Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Jadi, tahun lalu, hari gini, aku kemungkinan masih berada di depan meja kerja. Berusaha menyelesaikan rentetan pekerjaan yang tidak ada habisnya. Kerjaanku benar - benar gak tau bulan puasa. Pada salah satu malam pada masa - masa semacam itu, tiba - tiba salah seorang kakak datang dengan tawa yang penuh arti ke mejaku sembari bertanya.

"Cieee, jadi tadi siang akhirnya dia beli apa?"

"Kok beli sih mbaaa, orang nanyain material" ujarku. Masih keheranan karna tiba-tiba membahas kedatangan 'dia' yang akhir - akhir ini sering sekali di jodoh - jodohkan denganku, entah karna apa.

"Loh kok material, dia ngapain nanyain material"

"Ya nggak tau, aku juga heran sebenernya, tapi yaudahlah punya Mba fe juga" ujarku sambil melanjutkan pekerjaan.

"Jadi sebenernya, tadi siang tuh kubilang, kalo kamu jualan kue - kue lebaran. Dia excited dan bilang mau beli, tapi ngomongnya ke aku. Ya aku gak mau lah ya, makanya kusuruh bilang ke kamu langsung hehe hehe"

"Loh, dia calon customerku berarti, kok gak jadiiii" ujarku kaget.

"Iya, tapi malah nanyain material. Pas ngomong sama kamu jadi salting kayaknya. Cieee" ujar seorang mba yang kemudian meninggalkanku di meja itu sambil berpikir entah apa.

Selepasnya, aku jadi berpikir. Iya ya, kan bukan kerjaannya dia minta material. Tapi kan mungkin anaknya peduli banget sama kerjaan, jadi apa - apa ditanyain. Ih lagian kenapa sih gak jadi nanyain kukis aja. Kalo beli satu atau dua toples kan lumayan.

Tapi kalo dipikir - pikir, setelah aku info kalau Mba Fe udah bisa ditelfon balik, toh dia gak telfon. Berarti nanyain material tadi gak penting? Kenapa ditanyain coba.

Tiba - tiba aku jadi ingat kata - kata Mba Fe setelah aku ceritakan kedatangannya yang tiba - tiba di belakang mejaku.

"Ih aneh banget, aku seumur - umur nggak pernah ditanyain material sama bagiannya dia. Cuma pas dia ke kamu aja nih. Ciee"

Aku kembali berubah jadi kepiting rebus.

Duh. Bener - bener ya netizen itu emang paling jago bikin halu.

Lalu setiap kamu yang membaca akan bertanya - tanya bagaimana akhir dari kehaluan malam itu. Jawabannya adalah kami sempat hampir terjadi, tapi tidak sampai memenuhi seluruh ekspektasi. Cerita itu bisa dikatakan selesai tanpa patah hati, atau kesedihan yang berarti. Bahkan rasanya ringan saja untuk kembali berjalan lagi

Terus kenapa aku abadikan disini? Karna sederhana menggemaskan dan gak mau aku lupakan. Karna kejadian itu aku jadi teringat salah satu doa - doa gak penting pada masa abg di jamannya.

"Ya Allah, pengen deh sekali aja ngerasain dinotice balik sama idola" idola yang ganti - ganti, tergantung siapa makhluk Tuhan yang kurasa keren pada masanya.

Doa yang dikabulkan pada umur ke-24. Aku tau Allah Maha Mendengar, tapi kadang - kadang suka heran, kenapa doa - doa yang receh kayak gini kok ya jadi nyata, meskipun sudah beberapa tahun setelahnya, bahkan ketika aku sudah lupa. Jadi mikir, jangan - jangan ada maknanya ya.

Aku jadi teringat, masa - masa itu adalah waktu dimana aku amat mencintai diriku sendiri. Pertama kalinya selama hidup di bumi, aku merasa cukup, merasa berarti. Bahwa aku sudah terasa lengkap sebagai seorang manusia, juga seorang wanita. Meskipun tanpa siapa - siapa dan ternyata itu bagian terbaiknya. Aku jadi menemukan diriku yang lain. Diriku yang lebih menarik karna berbagai hal, karna gak terlalu khawatir dengan masa depan, karna tetap merasa cantik meskipun lagi breakout atau ketika rambutku lagi keriting - keritingnya, karna merasa kuat setelah survive dikerjaan yang nyiksa, karna semua yang ganjil rasanya jadi genap meskipun kadang aku lelah berusaha.

Seingatku, kala itu  aku dihujani oleh banyak energi positif karna cinta dari diri sendiri. Sepertinya hal itu yang kemudian memungkinkan hal - hal menyenangkan untuk terjadi. Konklusi yang aku amini sebagai makna yang harus kuingat ketika masa - masa sedih seeperti ini. Bahwa yang paling penting adalah mencintai dengan cukup kepada dirimu sendiri, lainnya akan mengikuti. Bisa jadi bahkan impian - impian yang lebih penting dari receh seperti ini.
Masih soal Manson. Menurutnya, kuncinya adalah skeptis dengan diri sendiri. Sebagai manusia kita tidak selalu benar, dan beranggapan sebaliknya seringkali menjerumuskan. Oleh karena itu, aku bertanya - tanya dengan diri sendiri, jangan - jangan aku termasuk tipe manusia pertama. Dia yang seringkali mengalihkan masalahnya kepada manusia lainnya. Beranggapan bahwa ia adalah korban dari setiap ketidakberuntungan yang terjadi. 

Lalu entah bagaimana, pikiran membawaku pada saat - saat semhas yang serba terburu - buru. Semhas yang dikebut karna aku hampir habis waktu. Akan aku ceritakan sedikit detailnya sehingga kamu tau.

Biasanya, sebagai mahasiswa yang akan mempresentasikan hasil penelitiannya dalam suatu semhas, maka kami akan meminta salah satu teman untuk menjadi moderator. Saran dari banyak senior adalah untuk memilih moderator yang bisa bermanfaat. Moderator yang satu pemahaman akan kajian penelitian. Teman yang sekiranya dapat melengkapi penjelasanmu sekiranya kurang, yang dapat diajak berdiskusi untuk mencari jawaban dari pertanyaan peserta maupun penguji seminar sekiranya di luar pemahaman. 

Aku kala itu memilih jalan di luar kebiasaan. Sejak jauh - jauh hari aku sudah menentukan pilihan pada sahabatku. Ia mengambil konsentrasi yang jauh berbeda dengan kajian penelitianku. Sudah pasti ia tidak akan dapat menjadi bantuan jika ada pertanyaan - pertanyaan yang menguras isi kepala akan hal - hal yang aku pelajari. Meskipun mengerti segala konsekuensi, tetap saja aku memilih dia tanpa berpikir dua kali. Bahkan jika ada yang bertanya pada hari ini soal moderatorku kala itu, aku tetap tidak akan berganti.

Alasan sesungguhnya adalah karna aku tau benar bagaimana kemampuannya membawakan suatu acara selama beberapa jam kedepan. Alasan lain adalah karna terbiasa dengan kehadirannya, maka memilih ia sebagai moderator tidak akan membuatku merasa aneh dan kesepian menjadi seseorang yang berada paling depan. Kedua alasan itu terasa cukup untukku tanpa perlu moderator yang dapat menjadi back up akan materi yang akan aku bawakan. Aku kala itu cukup percaya diri, apapun yang akan terjadi, aku yakin akan terlewati. Tidak ada sedikit ragu bahwa aku akan menyelesaikan masalah dalam penjelasan seminar hasilku sendiri. 

Menarik kesimpulan dari sana akhirnya aku tau, bagaimana aku ingin suatu hubungan jangka panjang antara dua manusia seharusnya berjalan. Yaitu berbeda tapi tetap melengkapi. Sendiri tanpa merasa kesepian yang berarti. Bersama tapi tidak kehilangan diri sendiri. Kini aku yakin, aku bukanlah manusia tipe pertama. Sampai kini aku tau bahwa aku dapat menyelesaikan masalahku sendiri dengan bantuan penuh dari Yang Maha Kuasa.

Aku hanya berpikir, mungkin berjalan sendiri akan terasa lebih mudah jika dilakukan berdua, bersama - sama. Sehingga ketika lelah dan beristirahat, aku punya teman bertukar cerita tentang keberhasilan dan kegagalan dari setiap usaha - usaha kami berdua.
Aku harus belajar menciptakan ruang dari mama. 

Sejak kemarin sore, rasanya emosiku ibarat jungkat - jungkit yang dimainkan oleh langit. Akarnya karna hal - hal biasa. Bapak yang tidak mau mendengarkan segala pantangan makan. Lalu kejadian di warung mama yang mudah dikira - kira tapi tetap saja gagal masuk ke dalam perhitungan sehari - hari. Semuanya kembali mengerucut kepada diriku sendiri, sebenarnya apa yang aku ingini dari hidup ini. Mengapa semuanya tidak sesuai dengan keinginanku yang padahal tidak banyak standard dalam setiap pinta.

Semua pikiran itu berlomba - lomba minta perhatian dalam kepalaku. Rasanya penuh dan aku hampir yakin kalau sewaktu - waktu segala pikiran ini akan sampai puncaknya, menjadi ledakan dengan hasil yang tidak mengenakkan. Oleh karnanya, seperti yang biasa aku lakukan, akhirnya aku diam. Menutup diriku dengan hal - hal yang dapat mengalihkan pikiran. Menjawab pertanyaan - pertanyaan khas rumah sekenanya. Tidak hadir di ruang makan ketika makan malam. Serupa usaha - usaha diam yang agaknya kemudian tampak seperti pengacuhan. 

Akhirnya api mereda. Kepalaku tidak lagi dipenuhi dengan kemarahan yang mengaburkan. Saat itu aku baru menyadari, mama begitu mengerti bagaimana anaknya. Mama tidak bertanya apa yang terjadi. Ia hanya membiarkanku sendirian. Memberi ruang untukku berdamai dengan keadaan. Tanpa perlu banyak tanya, ia sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Meski dengan begitu ia harus menyabarkan pikirannya untuk beberapa jam, hari, atau bahkan bulan.

Kemudian aku menyadari, setiap kemarahan, kecewa, maupun rasa menyedihkan lainnya sering kali hanya membutuhkan solusi sederhana. Bukan tulisan panjang soal bagaimana konflik seharusnya diselesaikan. Bukan juga perhatian maupun pertanyaan yang belum ada jawaban. Sebaliknya, ternyata kita hanya membutuhkan ruang untuk dapat berbicara dengan diri sendiri untuk mengurai semua kekusutan maupun kealfaan.

Agar akhirnya diluaskan pikiran untuk berpikir sedikit lebih jernih, sehingga tau apa yang harus benar - benar dilakukan.
"Ya daripada hubungannya tambah toxic kan"

Adalah kalimat dari dia, yang tetap tinggal denganku bahkan setelah banyak hari terlewati sejak telfon terakhir kala itu. Seperti aku biasanya, alih - alih melakukan instrospeksi besar - besaran, aku justru berkutat pada satu - satunya pertanyaan lanjutan. Terhadap diri sendiri. 

Apa mungkin karna aku yang toxic?

Ketidaksengajaan semesta pun membuatku sampai pada salah satu chapter dalam buku Mark Manson, "The Subtle Art of Not Giving a Fuck". Menurutnya, ada dua macam karakter yang terlalu penuh dengan dirinya sendiri. 

Pertama adalah ia yang selalu mengalihkan seluruh permasalahan dihidupnya pada pundak orang lain. Kedua adalah ia yang justru mengambil alih ketidak beruntungan orang lain, meletakannya di pundaknya. Aku menyadari bahwa sudah cukup lama hidup dengan menjadi tipe kedua. Hey, tapi apa salahnya selalu jadi 'baik' dengan menganggap masalah orang lain serupa masalahmu?

Paragraf selanjutnya membuatku serupa ditampar tapi sakitnya di hati. Aku pikir selama ini tidak akan ada suatu kesalahan yang bisa terjadi dari 'membantu' orang - orang terdekatmu. Toh segala perhatian akan membuatnya menjadi lebih ringan, karna ada yang peduli sampai sebegitunya. Aku kira aku memang 'membantu' setulus itu. Tapi nyatanya pada hubungan ini, tulisan Ronson membuka mataku, bahwa sebagian wujud afeksi yang aku berikan kepada dia, dalam wujud 'bantuan', mungkin hanyalah cara agar afeksi itu kembali lagi kepadaku.

Sialnya, ketika memikirkan ini, otakku yang biasanya defensif jadi diam, seolah mengamini.

Lalu semuanya jadi masuk akal, mengapa ketika 'bantuan'ku ditolak, ada kecewa yang mengaburkan segala pikiran jernih dalam kepala. Selama ini kupikir, siapa juga manusia yang tidak senang diperhatikan dan dipedulikan. Maka ketika ia menjawab bantuanku dengan penolakan dalam bentuk kemandirian yang tertutup, aku sadar aku salah. Penolakan apapun bentuknya tidak akan menyenangkan. Let alone my crushed expectation of getting adequate affection as feedback.

Kemudian, impulsivitasku berjalan sendiri tanpa logika. Melompat pada satu asumsi asumsi instan yang berujung pada, kamu tau, kehancuran. Oleh karna itu akhirnya sampailah kami pada kalimat pembuka dari tulisan ini. Padahal jika berniat memberi bantuan dan perhatian setulus hati, harusnya tidak ada kecewa yang terlalu ketika bertemu penolakan, iya tidak?.

Akhirnya, usahaku menguraikan benang kusut ini menghasilkan suatu penyadaran, wah ternyata ada bagianku yang ternyata toxic, dan ini harus dihentikan.

Setelahnya aku sadar, mengapa pada satu titik setelah melepaskan, aku merasakan suatu kelegaan. Tidak lagi berlari dan menciptakan ruang seutuhnya adalah pilihan yang benar. Ruang yang tadinya aku kira hanya akan membebaskan dia ternyata lebih penting untukku juga. Agar aku sadar bahwa tidak semua yang aku anggap benar adalah tepat. Agar aku tau bahwa masih banyak yang harus diperbaiki meski rasanya sudah sejauh ini.

Bahwa lain kali aku harus menjadi lebih tulus lagi.
Bahwa ternyata hatiku harus lebih diluaskan agar dapat memenuhi kebutuhan afeksiku sendiri.
Agar aku bukan hanya mengerti, tapi juga meresapi bahwa aku benar - benar harus cukup dengan diriku sendiri.
Soal telfon - telfon yang berhenti dijawab. Salah satunya adalah tentang bapak yang sejak beberapa hari lalu menurun kesehatannya. Selama itu, saya menahan diri untuk berhenti berpikir bahwa kamu peduli. Nyatanya tidak, dan lagi - lagi saya mati dalam ekspektasi.

Saya kecewa, tapi saya tau, saya akan memaafkanmu pada masanya. Saya kecewa, dan meski suatu hari saya akan baik - baik saja, saya tau, saya tidak akan melupakan setiap dering yang diacuhkan. Telfon yang di setiap deringnya ada penantian yang didasarkan pada ingatan soal Bapak. Ia, diatas salah satu tempat tidur rumah sakit tua, dengan selang oksigen dan selang infus yang lebih banyak dari biasanya. Ia, ditengah kesadaran yang timbul dan tenggelam, masih sempat bertanya bagaimana keadaanmu dan apakah kamu baik baik saja. Telfon yang harusnya bercerita kepadamu bahwa bapak sedang tidak baik - baik saja.

Kini saya kembali diingatkan satu - satunya laki - laki yang harus saya lindungi. Satu - satunya laki - laki yang harus saya beri sepenuhnya peduli. Seharusnya menjadi satu - satunya laki - laki yang namanya ada dalam setiap doa. 
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ►  2025 (4)
    • ►  Juni (2)
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ▼  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ▼  April (5)
      • kukis tahun 2019
      • semhas dan hubungan jangka panjang
      • ruang
      • soal Manson dan yang terlewatkan
      • soal salah satu telfon yang tidak sampai
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates