Kehidupan Sebelum Ini

Kehidupan gue sebelum ini bukanlah kehidupan yang luar biasa. Sekedar hidup seorang gadis komplek yang pagi sampai siang di sekolah, sore sampai malam dirumah, bercengkrama dengan orang tua. Hanya saja satu yang gue pahami bahwa menulis adalah soal mengabadikan banyak hal. Dan kehidupan gue sebelum ini adalah salah satu yang harus diabadikan, karena dalam kesederhanaannya, kehidupan yang dulu tetap saja tak pernah gagal membuat gue rindu, kangen, dan semacamnya.

Berawal dari malam minggu kedua di bulan April. Sudah beberapa hari itu gue merasa sangat amat hampa. Ada perasaan sedih yang gue sendiri nggak tau asalnya darimana, kenapa, dan karena siapa. Tiba tiba ya cuma sedih aja. Gue nggak mood kemana mana, nggak mood untuk melakukan apapun, dan diperparah dengan sariawan yang sedang meradang. Beberapa hari itu rasanya gue berubah jadi makhluk pendiam sejagat raya. Sampai pada malam minggu, puncaknya, gue memutuskan untuk muter muter keliling kota, naik motor, sendirian. Kecepatan 40 km/jam dengan gue yang mikir selama perjalanan. Kenapa gue merasa terganggu hanya karena perasaan yang nggak jelas juntrungannya. Dan ditengah ramainya jalanan di malam minggu, gue pun terpikir bahwa seandainya gue di Tangerang, pasti cerita malam minggu gue nggak akan segloomy ini. Gue membayangkan kedua sahabat gue sudah merangsek masuk ke kamar, at the right time when I was about to cry. Stalking artis artis youtube yang kenal aja nggak, dan akhirnya makan mi goreng jam 10 malam tanpa perlu khawatir soal lemak. Kalau saja gue masih di Tangerang, mungkin perasaan kayak gini nggak akan muncul. I might not have to take that long lonely stroll in Saturday night. Mungkin gue nggak harus ngerasa sendirian, ketika padahal, di kota baru ini, mungkin lebih banyak manusia yang gue kenal daripada di Tangerang. Kalau gue masih di Tangerang, mungkin malam itu gue nggak akan tidur dengan perasaan kesepian, sedih yang aneh, yang nggak bisa berubah jadi air  mata, yang yaudah, cukup di telen aja. Tidur gue setelahnya pun nggak kalah hampa. Gimana ya perasaan mereka malam ini?.

Lalu paginya gue terbangun, seperti biasa, kesiangan, karena terbangun pada tengah malam dan nggak bisa tidur lagi sampai jam 3. Bau harum masakan udah kecium bahkan sebelum gue membuka mata. Kalau dulu, itu pasti aroma masakan nyokap gue. Pada hari hari biasa seringnya wangi sayuran yang ditumis, telur hangat atau sekedar tempe goreng legendaries. Kalau beruntung, mungkin nyokap gue akan masak model masakan yang banyak bumbunya, macem ayam bumbu bali, atau masakan lain yang gue nggak tau namanya, tapi rasanya nggak ilang ilang dari lidah karena terlalu mancep. Tapi sekarang di kosan ini, bau harum semacam itu, seringnya gue nggak tau aroma makanan apa, bikin laper, tapi nggak bikin seneng, karena seberapapun enak baunya, gue nggak bisa makan. Karena sederhana, Itu bukan masakan nyokap gue. Itu masakan ibu kos gue yang kadang baik, kadang juteknya ngalahin cruela devil. Meh.

Tapi saat itu juga hari minggu. Biasanya mama juga nggak masak kalo hari minggu. Karena seringnya pada hari itu kita pergi, beli barang barang keperluan rumah tangga, sembako, belanja bahan bahan kue, atau berkunjung ke rumah sodara. Pokoknya hari minggu itu adalah harinya keluarga gue, kemanapun hari itu, kita pasti bertiga, keluarga kecil Dita. Jadi, pagi hari untuk mengatasi lapar, biasanya kita jalan ke jalanan utama perumahan. Menuju satu warung bubur ayam yang ramenya setengah mampus kalo hari minggu pagi, namanya warung Bubur Ayam Pak Gendut. Kita kesana hanya setiap minggu, karena pada hari biasa, pagi di keluarga gue berlalu dengan sangat cepat, jadi nggak memungkinkan untuk sarapan di warung bubur langganan. Walaupun begitu, pak gendut tetep inget pesenan keluarga gue. Satu bubur ayam komplit (mama), satu nggak pake kacang (bapak), dan satu nggak pake bawang daun dan kacang (gue). Kadang Pak Gendut salah ngasih pesenan, kadang punya gue di kasih bawang daun, kadang punya bapak dikasih kacang, tapi kita nggak protes. Keluarga gue memang bukan tipe yang complaining, kami tau diri bahwa pesanan banyak dan permintaan kita terlalu bertele tele, jadi yaudah terima aja. Tapi tetep, bubur Pak Gendut adalah bubur terbaik di jagat kota Tangerang menurut gue. Long Live Pak Gendut dan Buburnya!. Disini juga ada kok bubur ayam yang rasanya mirip mirip. Porsinya gede, pas banget buat anak kosan, ramenya juga nggak kalah sama Pak Gendut, tapi sayang, bapaknya nggak gendut, walaupun pada akhirnya itu jadi bubur ayam favorit gue di kota ini. Dan akhirnya kesanalah gue pergi pada hari minggu pagi itu. Sedikit mengatasi kangen yang lagi muncak banget. Dan saat itu bukan bapak sama mama yang ada di depan gue, melainkan temen satu kosan yang udah jadi partner sejati untuk cari sarapan. Temen sekosan gue memang selalu ada ketika dibutuhkan pada saat saat seperti ini.

Dan saat itu gue sadar akan sesuatu.

Mungkin hidup gue nggak semenyenangkan itu sekarang. Sekarang, ketika gue membuka mata, bukan lagi kamar kuning dengan meja belajar dan seperangkat personal computer. Bukan juga jendela yang pemandangannya langit di atas tempat cuci piring gue. Mungkin sekarang nggak senyaman itu. Kamar gue tak lagi berwarna kuning, melainkan merah muda. Furniturenya di lapisi sampul plastic murahan bernuansa biru. Kamar ini pun nggak terlalu luas, malahan sempit kalo dibandingkan dengan kamar yang dulu. PC pun sudah diganti dengan laptop minimalis yang menemani gue setiap saat dengan musiknya, atau sekedar jendela menuju dunia cyber ketika gue butuh referensi untuk laporan praktikum. Tapi kamar ini menyediakan segala yang gue butuhkan ketika lelah lelahnya. Tempat untuk beristirahat, kasur kapuk yang keras tapi dingin, kamar yang sempit tapi bisa muat barang barang penting, setiap spot fungsional.

Sama juga seperti hal lainnya disini. Temen, kegiatan, kuliah, tempat, sahabat. Mungkin memang nggak senyaman dulu, tapi kehidupan gue disini menyediakan apa apa yang gue butuhkan. Walaupun sekedar cukup tapi harusnya gue bersyukur atas segala sesuatunya. Gue masih punya temen yang walaupun nggak sedeket sahabat sahabat gue disana, tapi mereka selalu ada. Mereka tahan dengan segala swinging moodnya gue. Mereka marah marah ketika gue mandi malem, mereka marah ketika gue nggak makan seharian. Mereka care seperti kedua orang tua gue, dan selalu ada seperti sahabat sahabat gue. Mungkin mereka nggak sesempurna itu untuk menggantikan posisi keduanya (walaupun sampai kapanpun memang nggak ada yang bisa menggantikan posisi mereka karena mereka akan selalu ada), tapi mereka hampir mirip dan itu teramat cukup untuk gadis ini. Begitu juga dengan kota ini. Kota ini sepi, nggak ada apa apanya, tapi ditengah kearifan, kota ini mengajarkan banyak hal kepada gue. Menempa gue untuk hidup mandiri, bahwa kita nggak boleh bergantung ke orang lain, kalo lo nggak cari makan ya lo nggak kenyang. Kalo lo nggak jaga kesehatan ya jangan ngeluh kalo lagi sakit. Kalo lo nggak gerak ya nggak akan dapet apa apa. Kalo lo nggak ngurusin diri sendiri, ya jangan harap akan ada orang lain yang ngurusin lo, karena mereka pun sudah sibuk dengan urusannya masing – masing.

Kehidupan setelah itu memang nggak nyaman, nggak seaman kehidupan sebelum ini, tapi kehidupan saat ini membantu gue membangun diri. Dan saat ini, dengan mengabadikan kehidupan yang lalu sudah cukup untuk menjaga kesadaran gue. Bahwa kita masih bisa tetap memegang hal hal indah, bukan untuk kembali dan meratapi, tapi untuk mengenang. Seperti oase ditengah kering, ketika gue merasa lelah dan harus berhenti sejenak. Dan mungkin suatu hari, gue akan merindukan kehidupan yang sekarang gue bilang nggak lebih nyaman dari kehidupan gue sebelum ini. Mungkin, mungkin, mungkin. Hidup gue memang nggak akan pernah kehabisan kata mungkin. 

1 comments

  1. Akumah lagi makan coklat sambil dengerin maroon5 kak, perasaannya baik baik saja. Thanks for wondering

    BalasHapus