Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Rayu, semalam tadi berat. Kita menangis habis - habisan selagi kamu dalam pelukan. Bukankah kita teringat pada satu masa ketika yang kita inginkan hanyalah sepeda roda dua, berwarna merah muda. Semua anak di gang itu memilikinya, kecuali kita. Orang tua kita berkata bahwa tidak semua hal yang kita inginkan bisa kita miliki sekarang. Terkadang kita butuh bersabar selagi berjalan. Beberapa hal butuh waktu sampai akhirnya ada di dalam genggaman. Saat itu kita kecewa, menangis sejadi - jadinya. Hingga pada sore hari yang biasa, sepeda roda dua, sudah terparkir di halaman depan rumah kita. Namun ia tidak berwarna merah muda, melainkan biru tua. 

Anehnya, kita tetap bahagia meskipun ingatan tentang cantiknya sepeda merah muda masih lekat dalam kepala. Kita sama - sama tidak menyangka bahwa tidak mendapatkan sesuatu, tepat seperti yang kita inginkan, ternyata rasanya tidak begitu mengecewakan. Sesorean itu kita masih bermain dengan sepeda biru tua sampai kelelahan. Pelajaran yang begitu sederhana, yang aku ingat sampai sekarang. 

Rayu, tidak semua hal yang kita inginkan di hidup ini akan berjalan. Beberapa hal akan berjalan hanya sebagian, bahkan mungkin segala ingin tidak jadi nyata sama sekali. Sering kali, yang kamu inginkan justru membutuhkan kesabaran sepanjang perjalanan yang sangat lama. Kesabaran yang ternyata hanya berujung dengan tangan hampa. Sedih dan kecewa, gapapa. Tapi akhirnya kita belajar bahwa hidup memang harus seperti itu. Justru setiap keinginan yang hancur akhirnya menumbuhkan rasa syukur ketika hal - hal sederhana datang sebagai pengganti dari setiap kecewa. Keinginan - keinginan yang nampaknya sia - sia ternyata perlu, dan sama pentingnya.

Kita harus menerima bahwa hidup memang begitu adanya. Setiap yang kita inginkan tidak selalu yang terbaik dari setiap yang kita perlukan. Kita belajar, ternyata hal - hal terbaik datang dengan caranya sendiri, pada waktunya sendiri.
Ini cerita tentang jam tangan hijau tosca di balik etalase kaca. Kamu menemukannya pada suatu perjalanan tiba - tiba di kota Jogja. Kamu tau, aku pasti suka jam tangan yang sederhana. Pasti akan kupakai dengan begitu bahagia. Rasanya seperti membawa sebagian kamu ke tempat manapun aku menuju. Aku dan jam tangan hijau tosca seperti sudah bersatu dalam nyawa. Keberadaannya di pergelangan tanganku akan membuat senyap segala riuh yang mungkin ada. Namun pada akhirnya, sama seperti kita, aku dan jam tangan hijau tosca hanyalah suatu keniscayaan tentang tidak akan jadi nyata. Kamu mengetahuinya sejak kali pertama melihat ia di balik etalase kaca. Jam tangan hijau tosca yang membuat pikiranmu berjalan menujuku, lalu seketika berhenti karena teringat, selamanya hatimu hanya untuk dia. Sedangkan aku hanyalah seseorang yang biasa, tanpa makna.
Suatu ketika, kita berada dalam satu ruangan pada sisi yang berlainan. Kamu berdiri di sampingnya, lenganmu rekat karena hatimu aman disimpannya. Kalian bersisian, dengan aku yang tidak bisa apa - apa. Rasanya ada yang menderu, serupa rasa dari masa lalu. Pernah berdiri dengan gagahnya di tempat laki - laki itu adalah aku. Membanggakanmu dengan banyak cerita pencapaian, dengan lain waktu memeluk setiap kegagalan agar dalam hatimu tercipta kelapangan. Saat itu, mimpi kita saling bertautan. Meski aku belum mengerti benar tentang arti berpasangan, tapi yang aku tau, kamu adalah esensi dari masa depan. Oleh karena itu, kamu menjadi serupa kota yang menenangkan, aku berdiam di dalamnya. Kamu adalah ujung dari setiap usaha - usaha. Tidak lain agar kamu bahagia. Satu - satunya alasan yang pada akhirnya kembali serupa bumerang dengan api menyala. Meluluh lantahkan kota yang setiap sudutnya dihiasi oleh cerita - cerita. Di dalamnya kita tidak lagi bahagia. Setiap sisi yang tadinya taman bunga, kini hanyalah abu tanpa warna. Aku dipaksa keluar dari kota karena api yang menyala.
 
Kemudian aku tersadarkan, untuk berhenti memainkan lagu - lagu nostalgia tentang kala ketika. Ini adalah cerita yang sudah kutau akhirnya. Membiarkan kepalaku mengatur langkah kaki menuju pintu keluar yang berlawanan dengan kamu dan dia. Aku melihatmu terakhir kali dan tawamu ternyata masih melumpuhkan logika. Aku ingin menangis agar tidak sesak rasanya di dalam dada. Tapi tidak malam ini, ataupun banyak malam setelahnya. Pada akhirnya, aku hanyalah laki - laki biasa tanpa mesin waktu di dalam lemarinya, sehingga satu - satunya yang bisa kumainkan adalah kata seandainya atau suatu jika. Jika saja aku cukup membaca setiap tanda bahaya, akankah kini jadi berbeda?

---------

Suatu ketika, kita berada dalam satu ruangan pada sisi yang berlainan. Aku berlindung di sisinya dari setiap kenangan yang mungkin tidak sengaja kamu bawa bersamaan. Lenganku masih erat bertautan dengan satu - satunya cahaya setelah banyak sekali malam penuh dengan keputus asaan. Aku bergantung sekuat tenaga, karena melihatmu berdiri di sisi yang berbeda justru membuat luka semakin menganga. Ingin sekali pergi, tapi hatiku sudah lelah pada banyak sekali pelarian yang akhirnya kehilangan arti. Seringkali justru kembali pada titik awal lagi. Akhirnya langitku pasrah dihujani memori. Serupa hujan yang riuhnya bising, mengaburkan setiap kehadiran manusia lain di ruangan ini. Menyisakan kamu yang menyala serupa inti matahari. Mengingatkanku soal mimpi - mimpi yang kita rajut penuh dengan hati - hati. Berulang kali mengingatkan bahwa kamu tidak pernah sendiri. Berusaha memeluk setiap ketakutanmu dengan selalu berada di sisi. Tanpa disadari, ternyata usahaku kembali serupa bumerang dengan nyala api. Meluluh lantahkan kota dengan aku di dalam intinya, tidak berhenti menangisi. Sampai akhirnya yang aku tau, kamu adalah mahkota yang aku dipaksa melepaskannya agar tak lagi berat bebanku untuk bangkit dan pergi.

Kemudian aku tersadarkan, untuk berhenti memainkan lagu - lagu nostalgia tentang kala ketika. Ini adalah cerita  yang sudah kutau akhirnya. Mengembalikan jiwaku dari berkelana, akhirnya kembali di sisinya. Aku melihatmu menuju pintu keluar, meninggalkan secangkir kopi di atas meja. Rasanya ada yang menyesakkan di dalam dada, haruskah kamu begitu tergesa - gesa. Aku bisa saja menangis sejadi - jadinya, tapi tidak lagi malam ini ataupun banyak malam setelahnya. Aku bukan lagi masalah yang memberatkan, ujarku agar tetap percaya bahwa ini adalah jalan terbaiknya. Pada akhirnya, aku hanyalah gadis biasa tanpa mesin waktu di dalam lemarinya, sehingga satu - satunya yang bisa kumainkan adalah kata seandainya atau suatu jika. Jika saja banyak tanda bahaya terbaca, akankah kini jadi berbeda?

-------------------------------------------
Inspired by exile - Taylor Swift. 
Terimakasih untuk lagunya, dan liriknya yang membuatku turut ingin menangis sambil bercerita. Perayaan kehilangan memang tidak pernah ada habisnya. Alias ni lagu sedih banget emang woe :")
Aku sudah tau apa yang aku inginkan ketika kami bertemu lagi. Tidak banyak, ataupun penuh dengan tanya. Percakapan kami sungguh akan jadi begitu sederhana. Hanya soal sedalam apa yang pernah kami miliki, ia maknai. Aku mengerti kalau pada akhirnya ia diam saja. Aku sudah bersiap jika akhirnya jawabannya ternyata membuatku kembali menemukan bahwa selama ini aku sendiri. Sungguh tidak apa, dan aku akan tetap menjelaskan dengan penuh kesabaran, pun kelapangan. Bahwa jika menurutnya yang kami miliki tidak lebih dari rasa yang begitu dangkal pun semu, maka aku akan tetap bercerita, bagaimana aku pernah begitu tenggelam di dalam kedangkalannya, dengan amat bahagia. Bahkan jika aku lupa caranya berenang, maka tidak segan - segan aku berdiam, tidak lagi akan muncul ke permukaan. Meski sendiri, aku akan dengan bangga mengakui bahwa aku pernah berpikir ini akhir dari setiap perjalanan yang melelahkan. Aku akan terus saja bercerita sampai ke bagian penyadaran bahwa ternyata ini bukanlah akhir, tapi justru satu lagi pelajaran. Setidaknya, satu lagi jatah kegagalan sudah aku tuntaskan. Artinya, bisa jadi aku sudah semakin dekat dengan kedewasaan. 

Aku juga akan bertanya, sejauh apa mimpi - mimpi kami pernah ia bawa pergi. Sampaikah mereka di langit tertinggi. Sampaikah mereka ke hatinya, sehingga ia terus saja mempercayai. Aku mengerti jika ia sudah melupakannya. Aku sudah bersiap jika nyatanya mimpi tidak lebih dari kata, yang suatu hari disusun dengan begitu bahagia, lalu kehilangan arti setelahnya. Sungguh tidak apa, dan aku akan tetap menjelaskan dengan penuh kesabaran, pun kelapangan. Bahwa aku pernah bergantung kepada mimpi - mimpi itu serupa seorang yang putus asa kepada seutas tali. Menjagaku dari jatuh lagi. Membuatku tetap berani dalam menghadapi hari - hari. Aku pernah percaya, bahkan jika suatu hari hal - hal buruk menarikku ke dalam jurang, mimpi - mimpi kami akan menarikku ke atas lagi. Tidak akan ada keputus asaan yang berarti. Lalu kini, ketika setiap mimpi - mimpi berhenti, setidaknya aku menyadari, bahwa ternyata aku masih mampu untuk bermimpi yang amat tinggi. Meski nyatanya sudah jatuh berkali - kali. 

Setelah dipikir - pikir, aku juga mungkin akan bertanya. Seberapa penting diriku di hatinya. Apakah sepenuhnya mengisi ruang - ruang jiwa. Pernahkah aku jadi satu - satunya. Aku mengerti kalau ia kehabisan kata untuk menjawab tanya. Aku sudah bersiap jika ia akan berlari setelahnya. Ada tidaknya ia di depanku, sungguh tidak apa, dan aku akan tetap menjelaskan dengan penuh kesabaran, pun kelapangan. Bagaimana ia untukku masih amat berarti. Bahkan kehilangannya tidak lantas membuatku berhenti mencari setiap bagiannya yang tersebar di muka bumi. Tidak lebih dari sekedar memastikan, bahwa dari sekian banyak doa dengan namanya, Tuhanku yang baik hati dan penyayang masih mengijabah yang paling penting dari semua. Ia masih baik - baik saja dan bahagia. Begitunya aku karena sungguh tidak pernah ada sesal karena pada satu maghrib yang lelah aku pernah memutuskan untuk menemukannya. Bahkan kini aku semakin percaya, beberapa hal mungkin tidak akan pernah aku sadari jika tidak ada dia. Sebagian penyadaran yang juga lahir pada beberapa malam sedih karena kehilangan. Dengan ini, rasanya benar kalau aku semakin percaya, bahwa sama seperti pertemuan, perpisahan juga pasti terjadi untuk suatu alasan - alasan. Mungkin saja salah satunya agar aku cukup mencintai diriku sendiri di masa depan. 

Padahal sebenarnya sih, jika memang suatu hari bertemu lagi, kemungkinan besar aku hanya akan berkata "kabarmu gimana? Aman semuanya?". Sungguh biasa.
Hehe.

Sore itu teduh. Kiya memacu sepeda birunya tepat dibelakang Pay. Kurang lebih sudah sejam mereka berdua mengelilingi daerah kampus dan sekitarnya. Kiya sudah terengah - engah dalam setiap kayuhannya, terkadang semilir angin berhembus meniup lehernya. Rambut sebahunya sudah ia kuncir satu, bergoyang bersama dengan setiap hentakan agar sepedanya terus melaju. 
"Ya, belok ke GOR ya" ujar Pay, tangan kanannya memberikan aba - aba agar mulai menikung ke arah kompleks stadion olahraga kampus mereka. Jalanan kota kecil ini seperti biasa sama sepinya, mereka berdua menyebrang tanpa kesulitan apa - apa. 

"Lu jangan cepet - cepet napa, ngos - ngosan gua" Kiya membasuh butir - butir keringat di dahinya. Handuk kecil yang melingkar di kepalan tangannya sudah basah sejak lima belas menit pertama.
"Alay lu, dikit lagi, jangan manja" lalu Pay memacu sepedanya semakin cepat, melewati jalan yang menurun dengan banyak sekali kerikil di antaranya. Tapi bukan Kiya namanya jika diam saja dikalahkan dengan kata - kata provokatif khas Pay. Ia mengayuh sepedanya, berusaha mensejajari teman dekatnya selama 3,5 tahun terakhir ini. Pay tersenyum jenaka, tau bahwa umpannya telah berhasil menangkap Kiya dan kepercayaan dirinya yang tidak pernah dapat menerima kekalahan. 

"Kita mau kemana lagi habis ini?" Ujar Kiya, masih sambil mengatur nafasnya. Mereka mulai melambat. Sepertinya sudah terlalu sore untuk berolahraga di kompleks GOR kampus, karena kala itu hanya mereka berdua yang ada di sana. 
"Lu harus liat Ya, ada tempat bagus banget, ikutin yak" Pay memacu sepedanya menuju sisi jalan dengan lebih banyak rimbun pepohonan. Suara roda sepeda yang menghancurkan daun - daun kering semakin nyaring mengiringi perjalanan mereka. Kemudian mereka memasuki pelataran laboratorium salah satu fakultas dan memarkirkan sepeda disana. Selain GOR, kompleks ini memang dikelilingi oleh beberapa fakultas lengkap dengan gedung laboratoriumnya. Bahkan asrama mahasiswa juga dibangun di dalam kompleks, menjulang tinggi dengan beberapa lantai.

"Kita parkir disini nggak ilang emang?" Kiya berkata sembari melihat kondisi di sekelilingnya. Tidak ada orang lain selain mereka berdua. Gedung laboratorium 3 lantai di depan mereka pun tidak menunjukkan tanda - tanda adanya aktivitas mahasiswa. 
"Takut banget sih lu, aman kok InsyaAllah. Udah sering gua kesini sendiri" Pay berkata dengan penuh kepercayaan diri. Ia sudah turun dari sepedanya dan mengencangkan kedua tali sepatunya.
"Sumpah, lu ngapain kesini sendiri?" Menurut Kiya, Pay adalah sosok paling ekstrovert yang pernah ia temui sepanjanjang hidupnya. Sudah sering kali ia menjadi korban dipaksa kesana kemari untuk membersamai Pay yang tidak suka pergi kemanapun sendiri. 
"Berkontemplasi, wedeh banget gak gua hahaha"
"Bilang aja lu lagi galau" ujar Kiya acuh. 

Mereka kini berjalan beriringan. Keluar dari jalan beraspal, menuju jalan setapak yang mengarah ke perkebunan masyarakat. Batasan antara kawasan kampus dan perkampungan warga memang sering kali tidak ditemukan, terutama pada titik - titik yang tersembunyi seperti ini. Semakin masuk ke dalam, semak belukar yang tumbuh semakin rimbun. Mereka mulai berjalan satu - satu. Beberapa ranting bergesekan dengan lengan Kiya yang mulai terasa gatal. Di depannya, Pay menjulang tinggi, mulai merasakan sensasi mengganggu yang sama. Ia mengibaskan tangan di sekitar telinga dan kepalanya. Berusaha menghilangkan hewan - hewan kecil yang berterbangan disekitarnya, entah bernama apa. 
"Kok kayak ada suara air ya" Kiya bertanya setelah mendengar suara lain di tengah jangkrik yang mulai bersautan. 
"Iya emang disini ada kali kecil, entar juga lu liat" Pay menerangkannya. Kiya masih bertanya - tanya bagaimana Pay bisa menemukan tempat begitu terpencil seperti ini, dan mengunjunginya sendiri. 
Perlahan ia melihat rimbun semak mulai semakin jarang, dan disanalah mengalir sungai kecil yang merupakan saluran irigasi persawahan. Tempat yang Pay tunjukkan ternyata begitu sederhana, lahan persawahan warga. 

"Jadi ujung - ujungnya lu ngajakin gua ke sawah?" Kiya bertanya kepada anak laki - laki di sampingnya yang sudah berkacak pinggang. Pay sedang memejamkan mata dan mengambil nafas dalam - dalam. Senyumnya menghiasi parasnya, menunjukkan ekspresi serupa kemenangan seorang atlet setelah berkilo - kilo lomba lari. Sejenak hening sampai Pay membuka matanya dan memalingkan wajah ke arah Kiya dengan begitu cerianya. Seolah berada di pinggiran kali irigasi telah menyuntikkan energi baru yang tidak dapat ditemukannya di manapun, kecuali di tengah - tengah area persawahan, karena selanjutnya itulah yang ia lakukan. 

Kaki jenjangnya mengambil langkah panjang untuk menyeberang aliran sungai irigasi. Sekarang, Pay sudah berdiri diantara pematang sawah, menuju pembatas yang lebih lebar. Pembatas yang sudah diplester dengan semen untuk membatasi area persawahan dengan sungai yang lebih besar. Pay mengambil posisi dan duduk di sana. Kakinya menjuntai, menggantung di samping pembatas seolah menggoda aliran sungai dibawah untuk membasahi sepasang kaki yang kini sudah tanpa alas. 
"Sini dah, coba lu duduk di sini" Ia memanggil Kiya di ujung sana, yang sudah mulai menyesali perjalanannya sore ini. Namun, seperti biasanya, meski awalnya tidak suka, pada akhirnya antusiasme Pay selalu berhasil membujuknya untuk menuju kemanapun ia mengarahkannya. Dengan susah payah, akhirnya gadis yang langkahnya sering kali ceroboh itu sampai juga di pembatas sawah yang sama. Tidak perlu waktu lama untuk mengistirahatkan badannya sejenak, duduk di samping Pay. 

"Tenang banget kan Ya disini" ujar Pay sambil memandang ke sekeliling persawahan. Hanya tanaman padi di sekitar mereka. Daunnya yang hijau sudah meninggi, mungkin akan berbunga sebentar lagi. Tanpa ia sadari, warna jingga ternyata sudah merajai langit di atas mereka. Walaupun, beberapa semburat biru masih menghiasi langit senja kala itu. 

"Lu sebenernya lagi mikirin apa Pay?" Kiya menanyakan hal yang sudah mengganggu pikirannya selama acara sepedaan sore itu, bahkan sudah dimulai sejak beberapa hari lalu. 
"Tau aja lu, keliatan banget ya emang?" Pay menatapnya tepat di kedua mata coklatnya. 
"Yah kayak baru kenal lu kemaren aja, lu tuh kalo ada sesuatu kan keliatan banget emang". Pay hanya menjawab dengan setengah senyumannya. 
"Bentar lagi kita wisuda loh Ya" akhirnya ia mulai bercerita.
"Terus kenapa?" Menurut Kiya, tidak ada yang mengejutkan dari hal itu  
"Lu gak takut emang kehilangan ini semua?" Pay melanjutkan. 
"Maksudnya?"
"Yaa ini semua, temen - temen, hidup kita di kampus, keseruan jadi mahasiswa" ada yang patah dalam cerita Pay. Kiya mengerti benar bahwa temannya yang satu ini sedang serius, meski memang bukan Pay seperti biasanya. 
"Ya takut sih, tapi kan harus dijalanin" Kiya menjawabnya sembari melihat langit di atas sana yang semakin gelap. 
"Iya sih" ujar Pay, ia mulai menunduk mengamati aliran air di bawah kakinya sendiri. 
"Tenang aja Pay, gua tau, kita sama - sama gak tau apa yang akan terjadi di depan sana. Tapi, gua selalu percaya kalau hidup itu kayak roller coaster, dan kita sekarang ada di puncaknya. Jadi sebenernya ya normal aja kalo kita takut menuju ke bawah. Kembali ke rumah, rasanya pasti kayak mulai dari nol lagi. Tanpa temen - temen, ataupun kegiatan yang heboh - heboh menyita waktu dan tenaga kayak kemarin itu. Pasti berat, pasti sepi. Tapi saat itu justru kita tetep harus jalan kan, biar roller coasternya melaju lagi sampai akhirnya dia ketemu jalan menanjak lainnya, yang akhirnya mengantarkan kita kembali ke atas. Akhirnya kita ngerasain lagi deh rasanya ngeliat dunia dari tempat yang lebih tinggi" Pay masih mendengarkan gadis di sampingnya dengan seksama. 
"Intinya Pay, gua gak bisa ngejanjiin apapun yang akan terjadi. Tapi yang gua percaya, suatu hari, kita pasti akan ngerasain kayak gini lagi. Meskipun pada tempat dan dengan orang yang berbeda, tapi rasanya pasti sama menyenangkannya karena memang hidup kayak gitu kan. Pasti ada naik turunnya. Kita cuma gak boleh berhenti. Istirahat gapapa, jalan pelan - pelan gapapa. Tapi jangan berhenti" Kiya kini menghadap Pay yang sedang mendengarkannya dengan seksama. 

"Lah tumben bener juga lu" Kini Pay tampak sumringah. Seperti biasa, Pay selalu menerima kata - kata Kiya serupa rumah terhadap penghuninya yang pulang dalam keadaan lelah. Hangat, tanpa sedikitpun penolakan. Meskipun pada saat yang bersamaan, tanpa Pay tau, Kiya sedang mengulang kata - kata yang sama untuk dirinya sendiri. Menentramkan hati akan setiap kemungkinan - kemungkinan kehilangan setelah ini. 
"Ya, jangan lupain gua ya nanti" ujar Pay kepada Kiya, seolah membaca pikirannya.
"Enggaklah, kan lu yang lupaan"
"Wooo itu mah beda guyss" diiringi dengan Pay yang mengacak - acak rambut Kiya. Bergegas berdiri karena salah satu bebannya sudah dapat diakhiri.
"Ih lu mah kebiasaaaaaannn!!!".
Siang itu terik, jalan Daan Mogot makin ramai karena pas sekali jam pulang anak - anak yang bersekolah di sepanjang jalan ini. Perjalananku siang itu hanya ditemani dengan Mc Flurry rasa cokelat. Aku tidak naik motor seperti biasanya, ia kutinggalkan di depan deretan gedung tempat les rutinku selepas sekolah. Aku memilih berjalan kaki, selain karena jalan satu arah yang merepotkan jika dilewati dengan naik motor, rasanya aku juga butuh berpikir lebih lama. Kala itu aku percaya bahwa sepertinya rimbunnya pohon di pinggir jalan akan menentramkam hati yang rasanya sedang acak - acakan. Kenyataannya, tidak juga. Dalam perjalanan aku justru memutar banyak kata - katanya yang kontradiktif dan membuatku bingung harus bagaimana. Aku kemudian mencoba mengalihkan fokus yang aku pikirkan. Bagaimana jalanan ini dipenuhi oleh banyak sekali pedagang kaki lima. Kebanyakan jajanan anak sekolah. Beberapa pedagang dipenuhi oleh anak - anak berseragam yang berdesakan. Sedangkan pedagang lain nampaknya tidak terlalu beruntung hari ini karena hanya satu dua pembeli yang menghampiri. Akhirnya mereka berkumpul di sisi lain jalan dengan pedagang lainnya, mungkin saja bertukar cerita tentang hari ini dengan rokok yang menyala di ujung jari. 

Selain pedagang itu aku juga baru menyadari tentang banyaknya pegawai kantoran yang melewati jalan yang sama. Jalan ini memang teduh pada beberapa bagian, terutama jika kamu menuju pasar lama. Sebelum jembatan penyeberangan, kamu akan menemukan bagaimana pohon besar meneduhkan jalan dengan rindangnya. Hal yang baru aku sadari, di tengah riuhnya kota, ternyata jalan ini bisa jadi nyaman juga. Aku melambatkan langkah, menyesapi bagaimana angin bertiup dibawah rimbunnya pohon besar yang aku tidak tau namanya. Beberapa pegawai kantoran berlalu lalang bersamaan. Ada yang tertawa karena canda selepas makan siang masih begitu melekat. Ada yang buru - buru dengan map di salah satu tangannya. Pakaian mereka rapih - rapih. Pasti pekerja kantoran. Rasanya menyenangkan menjadi mereka, menjadi dewasa. Orang dewasa terlihat menggoda dengan kekuatannya, seolah seragam kerja telah memberikan mereka kemampuan untuk melakukan apa saja. Belum lagi beberapa mbak - mbak, dengan sepatu hak tinggi juga riasan yang berwarna. Aku ingin seperti mereka. Kira - kira, mereka mengalami patah hati juga tidak ya?. Sepertinya tidak, toh mereka kan tampak dewasa dan siap menghadapi segala sesuatunya. Kalaupun patah hati, pasti akan terasa biasa saja. 

Aku masih berjalan, Mc Flurryku hampir habis, tapi rasanya aku belum ingin kembali. Les tambahanku masih 30 menit, sepertinya tak apa jika aku berjalan - jalan lagi. Perjalanan yang singkat di sela - sela rutinitas anak kelas 3 SMA siang ini sepertinya akan aku akhiri di Masjid Agung Ittihad. Bangunannya terletak persis di persimpangan antara Jalan Daan Mogot, Kisamaun, dan Kiasnawi. Aku selalu berpikir, jika masjid adalah manusia, pasti Masjid Agung adalah manusia yang rendah hati. Sederhana karena meski ia tidak setenar masjid lainnya, tapi tanpa sadar ia sudah memenangkan banyak hati manusia. Terlebih hatiku. Rasanya ada magnet yang membuatku selalu kembali. Bisa jadi karena meski berada di persimpangan jalan dengan banyak sekali angkot yang berhenti menunggu penumpang, Masjid ini masih terasa begitu teduhnya. Seperti ketika aku mulai memasuki gerbang di sisi kanannya. Jalannya memang tidak terlalu mulus, rusak di beberapa bagian, tapi karena aku berjalan kaki, hal ini tidak terlalu kurasakan. Sepertinya siang ini juga banyak pengunjung yang menumpang istirahat di sela - sela kegiatan mereka. Banyak motor terparkir di halamannya. Beberapa berada di depan toko - toko di sisi kanan. Aku tidak pernah terlalu memperhatikan apa yang toko - toko itu jual, karena fokusku langsung tersita oleh penjual somay di sisi kiri. Gerobaknya langsung terlihat ketika aku melangkahkan kaki pada halaman masjid pertama kali. Ini somay Bandung kesukaanku. Aku selalu kesana setiap kali ada kesempatan, bahkan sepertinya terkadang merupakan sebagian besar alasan. Satu piring 10 ribu rupiah, tanpa pare dan kentang, aku biasanya akan menambahkan bahwa aku hanya ingin somay, telur, dan kol rebus saja yang aku makan. "Iya Neng" abangnya sabar menuruti, dan menjawabku dengan logat sundanya. Kemudian aku menambahkan catatan yang lainnya yaitu jangan tambahkan sambal, cukup saus kacang dengan lebih banyak kecap, dan lengkaplah sudah satu piring Somay Bandung yang tidak akan terlupakan. 

Dengan somay di tangan, tentu saja aku langsung beralih dari Mc Flurry yang konsentrasi airnya sudah lebih banyak daripada es krimnya sendiri. Rasa somaynya masih sama sejak kali terakhir aku kesana, dan aku lekas menghabiskannya. Setelah itu aku beranjak dan menuju gedung masjid melewati sisi kanan, bagian perempuan. Rasanya makin teduh semakin aku menginjakkan kaki di pelatarannya. Beberapa pengunjung duduk di bawah rindangnya pohon. Beberapa sedang bergegas meninggalkan masjid, kembali ke aktivitasnya. Aku melangkah masuk, melepas alas kaki, segera mengambil air wudhu. Airnya terasa dingin membasahai wajahku selepas perjalanan siang - siang dibawah panasnya matahari. Rasanya menenangkan sampai ke hati. Ternyata meskipun banyak manusia di luar sana, di dalam masjid masih terasa begitu tenangnya. Mukenahnya wangi, karpetnya juga. Terasa empuk sekali menyentuh telapak kaki. Selepas solat, aku semakin betah saja disini dan tidak ingin kembali. 

Sembari memanjatkan doa kepadaNya pemilik semesta, perlahan aku teringat mengapa aku disini. Mengapa siang hari ini begitu tidak biasa. Bagaimana ajaibnya ketika aku menyadari bahwa perjalanan singkat berujung Masjid Al-Ittihad ini telah mengalihkan pikiranku untuk beberapa waktu. Serupa simulasi melupakan, seperti jalanku di siang hari ini. Awalnya aku berjalan dengan pikiran - pikiran yang tidak mengenakkan. Lalu seiring banyaknya pijakan, ternyata aku justru menemukan banyak hal - hal kecil yang membahagiakan dan sering kali luput dari pengawasan. Contohnya Mc Flurry dingin, sepiring somay, ataupun teduhnya Masjid yang menenangkan. Bagaimana semua hal - hal kecil tadi telah amat menyita ketika aku sengaja meluangkan tempat di hati dan pikiran. Sampai akhirnya aku sempurna terbawa rasa yang penuh kesyukuran, dan melupakan hal - hal yang sebelumnya memberatkan. Momentum yang hanya terjadi ketika aku mengambil jeda dari segala keriuhan pikiran. 

Ketika melangkahkan kaki keluar dari Masjid, aku tersenyum dalam hati. Ternyata begini rasanya menjadi lebih ringan. Tanganku kosong tapi pikiranku kini memiliki kunci untuk setiap patah hati di masa nanti, bahwa yang terpenting adalah terus saja berjalan tanpa henti. Lelah tak apa, asalkan jangan pernah lupa mensyukuri hal - hal kecil yang ternyata masih kita miliki.


Rayu kembali datang malam ini. Seperti biasanya ia tidak sedang berani. Parasnya dipenuhi ketakutan yang berdetak seiring dengan denyut nadi. Kedua mata bulatnya dipenuhi rasa cemas dan khawatir. Di dalam dadanya, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku dapat merasakannya, seolah kami hidup dalam tubuh yang sama. Ia mulai kesulitan untuk mengambil nafas, sehingga setiap tarikan hanya dapat dilakukan satu - satu. Kepalanya hanya bisa menunduk melihat kaki yang tidak beralaskan apapun di atas tanah. Bahunya naik turun, pertanda bahwa tangisannya yang sunyi ternyata dapat mengguncang tubuh mungil yang sendiri. Helai - helai rambut ombaknya semakin menutupi kedua pipi yang sudah basah karena air mata sejak tadi.

Aku menghampirinya perlahan. Memeluknya meski ragu - ragu, aku takut ia pergi karena menyangka pelukanku salah arti. "Aku gak akan nyakitin kamu" ujarku. Kedua lenganku merentang, dan Rayu tetap berjaga pada posisinya yang semula. "Aku peluk gapapa ya, pada lenganku kamu bisa menangis selamanya" aku kembali mendekat. Menghilangkan jarak di antara kami berdua. Ia melihatku, parasnya mungil, selayaknya anak kecil. Tatapannya seolah bercerita bahwa hidupnya hanya dipenuhi sepi. "Jangan sedih, mulai saat ini kamu gak akan sendiri" aku berusaha meyakinkannya. Aku berharap ia percaya. "Aku memang masih terlalu banyak kurang, tapi aku gak akan berhenti berusaha agar kamu gak kesepian. Kamu cukup bilang aku ketika kamu ingin main keluar atau kemanapun yang kamu inginkan" aku terus bicara, Rayu mendengarkan dengan seksama. "Ada yang bilang kepadaku bahwa kamu ingin sekali bisa terbang ya?" Rayu mengangguk, tanpa kata tapi tangisnya mulai mereda. Aku tersenyum "Aku nggak bisa janji, tapi aku akan selalu ada untuk menemani kamu belajar terbang melintasi bumi. Suatu hari kita akan bebas terbang kemanapun yang kita inginkan. Sabar - sabarlah ya sampai waktunya". Aku tau Rayu percaya. 

"Kini kamu aman. Kamu hanya harus percaya bahwa kamu dapat melakukan setiap hal yang merupakan mimpi - mimpi. Kamu dapat berjalan lagi. Allah gak akan membiarkanmu sendiri. Ia selalu membersamai" 
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ▼  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ▼  Juli (7)
      • Sepeda Merah Muda
      • jam tangan hijau tosca
      • exile
      • Kalau Bertemu Lagi
      • Di Belakang Kampus
      • Tangerang
      • Rayu
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates