Sore itu teduh. Kiya memacu sepeda birunya tepat dibelakang Pay. Kurang lebih sudah sejam mereka berdua mengelilingi daerah kampus dan sekitarnya. Kiya sudah terengah - engah dalam setiap kayuhannya, terkadang semilir angin berhembus meniup lehernya. Rambut sebahunya sudah ia kuncir satu, bergoyang bersama dengan setiap hentakan agar sepedanya terus melaju.
"Ya, belok ke GOR ya" ujar Pay, tangan kanannya memberikan aba - aba agar mulai menikung ke arah kompleks stadion olahraga kampus mereka. Jalanan kota kecil ini seperti biasa sama sepinya, mereka berdua menyebrang tanpa kesulitan apa - apa.
"Lu jangan cepet - cepet napa, ngos - ngosan gua" Kiya membasuh butir - butir keringat di dahinya. Handuk kecil yang melingkar di kepalan tangannya sudah basah sejak lima belas menit pertama.
"Alay lu, dikit lagi, jangan manja" lalu Pay memacu sepedanya semakin cepat, melewati jalan yang menurun dengan banyak sekali kerikil di antaranya. Tapi bukan Kiya namanya jika diam saja dikalahkan dengan kata - kata provokatif khas Pay. Ia mengayuh sepedanya, berusaha mensejajari teman dekatnya selama 3,5 tahun terakhir ini. Pay tersenyum jenaka, tau bahwa umpannya telah berhasil menangkap Kiya dan kepercayaan dirinya yang tidak pernah dapat menerima kekalahan.
"Kita mau kemana lagi habis ini?" Ujar Kiya, masih sambil mengatur nafasnya. Mereka mulai melambat. Sepertinya sudah terlalu sore untuk berolahraga di kompleks GOR kampus, karena kala itu hanya mereka berdua yang ada di sana.
"Lu harus liat Ya, ada tempat bagus banget, ikutin yak" Pay memacu sepedanya menuju sisi jalan dengan lebih banyak rimbun pepohonan. Suara roda sepeda yang menghancurkan daun - daun kering semakin nyaring mengiringi perjalanan mereka. Kemudian mereka memasuki pelataran laboratorium salah satu fakultas dan memarkirkan sepeda disana. Selain GOR, kompleks ini memang dikelilingi oleh beberapa fakultas lengkap dengan gedung laboratoriumnya. Bahkan asrama mahasiswa juga dibangun di dalam kompleks, menjulang tinggi dengan beberapa lantai.
"Kita parkir disini nggak ilang emang?" Kiya berkata sembari melihat kondisi di sekelilingnya. Tidak ada orang lain selain mereka berdua. Gedung laboratorium 3 lantai di depan mereka pun tidak menunjukkan tanda - tanda adanya aktivitas mahasiswa.
"Takut banget sih lu, aman kok InsyaAllah. Udah sering gua kesini sendiri" Pay berkata dengan penuh kepercayaan diri. Ia sudah turun dari sepedanya dan mengencangkan kedua tali sepatunya.
"Sumpah, lu ngapain kesini sendiri?" Menurut Kiya, Pay adalah sosok paling ekstrovert yang pernah ia temui sepanjanjang hidupnya. Sudah sering kali ia menjadi korban dipaksa kesana kemari untuk membersamai Pay yang tidak suka pergi kemanapun sendiri.
"Berkontemplasi, wedeh banget gak gua hahaha"
"Bilang aja lu lagi galau" ujar Kiya acuh.
Mereka kini berjalan beriringan. Keluar dari jalan beraspal, menuju jalan setapak yang mengarah ke perkebunan masyarakat. Batasan antara kawasan kampus dan perkampungan warga memang sering kali tidak ditemukan, terutama pada titik - titik yang tersembunyi seperti ini. Semakin masuk ke dalam, semak belukar yang tumbuh semakin rimbun. Mereka mulai berjalan satu - satu. Beberapa ranting bergesekan dengan lengan Kiya yang mulai terasa gatal. Di depannya, Pay menjulang tinggi, mulai merasakan sensasi mengganggu yang sama. Ia mengibaskan tangan di sekitar telinga dan kepalanya. Berusaha menghilangkan hewan - hewan kecil yang berterbangan disekitarnya, entah bernama apa.
"Kok kayak ada suara air ya" Kiya bertanya setelah mendengar suara lain di tengah jangkrik yang mulai bersautan.
"Iya emang disini ada kali kecil, entar juga lu liat" Pay menerangkannya. Kiya masih bertanya - tanya bagaimana Pay bisa menemukan tempat begitu terpencil seperti ini, dan mengunjunginya sendiri.
Perlahan ia melihat rimbun semak mulai semakin jarang, dan disanalah mengalir sungai kecil yang merupakan saluran irigasi persawahan. Tempat yang Pay tunjukkan ternyata begitu sederhana, lahan persawahan warga.
"Jadi ujung - ujungnya lu ngajakin gua ke sawah?" Kiya bertanya kepada anak laki - laki di sampingnya yang sudah berkacak pinggang. Pay sedang memejamkan mata dan mengambil nafas dalam - dalam. Senyumnya menghiasi parasnya, menunjukkan ekspresi serupa kemenangan seorang atlet setelah berkilo - kilo lomba lari. Sejenak hening sampai Pay membuka matanya dan memalingkan wajah ke arah Kiya dengan begitu cerianya. Seolah berada di pinggiran kali irigasi telah menyuntikkan energi baru yang tidak dapat ditemukannya di manapun, kecuali di tengah - tengah area persawahan, karena selanjutnya itulah yang ia lakukan.
Kaki jenjangnya mengambil langkah panjang untuk menyeberang aliran sungai irigasi. Sekarang, Pay sudah berdiri diantara pematang sawah, menuju pembatas yang lebih lebar. Pembatas yang sudah diplester dengan semen untuk membatasi area persawahan dengan sungai yang lebih besar. Pay mengambil posisi dan duduk di sana. Kakinya menjuntai, menggantung di samping pembatas seolah menggoda aliran sungai dibawah untuk membasahi sepasang kaki yang kini sudah tanpa alas.
"Sini dah, coba lu duduk di sini" Ia memanggil Kiya di ujung sana, yang sudah mulai menyesali perjalanannya sore ini. Namun, seperti biasanya, meski awalnya tidak suka, pada akhirnya antusiasme Pay selalu berhasil membujuknya untuk menuju kemanapun ia mengarahkannya. Dengan susah payah, akhirnya gadis yang langkahnya sering kali ceroboh itu sampai juga di pembatas sawah yang sama. Tidak perlu waktu lama untuk mengistirahatkan badannya sejenak, duduk di samping Pay.
"Tenang banget kan Ya disini" ujar Pay sambil memandang ke sekeliling persawahan. Hanya tanaman padi di sekitar mereka. Daunnya yang hijau sudah meninggi, mungkin akan berbunga sebentar lagi. Tanpa ia sadari, warna jingga ternyata sudah merajai langit di atas mereka. Walaupun, beberapa semburat biru masih menghiasi langit senja kala itu.
"Lu sebenernya lagi mikirin apa Pay?" Kiya menanyakan hal yang sudah mengganggu pikirannya selama acara sepedaan sore itu, bahkan sudah dimulai sejak beberapa hari lalu.
"Tau aja lu, keliatan banget ya emang?" Pay menatapnya tepat di kedua mata coklatnya.
"Yah kayak baru kenal lu kemaren aja, lu tuh kalo ada sesuatu kan keliatan banget emang". Pay hanya menjawab dengan setengah senyumannya.
"Bentar lagi kita wisuda loh Ya" akhirnya ia mulai bercerita.
"Terus kenapa?" Menurut Kiya, tidak ada yang mengejutkan dari hal itu
"Lu gak takut emang kehilangan ini semua?" Pay melanjutkan.
"Maksudnya?"
"Yaa ini semua, temen - temen, hidup kita di kampus, keseruan jadi mahasiswa" ada yang patah dalam cerita Pay. Kiya mengerti benar bahwa temannya yang satu ini sedang serius, meski memang bukan Pay seperti biasanya.
"Ya takut sih, tapi kan harus dijalanin" Kiya menjawabnya sembari melihat langit di atas sana yang semakin gelap.
"Iya sih" ujar Pay, ia mulai menunduk mengamati aliran air di bawah kakinya sendiri.
"Tenang aja Pay, gua tau, kita sama - sama gak tau apa yang akan terjadi di depan sana. Tapi, gua selalu percaya kalau hidup itu kayak roller coaster, dan kita sekarang ada di puncaknya. Jadi sebenernya ya normal aja kalo kita takut menuju ke bawah. Kembali ke rumah, rasanya pasti kayak mulai dari nol lagi. Tanpa temen - temen, ataupun kegiatan yang heboh - heboh menyita waktu dan tenaga kayak kemarin itu. Pasti berat, pasti sepi. Tapi saat itu justru kita tetep harus jalan kan, biar roller coasternya melaju lagi sampai akhirnya dia ketemu jalan menanjak lainnya, yang akhirnya mengantarkan kita kembali ke atas. Akhirnya kita ngerasain lagi deh rasanya ngeliat dunia dari tempat yang lebih tinggi" Pay masih mendengarkan gadis di sampingnya dengan seksama.
"Intinya Pay, gua gak bisa ngejanjiin apapun yang akan terjadi. Tapi yang gua percaya, suatu hari, kita pasti akan ngerasain kayak gini lagi. Meskipun pada tempat dan dengan orang yang berbeda, tapi rasanya pasti sama menyenangkannya karena memang hidup kayak gitu kan. Pasti ada naik turunnya. Kita cuma gak boleh berhenti. Istirahat gapapa, jalan pelan - pelan gapapa. Tapi jangan berhenti" Kiya kini menghadap Pay yang sedang mendengarkannya dengan seksama.
"Lah tumben bener juga lu" Kini Pay tampak sumringah. Seperti biasa, Pay selalu menerima kata - kata Kiya serupa rumah terhadap penghuninya yang pulang dalam keadaan lelah. Hangat, tanpa sedikitpun penolakan. Meskipun pada saat yang bersamaan, tanpa Pay tau, Kiya sedang mengulang kata - kata yang sama untuk dirinya sendiri. Menentramkan hati akan setiap kemungkinan - kemungkinan kehilangan setelah ini.
"Ya, jangan lupain gua ya nanti" ujar Pay kepada Kiya, seolah membaca pikirannya.
"Enggaklah, kan lu yang lupaan"
"Wooo itu mah beda guyss" diiringi dengan Pay yang mengacak - acak rambut Kiya. Bergegas berdiri karena salah satu bebannya sudah dapat diakhiri.
"Ih lu mah kebiasaaaaaannn!!!".