This isn't Me
Saya sudah lama tak menulis. Pada malam yang semakin ke tengah, saya menjadi berkaca pada banyak hal. Saya tak tahu apa yang harus saya tuliskan, tak mampu memilih kata mana yang patut dan patut untuk diucapkan. Bingung akan perasaan mana yang harus lebih di dengar diantara lainnya. Bingung akan siapa saya akhir akhir ini. Jadi biarkan saja tulisan ini mengalir, bagaimana saya bercerita kepada sang malam tentang hidup gadis yang kelewat biasa dan bermimpi menjadi luar biasa.
Kepada sang malam saya memeluk sepi ini erat erat. Membiarkan sarinya meresap dalam setiap pori tubuh. Ikut dalam aliran darah, membanjiri diri dengan segala rasa soal sepi dan sakit yang hadir bersisian. Sepi tak pernah semenusuk ini. Saya kembali pada momen itu. Ada seorang anak lelaki. Datang membawa bunga, tatapannya lekat pada helaian kelopak yang jatuh perlahan dalam perjalanannya menuju saya. Saya tanpa usaha hanya duduk manis tak berdosa. Saya terlalu lelah untuk sekedar melangkahkan kaki menujunya, atau bahkan sekedar mengucap kata semangat agar lelahnya selalu gugur dan jatuh begitu saja ke tanah. Saya hanya diam. Saya terlalu lelah untuk menemukan sehingga pada akhirnya ditemukan adalah pilihan atas segala pilihan yang sebenarnya tak ada.
Dalam tatapannya lelah menumpuk sampai setinggi gunung, tapi senyumnya tetap melekat. Tatapannya masih sehangat biasa. Dan dalam hangat itu mulai ada dinginnya jenuh yang perlahan tumbuh tanpa terkendali. Ia perlahan menggorogoti lelaki saya. Lelaki saya jatuh karena sakitnya. Kelopak merah itu berjatuhan. Bunga bunga dalam genggamannya seolah menangisi tetes darah karena merahnya berserakan di atas hitamnya tanah. Saya, masih saja duduk mengamatinya lekat.
Saya takut ikut jatuh dalam usaha menariknya berdiri
Saya takut ia berbalik pergi, dan hanya punggung yang dapat bercerita bagaimana ia sadar, putri yang diimpikannya ternyata tak seindah kelihatannya. Saya takut saya menjadi gunung yang ia menyesal telah mendakinya
Saya akhirnya tetap diam. Sekali lagi menunggu untuk ditemukan. Dalam hati merapal doa semoga hatinya diberi kuat untuk sampai tepat di depan saya.
Sosoknya berusaha bangun, mencoba berdiri pada dua kaki. Tatapannya kini lelah, mempertanyakan segala tujuannya berlari selama ini. Tatapannya meminta jawaban, dan kakinya hanya tinggal menunggu aba aba. Entah maju dengan segala sakit, atau berbalik dan melepaskan. Ia meminta jawaban, mataku melihatnya nanar.
Aku takut
Aku takut
Dan kupejamkan mata, menghilangkan sosokmu yang tinggi dari pandangan. Membiarkanmu menghilang di tengah gelap. Aku tak dapat memberi jawaban, bahkan untuk yang kesekian kali.
persis karena kala itu ketika akhirnya aku membuka mata dan melihat bayang punggungmu yang tanpa aba aba semakin mengecil. Saat itu kau memilih pergi meninggalkan saya dan seikat bunga tergeletak di tengah jalur yang tadinya adalah jalanmu. Memilih menyerah karena beratnya diluar kuasa. Dingin yang entah darimana mulai meresap ke dalam tulang, lengan lenganku memeluk lutut yang terteku kaku, mereka mencari hangat yang tiba tiba hilang. Hangat yang sama dengan senyummu senja itu. Tubuhku terguncang, bergoyang depan dan belakang. Aku terisak menahan takut, menahan kalut, menahan sedih bagaimana bahkan sampai kau berusaha aku masih saja tak ingin menyapa. Tak ingin memberi dukungan ketika kau bahkan telah memberikan segala usaha. Saya benci ketidakberdayaan saya dalam memilih.
Dingin yang datang malam ini sama persis seperti itu. Bedanya kali ini tak ada lagi isak, karena bahkan air mata sudah terlalu jenuh menemani saya pada malam malam semacam ini.
0 comments