dua bagian

Mulanya bisa jadi dari roncean melati di kepala adikku. Atau mungkin dari tangkapan foto bernuansa jaman dulu. Atau bisa jadi dari senyumnya yang merekah dalam foto, memakai paes dan sanggul di kepala, dengan bahagia yang serupa cempaka, menjalar dan merekah di matanya. Macam bahagia paling purna karena akhirnya hidup ini tidak lagi penuh dengan tanya soal siapa. 

Siapa yang akan kulihat pertama kali setiap paginya?
Siapa yang hatinya begitu ringan menerima setiap kurangku seperti ia mencintai setiap kelebihannya?
Siapa yang punggungnya cukup tinggi sehingga setiap puncak rintangan di atas muka bumi terasa tidak ada apa - apanya?
Siapa yang akan tetap ingat untuk selalu mencintaiku ketika berada di atas angkasa atau jauh di memori masa senja yang penuh dengan lupa?
Siapa yang bersedia berkata iya untuk setiap hari - hari buruk penuh dengan air mata jauh dari tawa?
Siapa yang tetap tinggal ketika nyamannya singgah dan berpindah jadi menggoda?

Setiap tanya yang bagi adikku kini sudah berbentuk satu nama tepat ketika ijab ditukar dengan mahar.
Setiap tanya yang bagiku namanya masih belum sempurna mengeja.
Setiap tanya yang akhirnya membagi diriku menjadi dua. 

Satu bagian yang kelelahan karena sudah banyak kecewa. Bahwa bersama kehadiran akan selalu menyusul kehilangan. Bahwa tidak ada yang abadi dalam setiap apa yang kita genggam.

Satu bagian lainnya adalah hal baru. Bagian yang juga kelelahan, namun bukan karena ketakutan, melainkan karena terus berlari dan berjaga - jaga. Bukankah tak apa jika kita mulai lagi dari pertama. Tidakkah rasanya akan menyenangkan kembali percaya seutuhnya. Memiliki tempat bersandar ketika jalan ini tidak semudah biasanya. Dengan tangan yang saling mengait dengan setiap sela terisi. Bagian yang membuatku berpikir, tidak peduli setinggi apa tembok ini, bukankah pada akhirnya bagian yang mendamba akan selalu ada dalam dirimu sendiri. 

Bagian yang juga mengingatkanku, bahwa jika ada yang bisa kupetik dari kehilangan terbesarku, itu adalah bagaimana aku tidak menyesal memberikan rasa setulus yang aku bisa, meski kemudian rasa kehilangan seolah menenggelamkanku seutuhnya. Bahwa akhirnya, aku sepakat untuk memaknai kehilangan sebagai salah satu dari banyak fase mencintai ciptaanNya. Kehilangan yang pada akhirnya membuatku amat bersyukur karena dari sekian banyak hal yang kurasa ketidakberuntungan, Ia mempertemukanku pada beberapa manusia yang juga menyayangiku sama besarnya. Hal yang untuk manusia lainnya adalah suatu hak istimewa.

0 comments