soal Manson dan yang terlewatkan

"Ya daripada hubungannya tambah toxic kan"

Adalah kalimat dari dia, yang tetap tinggal denganku bahkan setelah banyak hari terlewati sejak telfon terakhir kala itu. Seperti aku biasanya, alih - alih melakukan instrospeksi besar - besaran, aku justru berkutat pada satu - satunya pertanyaan lanjutan. Terhadap diri sendiri. 

Apa mungkin karna aku yang toxic?

Ketidaksengajaan semesta pun membuatku sampai pada salah satu chapter dalam buku Mark Manson, "The Subtle Art of Not Giving a Fuck". Menurutnya, ada dua macam karakter yang terlalu penuh dengan dirinya sendiri. 

Pertama adalah ia yang selalu mengalihkan seluruh permasalahan dihidupnya pada pundak orang lain. Kedua adalah ia yang justru mengambil alih ketidak beruntungan orang lain, meletakannya di pundaknya. Aku menyadari bahwa sudah cukup lama hidup dengan menjadi tipe kedua. Hey, tapi apa salahnya selalu jadi 'baik' dengan menganggap masalah orang lain serupa masalahmu?

Paragraf selanjutnya membuatku serupa ditampar tapi sakitnya di hati. Aku pikir selama ini tidak akan ada suatu kesalahan yang bisa terjadi dari 'membantu' orang - orang terdekatmu. Toh segala perhatian akan membuatnya menjadi lebih ringan, karna ada yang peduli sampai sebegitunya. Aku kira aku memang 'membantu' setulus itu. Tapi nyatanya pada hubungan ini, tulisan Ronson membuka mataku, bahwa sebagian wujud afeksi yang aku berikan kepada dia, dalam wujud 'bantuan', mungkin hanyalah cara agar afeksi itu kembali lagi kepadaku.

Sialnya, ketika memikirkan ini, otakku yang biasanya defensif jadi diam, seolah mengamini.

Lalu semuanya jadi masuk akal, mengapa ketika 'bantuan'ku ditolak, ada kecewa yang mengaburkan segala pikiran jernih dalam kepala. Selama ini kupikir, siapa juga manusia yang tidak senang diperhatikan dan dipedulikan. Maka ketika ia menjawab bantuanku dengan penolakan dalam bentuk kemandirian yang tertutup, aku sadar aku salah. Penolakan apapun bentuknya tidak akan menyenangkan. Let alone my crushed expectation of getting adequate affection as feedback.

Kemudian, impulsivitasku berjalan sendiri tanpa logika. Melompat pada satu asumsi asumsi instan yang berujung pada, kamu tau, kehancuran. Oleh karna itu akhirnya sampailah kami pada kalimat pembuka dari tulisan ini. Padahal jika berniat memberi bantuan dan perhatian setulus hati, harusnya tidak ada kecewa yang terlalu ketika bertemu penolakan, iya tidak?.

Akhirnya, usahaku menguraikan benang kusut ini menghasilkan suatu penyadaran, wah ternyata ada bagianku yang ternyata toxic, dan ini harus dihentikan.

Setelahnya aku sadar, mengapa pada satu titik setelah melepaskan, aku merasakan suatu kelegaan. Tidak lagi berlari dan menciptakan ruang seutuhnya adalah pilihan yang benar. Ruang yang tadinya aku kira hanya akan membebaskan dia ternyata lebih penting untukku juga. Agar aku sadar bahwa tidak semua yang aku anggap benar adalah tepat. Agar aku tau bahwa masih banyak yang harus diperbaiki meski rasanya sudah sejauh ini.

Bahwa lain kali aku harus menjadi lebih tulus lagi.
Bahwa ternyata hatiku harus lebih diluaskan agar dapat memenuhi kebutuhan afeksiku sendiri.
Agar aku bukan hanya mengerti, tapi juga meresapi bahwa aku benar - benar harus cukup dengan diriku sendiri.

0 comments