Kita Pasangan

Tulisan ini tak akan pernah punya arti apa apa. Baca saja dengan santai, jangan berpikir hal yang tidak tidak karena kesan yang saya buat. Terkadang tulisan memang menyakitkan, tapi disitulah kemenangannya.

Saya sering mendengar kalimat bahwa sebenarnya kita diciptakan berpasang – pasangan. Wanita dan pria, sama sama menjadi setengah bagian, untuk melengkapi bagian lainnya. Ada pula yang bercerita bahwa takdir kita sudah tercatat di langit ketujuh. Saya dengan dia, Dia dengan dia, dan pasangan lainnya. .  Saya pikir sampai sini kita sepakat bahwa setiap orang punya pasangan.

Masalahnya adalah, pada praktiknya kadang hal itu menjadi suatu yang kompleks. Perjodohan takdir tak berjalan sesederhana saya yang telah ditakdirkan dengan dia, lalu kami hidup bersama sampai ajal memisahkan. Pertanyaan timbul ketika, pada praktiknya, toh ada pria yang memiliki istri lebih dari satu. Ada pula seorang istri yang memutuskan untuk menikah lagi setelah pernikahannya yang gagal. Tapi konsen tulisan ini bukan berada pada kasus semacam itu.

Tulisan ini saya buat berdasarkan seorang nenek di sebelah tempat tidur mama beberapa tahun lalu. Renta, dengan selang yang menjadi penopang setiap nafas yang tersengal. Seorang gadis duduk di sampingnya, nampak dibayar untuk menemani saja, sehingga ketika dia duduk bermalas – malasan dan bersikap acuh, sepertinya tidak menjadi suatu masalah. Tapi dari gadis itu kami tahu, bahwa nenek itu punya keluarga tapi tanpa pasangan. Ya, ia memang tak pernah menikah. Dan laki – laki muda yang beberapa hari sekali menjenguknya adalah keponakan yang ia asuh terlalu baik sampai dianggap sebagai anak. Cinta memang dapat berasal dari mana saja. Tapi memikirkan bahwa sampai serenta itu dia hidup tanpa pasangan, rasanya, saya tak mengerti dan takut pada saat bersamaan.

Berdasarkan teori sebelumnya, saya mulai memikirkan satu kemungkinan. Mungkinkah, pria yang ditakdirkan untuknya sudah “pergi” duluan? Toh kita pun sering mendengar beberapa remaja berakhir hidupnya, bahkan ketika mereka belum mengenal cinta. Mungkinkah? Saya merinding membayangkannya, sekaligus tidak mengerti. Mereka kehilangan satu sama lain, bahkan sebelum mereka sadar bahwa mereka memiliki satu sama lain. Terikat begitu saja di langit ketujuh, tapi terputus ketika sampai dunia. Atau, kemungkinan lain adalah mereka memang tak pernah ditakdirkan bersama. Si wanita ditakdirkan sampai ujung hayat tak berpasangan, dan si pria ditakdirkan “kembali” tanpa mengenal pertalian jodoh. Lalu bagaimana dengan kata – kata “Setiap orang diciptakan berpasang – pasangan”? Saya pernah membaca hal ini di Al Qur’an, tapi saya sadar untuk tidak mengartikan dan mengambil kesimpulan secara kasar berdasarkan pengetahuan saya yang nol. Tapi tetap saja, kata – kata seperti itu menimbulkan pertanyaan. Dan saya lebih menyukai ide pertama, bahwa setiap manusia memang ditakdirkan berpasangan. Ide kedua memang realistis, tapi rasanya tak adil, ketika manusia lain memiliki pasangan, mengapa mereka tidak. Setidaknya pada ide pertama, mereka memang tidak memiliki pasangan disini, tapi telah dijanjikan di akhirat (walaupun sampai sini pun pertanyaan lain muncul di kepala saya, memangnya ketika sampai akhirat kita akan tetap mengenal pasangan kita di dunia? Memangnya yakin dapat bersama sama sampai surga? Tapi memikirkan pasangan yang seperti memang ditakdirkan bersama dari sananya, seperti bapak dan mama saya, lalu berpisah dan menjadi individu mandiri ketika sampai akhirat, rasanya tak nyaman saja membayangkannya)

Hal ini tidak sederhana. Semesta memang tak pernah kehabisan bahan untuk berpikir. Terlalu rumit untuk otak manusia sekecil saya. Mungkin tak peduli sampai sepanjang apapun tulisan ini, saya tak akan menemukan jawabannya. Tulisan ini memang tak seperti curhatan yang lalu lalu. Dimana saya selalu menemukan pintu untuk setiap pertanyaan dan kebimbangan. Ya maklum saja, kali ini agak berat dan memang mungkin di seluruh dunia pun tak ada yang punya jawaban pasti soal hal ini. Tapi satu yang saya tahu, Tuhan memang tak bekerja secara langsung. Jawabannya tak selalu datang secepat pesan singkat di handphone, kadang butuh waktu yang sangat lama, dan kadang mungkin tak akan terjawab sama sekali. Tapi yang saya tahu, saya tak boleh tak berpegang pada suatu hal ketika masih menjalani hidup. Akhirnya saya memilih untuk percaya pada apa yang saya ingin percayai. Dalam hal ini adalah ide bahwa setiap manusia memang ditakdirkan untuk memiliki pasangan. Biarkan Tuhan menjadi korektor satu – satunya yang memiliki hak untuk membenarkan, toh Ia adalah yang Maha Benar.

Lalu satu pikiran melintas di kepala saya, bagaimana jika saya berada posisi si lelaki yang meninggalkan jodohnya karena tuntutan takdir. Bagaimana kalau sampai akhir hayat saya tak dapat bertemu dengan dia yang entah siapa. Bagaimana jika pada akhirnya ia berakhir di kursi goyang, menikmati teh di sore hari sendirian, yang seharusnya saya tepat berada disampingnya. Jika hal itu terjadi, rasanya saya  . . . .  Saya kehabisan kata kata. Mungkin saya akan menulis surat untuknya, jika memang, hal itu adalah sesuatu yang nyata. Dan karena ini adalah hasil kerja Semesta, lagi lagi, biarkan semesta yang menyampaikan surat saya, nanti, entah kapan.




4 comments