Lucunya, kalau kamu bertanya tempat mana yang akan aku tuju, maka awalnya kamu akan diajak memutar, melingkar, berkeliling dari hangatnya Purwokerto, bisingnya Tangerang, sampai damainya Salatiga. Ketiganya punya masing - masing cerita yang tidak akan habis aku ceritakan meski sudah tanpa jeda.
Tapi, aku sudah memutuskan untuk mengisi beberapa paragraf selanjutnya dengan warna - warni Jogja. Bukan Jogja tempat dia menemukan jam hijau tosca yang akan begitu cantik di pergelangan tanganku, dan meninggalkannya. Bukan juga Jogja yang suasananya mesra dalam lirik KLA. Tapi Jogja pada suatu ketika aku dan dua temanku yang amat baiknya, merayakan perpisahan dengan begitu ceria.
Setelah banyak sekali rencana yang mengada-ada, akhirnya pada suatu siang yang terik, kami menunggu bis Semarang - Jogja dengan bekal seadanya. Tanpa hotel mewah dengan biaya sewa, maupun makan malam di restoran paling apik seantero kota.
Bahkan setelah banyak sekali mereka - reka, akhirnya kami berembuk dalam kamar mungil sembari memilah sisi Jogja mana yang ingin kami temukan kali ini. Jogja memberikan kami pilihan yang tidak habis dihitung dengan sepuluh jari. Ketiga gadis bingung, kemudian hanya bergerak dari satu impulsivitas belanja mendadak di pasar pagi, sampai riuhnya Taman Sari. Menghabiskan sore dalam temaram salah satu kafe dengan secangkir kopi.
Aku sadar, pesona Jogja bisa jadi diceritakan lebih apik oleh ribuan orang lainnya. Namun, jika kamu mau, aku ingin mengajakmu duduk dan mendengarkan pendapatku. Bagaimana arsitektur di Taman Sari membingkai riuh setiap manusia di dalamnya. Mencuri perhatianku dan menyanderanya pada setiap lekuk bangunnya. Pada semaraknya pedagang sunmori UGM dan ratusan muda - mudi. Pada lampu - lampu di sepanjang jalan kota yang menyimpan entah berapa banyak kisah sedih soal cinta. Pada perasaan nyaman dan bahagia ketika menikmati secangkir kopi bersama. Karena akhirnya aku menyadari, dalam dunia baru yang membuatku hampir gila, ternyata aku sudah menemukan dua manusia yang dapat membuat hari - hari yang lesu jadi penuh tawa. Dunia baru yang tadinya sempat membuatku ingin berhenti dan menyerah terhadap apa saja.
Sehingga, soal Jogja dan berbagai macam rasa di dalamnya. Aku ingin bebas merdeka dalam memilih kenangannya. Aku tidak tau bagaimana Jogja mengambil definisinya di depan sana. Bisa jadi lebih menyenangkan, bisa jadi penuh dengan kerapuhan atau banyak sekali kehancuran. Meskipun setiap yang ada di Jogja akan mengkristal seiring dengan waktu, aku ingin tetap mengingat Jogja dari lembar cerita dengan hati yang ringan dan bahagia. Bersama kedua temanku yang kini entah bagaimana kabarnya. Yang jika mereka membaca, aku hanya ingin berkata bagaimana mereka telah jadi salah satu tanda semesta tentang Syafi'i dan syairnya:
"Merantaulah, kau akan dapat pengganti dari kerabat dan kawan yang kau tinggalkan. Berlelah - lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang".