Kenangan dan banyak sekali cara mengeksploitasinya. Salah satunya adalah demi kewarasan dalam menghadapi setiap yang menyesakkan, termasuk hari ini.
Akhir - akhir ini aku sering kembali pada laboratorium pukul 8 malam hari. Kala itu ada aku dan beberapa kawan yang saling bahu membahu membuat kehidupan mahasiswa semester akhir menjadi lebih ringan untuk dijalani. Kami fokus terhadap urusan masing - masing, dengan menyisipkan kasak - kusuk soal perpolitikan kampus diantaranya sesekali.
Yang aku ingat betul adalah, pada setiap basa basi, ada setumpuk rasa khawatir yang tidak lelah aku redam. Setelah kurang lebih enam bulan dalam entah banyak sekali kegagalan, aku memang semakin handal mengatur perasaan yang sering kali bisa jadi kurang ajar, serta menguasai. Namun, malam itu berbeda. Sejak pertama kali membuka mata pagi ini, aku tau, hari ini adalah usaha penutup dari apa yang sudah aku jalani tanpa henti. Jika malam ini aku gagal lagi, aku sudah berjanji tidak akan mengutuknya dengan banyak sekali sumpah serapah seperti biasanya.
Aku dengan keluasan hati yang diada adakan, akan memeluknya sepenuh jiwa. Kemudian, berterima kasih kepada diriku sendiri karena sudah bertahan sejauh ini. Nampaknya aku sudah tidak lagi ingin hidup dipenuhi kemarahan yang membutakan. Dalam 22 tahun hidupku, tidak pernah aku mengalami kejadian yang sebegininya menguras kewarasan. Serupa lorong tanpa ujung, yang tidak kunjung aku temukan pintu keluarnya, tanpa peduli sejauh apa aku sudah berlari. Malam itu, aku hanya ingin sepenuhnya kembali, dan kepasrahan adalah pilihan terakhir setelah berbagai macam cara. Oleh karena itu, pada setiap usaha yang sudah purna, aku mencukupkan diriku akan setiap hasilnya.
Setelah timer berdering di salah satu ruangan, aku memantapkan langkah untuk mengambil hasil dari percobaan untuk entah yang kesekian kali. Dan untuk pertama kalinya dalam 6 bulan percobaan tanpa henti, akhirnya aku melihat segaris pita DNA berpendar. Eksperimenku yang terakhir kali, tidak lagi berujung kegagalan. Tidak aku sangka, keberhasilan justru muncul di saat - saat penuh pengikhlasan. Ketika itu, aku hanya ingin solat isya. Selebrasi sederhana dengan sujud yang lebih lama dari biasanya, dipenuhi oleh kata syukur yang melimpah ruah. Berterima kasih kepada pemilik semesta.
Tidak hentinya aku melengkung senyum. Perjalanan beberapa bulan ini begitu panjang di belakangku. Yang diantaranya, banyak sekali keputusasaan dan keinginan untuk berhenti, lengkap dengan berbagai macam definisinya, dari seseorang yang pernah begitu optimis terhadap masa depannya sendiri.
Aku segera memberi kabar kepada dosenku yang amat baik hati. Ia tidak kalah terkejutnya. Setiap pesannya dipenuhi "Allahu akbar" dan banyak sekali "Alhamdulillah". Ia kemudian menelfonku, dan pada panggilan yang penuh dengan kebahagiaan, ia berkata, "Selalu ingat ini, kemanapun hidup membawamu. Bahwa ditengah banyak sekali ketidakmungkinan, kamu hanya harus tetap sabar berusaha dan berdoa, suatu hari nyatanya akan sampai juga." Kata - katanya yang kemudian sampai kini terprogram dalam kepalaku begitu rapi. Sehingga pada setiap waktu - waktu putus asa, ketika sudah tidak lagi ingin bersabar, atau mulai mengutuk bagaimana semesta bekerja, aku tau, kepada kenangan yang mana aku harus kembali. Laboratorium pukul 8 malam hari.