Sacred Prince

aku menulis kembali untukmu. kamu butuh aku dalam setiap lamun yang datang lagi pada akhir hari. ketika bayangannya menyita waktu dan sepenuh hatimu kembali meretih lesu. ia lelah katanya, berkutat pada hal yang sama, cerita yang tak kunjung berbeda warna, biru. 

tepat ketika air matamu jatuh, untuk kesekian kali, ya, kau masih butuh aku. pangeran mimpi. aku datang lagi. aku kembali menunggumu di padang rumput hijau biasa. pintu masuknya adalah menutupnya kelopak matamu. pelukanmu yang mengerat di boneka itu, dengan air mata yang terus mengalir seiring larutnya malam, hatimu tak kunjung tenang, detaknya memburu waktu, memburu rindu. saat itu kau berteriak dengan suara yang hanya didengar oleh aku, si pangeran mimpi. hatimu berteriak cukup kencang malam ini, aku lelah!. dan itulah panggilan atas kemunculanku. 

dibawah pohon rindang berkanopi lebar. diselimuti angin yang berhembus sejuk. padang familiar itu memang milik kita, tempat aku menunggumu di keheningan. dan ketika itu, bersama senyap aku ada, hembusan nafasku selalu tenang, aku tak punya emosi lain selain sayang. sayang untukmu, yang menjadi makhluk pecandu rindu, sakit, dan perih. 

disana, di kejauhan, tanganmu sibuk mengusap air yang masih saja turun. gaun tidur putih di tubuhmu menjuntai, terbang seiring angin, seolah berteriak senang dengan kehadirannya di padang hijau ini, tapi kau, tetap tak bergeming. kedua tangan itu masih terlalu kecil untuk menghapus air mata yang menetes tak kunjung usai, ia ikut bersedih karna seharusnya ada tangan lain yang ia genggam, penyatu hati ketika ia luka seperti ini. kau melihatku di tengah selapis air di pelupuk itu. mungkin bayangku buram, mungkin tak bersinar, tapi aku masih sesuatu yang kau anggap familiar. selalu ada walaupun dunia berguncang dan sisinya berubah terbalik, bawah jadi atas, dan sebaliknya, kau tau, aku masih milikmu di alam sadar paling bawah. 

ketika itu senyummu menyambutku. senyum yang terpaksa ada ditengah kerumitan cerita, perasaan yang entah dimana. senyummu kali ini terasa terlalu getir untuk dianggap senyum sapaan. dan bukannya aku sedih melihat itu, tapi memang karna getir ceritamu itu aku ada, akupun bukan manis yang bisa jadi penawar, tapi dadaku masih seluas itu untuk menahan segala tekanan dari cerita yang akan kau bawa di setiap pertemuan. aku adalah divider perihmu setiap kali kau butuh, hal yang kau dan aku sama sama tau, mengerti. 

ketika kau duduk di sampingku, seperti biasa tangan ini langsung merangkulmu, mengelilingi punggung yang terasa semakin ringkih seiring dengan tangismu ketika bercerita. membuatmu senyaman yang kau mau, aku sedia segala rasa yang kau butuhkan, dan aku tau pasti apa yang paling kau inginkan, aman. dna aku mengeratkan pelukan di tubuhmu, agar konsentrasi hangatnya terasa sampai hati. agar kau tau, apapun yang terjadi, disini akan selalu aman, disini ada aku. melindungimu dari segala realita yang belum siap kau hadapi, melindungi dari segala cercaan manusia lain yang berani menjuri pilihan yang kau pilih. melindungimu dari beberapa manusia yang menyakiti, paling tidak untuk malam ini, sampai besok, ketika kau akhirnya terbangun dengan mata sembab dan wajah lesu. 

ditengah peluk kau bercerita apa yang terjadi, sesekali terbata, dipotong sengguk tangis dan pilek yang seirng muncul jika saat seperti ini, di lain waktu cerita itu sampai di titik krisis, sampai badan kurus itu bergetar tertahan dibawah rangkulan lenganku, yang langsung sigap kueratkan, menjagamu dari tekanan yang terlalu. terkadangpun, ketika kau tak butuh tidur lelap, ceritamu berhenti diujung jalan, sedih semakin berkurang dalam alur yang kau bawa, kau mulai bercerita banyak hal tentang hidup, kau lupa kesusahan yang ada, alasan kau datang kemari dan keberadaanku awalnya. lalu kita bercerita sampai larut kala itu (walaupun padang ini tak pernah kenal malam), sampai kau tertidur dengan wajah menyimpan senyum. walau aku hanya makhluk khayal yang eksistensinya semu, tapi aku suka melihatmu seperti ini. kau terlihat cantik, hal yang kadang kau keluhkan ketika bercerita tentang lelaki lelaki arogan yang mengagunkan fisik. kau sungguh secantik itu. 

itu jika pada akhirnya kau bisa mengatasi beban itu sendiri, jika tidak, badai malam itu butuh waktu lebih lama di tidurmu. tangismu tak berakhir, beberapa waktu semakin kencang, aku menghembus nafas panjang, tanganku masih memelukmu selagi kau bercerita di tengah nafas yang patah2 karna sedihmu kelewat berat. aku berkata segala hal yang kau butuhkan. pelukku mengerat, membugkusmu seluruhnya ketika tangis itu semakin kencang, lisan ini diam, mendengarkan segala kata yang kau ucapkan dibawah sana, sampai kau meraih ketenangan, aku tau kau hanya butuh didengarkan, butuh seseorang yang sepenuhnya tau bahwa kau tidak sekuat itu, melindungimu disaat saat seperti ini. dan ketenangan itu datang, badanmu mulai jatuh dibawah lenganku, kau tertidur setelah lelah bercerita. akhirnya, kataku. kecupan terakhirku singgahkan di keningmu ketika kau tertidur, diantara alis yang sesekali mengerut karna mimpi buruk, agar kau kembali tenang, agar kau tau bahwa aku masih disampingmu. menjagamu, sampai esok pagi kau bangun dengan perasaan penuh, senyum menghias, pikiran jernih, dan hati yang sudah sanggup menghadapi realita. ketika itu tugasku usai. dan dibawah pohon itu, tepat di dalam genggaman tanganmu kuselipkan secarik kertas yang isinya sama.

Aku akan selalu ada, cinta.

0 comments