akrabnya kita dalam dunia yang hanya sebatas kata. Aku ditunjukkan bahwa Kata, bisa sedahsyat itu mengetuk jiwa. 

Ajaibnya, aku tau kamu seberbahaya itu tetapi masih saja membiarkan rasa ini tertanam liar. Segala tentangmu adalah fakta - fakta yang entah kekal atau sekedar bualan iseng di tengah malam. Toh yang makin bahaya adalah, jika bahkan fakta itu memang sesuatu yang telah di aminkan Semesta, aku makin yakin kalau memang kau seberbahaya itu. Cerita yang kau ceritakan sungguh tak ada yang seharum kasturi, tak ada lelaki alim hasil entah pencitraan atau kebenaran. yang kudengar hanyalah rayuan dan wanita wanita yang telah menemanimu melewati malam. Tanpa menyebutkan nama kau cukup membuatku sadar diri dengan segala angka, jumlah wanita. Nah obrolan ini taruhlah gadis ini percaya. 

Tapi satu yang membuatku sadar bahwa kau memang hanyalah laki laki biasa. 

Adalah satu ceritamu yang selalu kumainkan kembali tiap malam bahkan ketika kau tak ada. Cerita tentang bintang. Ya bintang, benda angkasa paling indah dan kesepian pada saat bersamaan. Bagaimana kau bilang ia mempunyai suhu jutaan celcius. Membayangkan bagaimana jika ia meledak dan kita tak akan lebih dari partikel kecil yang masuk lubang hitam bahkan sebelum kita sadar. Lalu kau yang menggambarkan indahnya hingga sampai pada keputusan untuk memuja sang Pencipta kita. 

Itu adalah satu satunya aku melihatmu sebagai anak lelaki yang tak lebih aneh daripada aku.

Sebagai manusia yang ternyata tak sebejat itu

Itu adalah satu satunya waktu aku melihatmu sebagai lelaki yang patut dipuji. 

Aku tau percakapan kita tak lebih dari hasil senang senang tanpa tujuan. Mungkin semesta tak akan mempertemukan kita dalam satu frame kehidupan yang sama. Mungkin memang tak ada kesempatan untuk menyatukan dua dunia yang sama sekali berbeda. Mungkin aku akan melupakanmu suatu hari. Dan bahkan aku yakin, setelah tulisan tentangmu aku pasti akan menulis lagi. Entah cinta, entah sakit, entah cerita kehidupan gadis dipenghujung kepala satu. Yang pasti kemungkinan besar, itu bukan kamu. Singkatnya, mungkin aku akan lupa. Tapi izinkan saya mengingatmu malam ini. Segala impianmu yang tak sengaja terselip di obrolan ringan, segala cintamu untuk gadis berwajah tirus yang parasnya . . . tetap saja kerenan aku. hahaha. Segala segalamu yang ikut aku aminkan agar segalanya sampai pada kebaikan. Tulisanku yang akan jadi sastra perjanjiannya, bahwa aku memang benar benar meminta, bahwa aku mengabadikanmu. 

Mengabadikanmu dengan caraku, mengagumi dan memberi rasa dengan cara yang paling sederhana. Karena kau tau, jika entah bagaimana caranya semesta berhasil membuatmu menemukanku, aku ingin menjadi bukti untuk orang lain, untukmu, bahwa Kata, memang dapat sedahsyat itu mengetuk jiwa. Bahkan jiwa yang belum kukenal tapi dapat berhasil diabadikan, tepat pada waktu yang paling indah indahnya. Seperti Bintang yang berada pada masanya yang paling terang.


But I got a blank space baby
And I'll write your name
Saya sudah lama tak menulis. Pada malam yang semakin ke tengah, saya menjadi berkaca pada banyak hal. Saya tak tahu apa yang harus saya tuliskan, tak mampu memilih kata mana yang patut dan patut untuk diucapkan. Bingung akan perasaan mana yang harus lebih di dengar diantara lainnya. Bingung akan siapa saya akhir akhir ini. Jadi biarkan saja tulisan ini mengalir, bagaimana saya bercerita kepada sang malam tentang hidup gadis yang kelewat biasa dan bermimpi menjadi luar biasa.

Kepada sang malam saya memeluk sepi ini erat erat. Membiarkan sarinya meresap dalam setiap pori tubuh. Ikut dalam aliran darah, membanjiri diri dengan segala rasa soal sepi dan sakit yang hadir bersisian. Sepi tak pernah semenusuk ini. Saya kembali pada momen itu. Ada seorang anak lelaki. Datang membawa bunga, tatapannya lekat pada helaian kelopak yang jatuh perlahan dalam perjalanannya menuju saya. Saya tanpa usaha hanya duduk manis tak berdosa. Saya terlalu lelah untuk sekedar melangkahkan kaki menujunya, atau bahkan sekedar mengucap kata semangat agar lelahnya selalu gugur dan jatuh begitu saja ke tanah. Saya hanya diam. Saya terlalu lelah untuk menemukan sehingga pada akhirnya ditemukan adalah pilihan atas segala pilihan yang sebenarnya tak ada.

Dalam tatapannya lelah menumpuk sampai setinggi gunung, tapi senyumnya tetap melekat. Tatapannya masih sehangat biasa. Dan dalam hangat itu mulai ada dinginnya jenuh yang perlahan tumbuh tanpa terkendali. Ia perlahan menggorogoti lelaki saya. Lelaki saya jatuh karena sakitnya. Kelopak merah itu berjatuhan. Bunga bunga dalam genggamannya seolah menangisi tetes darah karena merahnya berserakan di atas hitamnya tanah. Saya, masih saja duduk mengamatinya lekat.

Saya takut ikut jatuh dalam usaha menariknya berdiri

Saya takut ia berbalik pergi, dan hanya punggung yang dapat bercerita bagaimana ia sadar, putri yang diimpikannya ternyata tak seindah kelihatannya. Saya takut saya menjadi gunung yang ia menyesal telah mendakinya

Saya akhirnya tetap diam. Sekali lagi menunggu untuk ditemukan. Dalam hati merapal doa semoga hatinya diberi kuat untuk sampai tepat di depan saya.

Sosoknya berusaha bangun, mencoba berdiri pada dua kaki. Tatapannya kini lelah, mempertanyakan segala tujuannya berlari selama ini. Tatapannya meminta jawaban, dan kakinya hanya tinggal menunggu aba aba. Entah maju dengan segala sakit, atau berbalik dan melepaskan. Ia meminta jawaban, mataku melihatnya nanar.

Aku takut

Aku takut

Dan kupejamkan mata, menghilangkan sosokmu yang tinggi dari pandangan. Membiarkanmu menghilang di tengah gelap. Aku tak dapat memberi jawaban, bahkan untuk yang kesekian kali.

persis karena kala itu ketika akhirnya aku membuka mata dan melihat bayang punggungmu yang tanpa aba aba semakin mengecil. Saat itu kau memilih pergi meninggalkan saya dan seikat bunga tergeletak di tengah jalur yang tadinya adalah jalanmu. Memilih menyerah karena beratnya diluar kuasa. Dingin yang entah darimana mulai meresap ke dalam tulang, lengan lenganku memeluk lutut yang terteku kaku, mereka mencari hangat yang tiba tiba hilang. Hangat yang sama dengan senyummu senja itu. Tubuhku terguncang, bergoyang depan dan belakang. Aku terisak menahan takut, menahan kalut, menahan sedih bagaimana bahkan sampai kau berusaha aku masih saja tak ingin menyapa. Tak ingin memberi dukungan ketika kau bahkan telah memberikan segala usaha. Saya benci ketidakberdayaan saya dalam memilih.

Dingin yang datang malam ini sama persis seperti itu. Bedanya kali ini tak ada lagi isak, karena bahkan air mata sudah terlalu jenuh menemani saya pada malam malam semacam ini.
Jadi dewasa itu nggak hanya soal kita yang makin mengerti dan menerima setiap alasan atas segala pilihan yang dijatuhkan, tapi juga mengerti bahwa terkadang kita bukanlah yang dipilih karena alih alih tak ada lagi pilihan lain ketika faktanya, pilihan lain sebenarnya masih sangat mungkin  
Heeey buddies! Long time no write eh?. Sudah sangaaaat lama sepertinya saya tidak membagi cerita disini. Dan seperti kebingungan yang selalu datang setiap kali saya kembali dari rehat menulis yang panjang, kali ini pun begitu, jadi maafkanlah :")). Tidak sebegitu bingung sebenarnya, karena kali ini, dalam hati, saya tahu apa yang akan saya ceritakan kali ini. Satu perjalanan yang mungkin saja hanya satu chapter yang akhirnya berlalu dari satu novel tebal kehidupan saya, tetapi tetap saja tak akan terlupa, yaitu . . . Perjalanan saya ke kota sumpek tapi ngangeni yang dulu saya sebut rumah, dan saya berharap masih ada rumah disana. Setidaknya itu yang ada di kepala ketika diri ini berada di bis antar kota.

Dalam keberangkatan, and not to mention, kesendirian, lol, saya tak banyak berpikir, karena hampir seluruh perjalanan saya habiskan dengan tidur lelap karena obat anti mabok langganan, nah another lol. Jangan harap saya akan berpikir banyak dan merenungkan sesuatu yang terkesan bijak karena dalam pikiran saya hanyalah SENANG!. Setelah kurang lebih 12 jam saya akhirnya sampai di kota tercinta, segera disambut dengan hujan dan another classic things and not i miss is . . . banjir. Jalanan perumahan itu semakin tak terlihat ditelan hujan deras semalaman, meninggalkan ranjau ranjau batu dimana mana. Saya pikir setelah ditinggalkan kurang lebih 2 tahun akan ada keajaiban pada jalan masuk ini, ternyata keajaiban itu hanyalah mitos. Dan bertarunglah ojek saya jam 4 pagi di jalanan perumahan. 

Sampai di depan rumah seorang sahabat dengan baju yang kering semi kuyup dan beraroma bis. Saya hanya tak kuat melihat kaca dan berniat untuk langsung mandi saja. "Assalamualaikuum . . . Asslamualaikum . . ." Sudah saya coba dari suara bak Inayah sampai ke Rambo, tapi tetap saja tak ada seorang pun peghuni rumah yang kunjung keluar dan membukakan manusia semi gembel kedinginan ini. Setelah 15 menit, handphone sahabat saya yang kebonya sudah tak terbantahkan lagi akhirnya aktif. Gerakan 1000 Ping pun dijalankan dan keluarlah dia dari pintu rumahnya. Membukakan saya dan sedikit kaget karena akhirnya gadis slebor ini bisa juga sampai di rumahnya dengan selamat. Tanpa memperdulikan aroma bis antar kota kali itu, langsung saja saya memeluknya, pertemuan pertama kali yang  . . . . . . biasa saja (Maaf membuat kalian anti klimaks, LOOOL). Kami memang bukan tipe romantic buddies yang segalanya harus dirayakan dengan tangisan dan pelukan teletubbies. Kami hanya selalu tau bahwa satu sama lain akan selalu ada, tanpa perlunya ada kata atau kehadiran maupun air mata. 

Ibunya pun segera menyambut saya, masih sama ramahnya dengan beberapa tahun lalu terakhir kali bertemu. Alhamdulillahnya saya dan keluarga sahabat memang selalu baik, mereka telah mempercayakan anak - anak culunnya jika kami bermain walaupun tetap saja, kebodohan yang sama selalu saja terulang. Ia segera menyiapkan tempat tidur dan menyarankan kami untuk melanjutkan tidur karena hari masih gelap, tapi seperti semua teman lama yang sudah lama tak bertemu, maka kami habiskan subuh itu dengan cerita yang telah terlewati sampai akhirnya kami sama sama terlelap dan bangun dengan kepala pusing. Seperti dua orang yang mabuk karena menyesap cerita abg terlalu banyak.

Dan hari pertama di Tangerang pun dimulai . . . .
Sometimes i come to hate you. Not because the way you left us with a big reason which called Chasing a Dream, but when you did that, you also put a big burden that i can't handled . . . alone. And can i say? . . . . it estrange me from my own Chasing a Dream. Yep. one that i always know, you can not always hope such a big understanding from the others, that sometimes, they just simply get a choice and left us without choice.
Terus saja kamu berlari, dari satu hal ke hal lainnya. Berpikir bahwa hidup tak boleh itu - itu saja, nyaman adalah hal yang sakral yang tak dapat dengan mudah ditemukan pada satu hal. Pencarian pada nyaman hanyalah satu perjalanan yang tampaknya pantas saja jika dilalui dengan pencarian, loncatan, pelarian, akan satu hal dan hal lainnya. Tapi sampai suatu saat kamu sadar, bahwa larimu sama saja seperti jogging kita setiap pagi di gelanggang olahraga, sampai lelah dan nafas terpatah - patah, kita tetap saja di trek yang sama, lingkaran yang sama. Tak berpindah satu pintu sekalipun. Tak ada perbedaan, kamu tak akan mendapat pengalaman lain selain mencoba hal baru, lupa, bahwa hidup bukan hanya sekedar membuka pintu, tetapi juga bertahan. Bertahan pada pilihan sendiri ketika situasi tak lagi mudah dan jelas, ketika situasi membuat kamu ingin berlari lagi, memulai satu hal yang baru, catatan polos. Lihat kan? kamu akan kehilangan esensi dalam perjalanan, bahwa yang tersulit tak hanya memilih jalan yang kelihatannya tepat, tapi juga bertahan pada pilihan yang tadinya terlihat tepat. Memperbaiki. Menciptakan nyaman sendiri ditengah kacau, karnea sebenarnya, bertahan adalah hal tersulit daripada memilih.




And one more lesson you got from listening to another Dit.
Apa kabar kamu? saya menulis lagi untuk kamu di penghujung hari. Rindukah kau akan sapaku di awal percakapan kita? rindukah kau akan satu dua hal tak penting yang kita diskusika?. Saya tak rindu, hanya saja ketika melihat ke belakang, sya abaru sadar, kita telah berjalan jauh dari hari itu. Sudah banyak hal yang terlewat dan tak terbahas dalam percakapan kecil kita. Banyak hal yang akhirnya menydarkan saya bahwa, hidup saya sepenuhnya tak lagi dibagi dengan seorang kamu. Begitu juga sebaliknya, saya tak tau lagi apa apa yang saaat ini kau perjuangkan, mimpikah? cintakah? atau sekedar pengakuan ari orang irang?. Saya tak lagi menaruh peduli akan itu ketika kau secara sadar menutup segala kota - kotak cerita. Saya pun tak meminta keterbukaan seorang lelaku yang pergi duluan. Saya disini hanya menulis tanpa arti, sebagai penyadaran kepada diri sendiri bahwa saya akhirnya dapat membangun mimpi, berjalan tegak dan berkarya selayaknya anak muda lainnya. Bahwa kita pernah jatuh sedalam itu tapi akhirnya pulih seiring dengan detik waktu. Karena semua sakit pasti ada obatnya :)
Tidak selalu benar statement seorang aktivis yang selalu berseru untuk bergerak, menyalahkan mereka yang diam saja dikosan. Aktivis kini tak semuanya aktivis, aktif membuat kegiatan untuk menarik anggota disebut sebagai aktivis, Mahasiswa yang belajar dan akhirnya membuat penemuan malah dibilang antipati dan tak peduli akan kampus. Diam disalahkan, egoisme kelompok dipuja puja. Paling ramai, paling bagus!. Kampus berteriak hore, petani tetap saja berteriak minta makan. Miris. Akhirnya diam bukan berarti diam, bergerak tak lagi dapat dijamin kontribusinya. Dan menjadi diam bukan lagi antipati, tapi tahu bahwa bergerak pun sama saja. Singgungan antar kelompok semakin tajam, dan kesalarasan dalam aksi semakin terbang tinggi diatas gapaian teori. Menjadi seorang aktivis kekinian memang hal yang abu - abu.



Dari mahasiswi yang tak pernah jadi seorang aktivis kampus atau akademis sempurna.
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ▼  2015 (26)
    • ▼  Desember (5)
      • Semoga yang akhirnya disemogakan semesta.
      • Ale
      • Soal menyalahkan hujan.
      • Niscaya.
      • Porsemapa!
    • ►  November (2)
      • Permainan Kaleng
      • "I'll never be your good Plan B"
    • ►  Oktober (2)
      • F!
      • Eyes Blind
    • ►  Agustus (1)
      • Rahasia Kecil
    • ►  Mei (1)
      • Sore itu di kereta
    • ►  April (1)
      • It Cracks, again.
    • ►  Maret (6)
      • Kita Pasangan
      • Kehidupan Sebelum Ini
      • Behind every Shine
      • 3/13
      • Twist
      • XOXO
    • ►  Februari (4)
      • Blank Space
      • This isn't Me
      • Jadi dewasa itu nggak hanya soal kita yang makin ...
      • Beginning
    • ►  Januari (4)
      • Let me say it, just for once.
      • Run
      • Gaining
      • Aktivis masa kini
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates