Twist

Life is God's masterpiece with a twist in the end.

Gue suka baca novel, kebanyakan adalah novel fantasy and sorry to say, terjemahan. Bukannya gue apatis dan meremehkan karya penulis Indonesia, mereka bagus, tapi hanya sebagian kecil yang sanggup membuat gue percaya akan karya mereka dan akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan berapa puluh ribu untuk dibawa pulang kerumah. Alasan lain gue suka novel terjemahan adalah, mereka lebih apik menaruh twist dalam setiap cerita. John Green adalah pemberi twist novel paling hebat selama 19 tahun gue hidup. Dia bisa membuat gue jatuh cinta pada akhir yang twist, yang meremukkan hati pembaca, dan akhirnya kesel kesel sendiri karena nggak nyangka novel ini akan berakhir seperti itu. Lalu setelah membaca gue baru sadar bahwa, sebenarnya hidup kita seperti novel, Tuhan adalah pencipta twist yang paling juara sepanjang sejarah semesta. Termasuk hidup gue. Dan sekarang, kayaknya, gue sedang menghadapi salah satu twist dari sekian twist yang belum kebuka. 

Dan itu berawal dari fasilitas chat terabsurd yang isinya, entah lelaki gila sex, manusia kesepian dan butuh kasih sayang, atau seorang gadis yang hanya ingin menghabiskan kegabutannya selama liburan karena nggak tau harus ngapain lagi. Thats me. Sudah sekitar 1 bulan gue ada disana. Ngobrol dengan banyak orang, mulai dari cowok yang habis ngomong hey langsung ngajakin pacaran, cowok koplak yang kerjaannya nontonin power rangers, cowok yang ternyata adek kelas gue pas SMA, sampai gigolo yang demenannya tante tante. Sederhananya, fasilitas chatting itu menyediakan segala wawasan tentang dunia lain yang gue nggak tau. Termasuk dunia dia, yang sampai sekarang gue nggak tau siapa. 

Dia adalah satu dari yang (katanya) lelaki. Obrolan kita nyambung, mulai dari film dan kesamaan hobi yaitu dance. Iya, gue suka dance, nggak pernah tau kan?, karena memang itu adalah hobi masa kecil yang gue simpan karena gue tau, gue nggak bisa melakukan itu di dunia dan di lihat banyak orang. Hal yang paling gue suka dari percakapan kita adalah, gue bisa ngobrol serius tanpa merasa serius. Bahwa apa yang kita obrolin ya sebenernya seru, dengan cara yang unik. Dengan cara yang orang lain akan bilang membosankan. Kita bisa cerita panjang tentang pikiran manusia liberalis sampai lama. Keseruan itu adalah sesuatu yang membuat gue akhirnya lupa bahwa ada twist dari cerita ini.

Ya, Dunia kita berbeda. No no no, bukan berbeda seperti antara dunia ghaib dan dunia nyata. Dunia kita, circle kita, pergaulan kita, berbeda. Yaaa gue juga realistis, tanpa bukti yang jelas dia ngomong ini itu soal betapa bergelimangnya kehidupan dia, dengan segala fasilitas, studi, dan wanita yang menggila bahkan ketika cuma ngeliat mukanya. Betapa ia bisa aja merayu dalam hitungan jam lalu berakhir di hotel. Dunia yang sepenuhnya berbeda dengan gue yang ia menyebutnya adalah "Anak baik baik". Nggak ada bukti, gue bisa aja nggak percaya, tapi entah kenapa gue percaya dengan mudahnya. Selama ini sih gue sudah cukup dewasa untuk memfilter segala informasi dari sana. Gue nggak mudah percaya sama orang lain, I know things that obvious from cyber world is there are nothing that obvious. Tapi entah kenapa, pada akhirnya gue percaya. 

Dan hal tersebut, segala ceritanya soal wanita, kehidupannya, ke nyambungan kita ketika ngobrol, membuat gue akhirnya menguninstall app chatting tersebut dengan segala masalahnya :'. Well, sebenarnya nggak hanya karena dia, tapi juga karena app itu menyita konsentrasi gue. Gue jadi generasi nunduk karena akan selalu ada orang yang diajak ngobrol disana. Ngobrol dengan orang lain adalah suatu morphin di kehidupan gue. Padahal, di dunia nyata, akan selalu ada temen gue yang bersedia untuk diajak ngobrol. Secara langsung, dengan emosi dan rusuh rusuh yang nggak bakal bisa tersampaikan walaupun dengan emot sebanyak apapun. Mereka mulai protes karena sekarang gue lebih sering pegang hp dibanding ngealay dan ngerusuh bareng. Begitu juga orang tua. Mereka terganggu, dan dapat membuat gue sadar walaupun mereka nggak ngomong. Dan saat itu gue baru sadar, gue punya kehidupan nyata yang sudah cukup indah, tanpa harus ada manusia manusia random yang asik diajak ngobrol. yang kenal pun enggak, status teman pun sebatas tanda bintang di icon profile. Gue sadar, hidup gue lebih dari itu. 

Memang agak membuat bimbang pada awalnya (maafkan bimbang kali ini sangat amat nggak guna). Tapi gue teringat akan obrolan panjang kita terakhir, tentang tutup tupperware dan botolnya. Mungkin kita memang nyambung, mungkin kita seperti tutup tupperware yang klik sama botolnya. Tapi akhirnya gue sadar, mungkin "kebocoran" kita memang bukan berada di bagaimana kita bisa ngerti jalur pikir masing masing, tapi memang dunia yang membuat kita berbeda. Dan gue nggak bisa membahayakan diri gue untuk masuk dan merasakan kenyaman yang lebih jauh dari itu. Karena gue tau, ini semua nggak akan ada ujungnya. Cuma main main, dan gue bukan gadis yang bisa main main terlalu lama. Akhirnya gue memilih untuk menghapus satu satunya penghubung yang ada. Seperti gue yang memilih untuk tak lagi memakai botol tupperware gue agar buku buku tak lagi keriting karena kebahasan yang nggak sengaja. 

0 comments