Hujan

Hujan . .



Ah tidak tidak, kali ini aku tidak ingin membicarakan Hujan. Apa sih yang istimewa dari hujan? Manusia manusia itu mengagungkan hujan, seakan ia dapat menghidupkan hati yang mati, dan memperpanjang cerita yang telah lalu. Apa sih yang mereka banggakan? Pujangga banyak menikmati hujan sangat dalam, mereka mencintainya, padahal itu membuat mereka sakit, membuat mereka mengiris luka yang tadinya kering, atas nama kenangan? Terlalu banyak. 

Gadis gadis remaja manis itu, mereka pun berbicara kesana kemari, berkata bahwa hujan membawa sendu, mereka suka ketika rintik itu datang satu satu, mengingatkan mereka pada beberapa orang yang tadinya ada, seolah olah segala kata kata yang seperti mantra, meninggikan hujan, akan menambah ke”manis”an mereka. Lalu ketika hujan itu datang menyerbu tanpa dinyana, segala sumpah serapah datang sama derasnya dari mulut mulut manis yang dulu memamerkan hujan seperti kekasih baru. Rok berenda basah, dan cipratan air menodai wajah wajah manis itu, dan segala prosa akan hujan yang membuat mereka menjadi pujangga sejati, luluh lantak.

Ah apa pula aku ini, bukankah tadinya aku berkata tidak ingin membicarakan hujan?. Daripada rintik rintik bodoh itu, sesungguhnya aku lebih suka mentari. Tidak tidak, bukan berarti karena aku tidak suka hujan maka aku secara otomatis jatuh cinta pada kemarau. Bukan berarti ketika aku berkata membenci hitam lalu aku memberi hati pada putih bukan?, well, tidak semua di dunia ini soal kedua warna itu bukan?. Aku tetap tak suka kemarau, kering, membuat segala situasi lebih mudah menjadi krisis, panas, tak bersahabat, aku lebih suka waktu waktu ketika air datang mengguyur, eh . . apasih aku ini.

Ya ayo mulai berbicara tentang mentari, topic pembicaraan kali ini, yang memang harus jadi atensi . . . tulisan ini bukan soal hujan. Hmm .. kita mulai dari mengapa aku suka mentari, setuju?. Aku suka mentari karena alasan sederhana, ia membuat baju bajuku kering tepat waktu, wangi pengharum tahan lama sehingga aku tidak perlu mengeluh soal bau apek, tidak seperti ketika hujan datang. Mereka selalu membuatku kehabisan baju dengan hasil cucian yang tak enak. Sesederhana itu? Iya sesederhana itu. Seperti mentari yang sederhana mengalah ketika hujan datang dan mencari perhatian. 

Mentari tak dapat menunjukkan sinarnya yang terang ketika langit berpihak kepada awan awan cumulo nimbus hitam pekat. Mentari terkadang terlalu rendah hati dengan hujan! Ah, apa sih hujan itu, aku benci dia!. Ia selalu dicintai orang, jarang mereka yang mengelu elukan mentari. Tapi lihat! Mentari selalu ada disana, setiap hari!. Lagipula mentari membuat tanaman tanaman itu terlihat ceria, segar, dan penuh nutrisi. Kalian pasti tau percobaan klasik disekolah dasar soal kecambah dan peristiwa etiolasi. Etiolasi, pertumbuhan tanpa sinar, selalu menghasilkan kecambah yang terlihat seperti tak-berhasrat-untuk-hidup, menyedihkan, ya, sama halnya ketika hujan.

 Tapi memang sih, setelah kufikir, tanpa guyuran hujan, daun daun itu tak akan berteriak senang, walaupun disinari mentari sepanjang hari. Malah ia akan kering dan merintih dalam setiap daun yang jatuh dan gugur. Hujan memang kadang punya nilai positif. Ia membuat makhluk herbivora menjadi dapat dimakan, well, tidak lupa ya, dengan bantuan matahari sebagai sumber energy utama. Walaupun hujan memang tak kalah penting.

Mungkin memang hujan tak sejahat itu. Contohnya, ia membuatku mengucapkan maaf. Kata maaf sialan yang akhirnya keluar karena pertaruhanku kalah telak dengan hujan. Maaf itu menyambung persahabatan yang hampir putus, dan ia terjadi karena aku yang harus berteduh karena hujan. Ia juga membuat malam malam keluarga semakin hangat. Membatalkan segala acara diluar jam kerja sehari hari. Membuat ayah, ibu, kakak, tante, om, dan semuaa keluarga harus “terpaksa” diam didalam rumah karena acara ini dan itu dibatalkan. Atau, terlalu malas karena hujan akan mengacaukan segala dandanan mereka yang cantik cantik. Lalu mereka memilih bersenda gurau dengan keluarga, hanyut dalam tawa, bertukar cerita, membuat hangat ketika diluar beberapa lantai meringik dingin. Lalu mereka sadar apa yang selama ini terlewatkan. Hujan memang kadang menyambung ikatan yang perlahan putus.

Belum lagi manusia manusia acak yang "terpaksa" bertukar cerita di depan teras pertokoan karena menunggu kebaikan hujan untuk berhenti sebentar agar mereka dapat sampai tujuan. Itu semua karna hujan.

Eh, sebentar. . .

Kenapa lagi lagi tulisan ini jadi soal hujan? Tidak tidak tidak! Aku tetap tak suka hujan! Aku benci dia.

Sudahlah, sebaiknya kita akhiri tulisan ini sebelum hujan sadar . . .




Bahwa sebenarnya aku telah jatuh cinta kepadanya, berulang kali. Aku bukan pujangga, pun gadis manis yang suka berpatut di depan kaca, aku hanyalah aku. Yang mencoba mencintai hujan dengan cara berbeda, tanpa sakit, tanpa perih, tanpa kenangan menyakitkan.

*hitam itu belum selesai jika ada putih yang masih tersembunyi, if you know what i mean ;)*

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

A : You actually love Him
B : Noo! What are you talking about?!
A :You keep talking about him, being noisy, annoying, he do that and that, in there and sooo on, it just easily means that He stay on ur mind
B : It doesn't mean anything! I dont love Him!
A : No you definitely do, My Dear *grin*

Kadang manusia menunjukkan rasa suka dengan kebencian yang cenderung diulang ulang, Benci itu emang Bener Bener Cinta, hahahaha

0 comments