Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.




Day 3: Memories of 30 days writing challenge
   Kenangan dan banyak sekali cara mengeksploitasinya. Salah satunya adalah demi kewarasan dalam menghadapi setiap yang menyesakkan, termasuk hari ini. 

   Akhir - akhir ini aku sering kembali pada laboratorium pukul 8 malam hari. Kala itu ada aku dan beberapa kawan yang saling bahu membahu membuat kehidupan mahasiswa semester akhir menjadi lebih ringan untuk dijalani. Kami fokus terhadap urusan masing - masing, dengan menyisipkan kasak - kusuk soal perpolitikan kampus diantaranya sesekali. 

   Yang aku ingat betul adalah, pada setiap basa basi, ada setumpuk rasa khawatir yang tidak lelah aku redam. Setelah kurang lebih enam bulan dalam entah banyak sekali kegagalan, aku memang semakin handal mengatur perasaan yang sering kali bisa jadi kurang ajar, serta menguasai. Namun, malam itu berbeda. Sejak pertama kali membuka mata pagi ini, aku tau, hari ini adalah usaha penutup dari apa yang sudah aku jalani tanpa henti. Jika malam ini aku gagal lagi, aku sudah berjanji tidak akan mengutuknya dengan banyak sekali sumpah serapah seperti biasanya. 

   Aku dengan keluasan hati yang diada adakan, akan memeluknya sepenuh jiwa. Kemudian, berterima kasih kepada diriku sendiri karena sudah bertahan sejauh ini. Nampaknya aku sudah tidak lagi ingin hidup dipenuhi kemarahan yang membutakan. Dalam 22 tahun hidupku, tidak pernah aku mengalami kejadian yang sebegininya menguras kewarasan. Serupa lorong tanpa ujung, yang tidak kunjung aku temukan pintu keluarnya, tanpa peduli sejauh apa aku sudah berlari. Malam itu, aku hanya ingin sepenuhnya kembali, dan kepasrahan adalah pilihan terakhir setelah berbagai macam cara. Oleh karena itu, pada setiap usaha yang sudah purna, aku mencukupkan diriku akan setiap hasilnya. 

   Setelah timer berdering di salah satu ruangan,  aku memantapkan langkah untuk mengambil hasil dari percobaan untuk entah yang kesekian kali. Dan untuk pertama kalinya dalam 6 bulan percobaan tanpa henti, akhirnya aku melihat segaris pita DNA berpendar. Eksperimenku yang terakhir kali, tidak lagi berujung kegagalan. Tidak aku sangka, keberhasilan justru muncul di saat - saat penuh pengikhlasan. Ketika itu, aku hanya ingin solat isya. Selebrasi sederhana dengan sujud yang lebih lama dari biasanya, dipenuhi oleh kata syukur yang melimpah ruah. Berterima kasih kepada pemilik semesta.

   Tidak hentinya aku melengkung senyum. Perjalanan beberapa bulan ini begitu panjang di belakangku. Yang diantaranya, banyak sekali keputusasaan dan keinginan untuk berhenti,  lengkap dengan berbagai macam definisinya, dari seseorang yang pernah begitu optimis terhadap masa depannya sendiri.

   Aku segera memberi kabar kepada dosenku yang amat baik hati. Ia tidak kalah terkejutnya. Setiap pesannya dipenuhi "Allahu akbar" dan banyak sekali "Alhamdulillah". Ia kemudian menelfonku, dan pada panggilan yang penuh dengan kebahagiaan, ia berkata, "Selalu ingat ini, kemanapun hidup membawamu. Bahwa ditengah banyak sekali ketidakmungkinan, kamu hanya harus tetap sabar berusaha dan berdoa, suatu hari nyatanya akan sampai juga." Kata - katanya yang kemudian sampai kini terprogram dalam kepalaku begitu rapi. Sehingga pada setiap waktu - waktu putus asa, ketika sudah tidak lagi ingin bersabar, atau mulai mengutuk bagaimana semesta bekerja, aku tau, kepada kenangan yang mana aku harus kembali. Laboratorium pukul 8 malam hari.







    Sudah seharian ini aku memaksa isi kepalaku memikirkan tema hari kedua:

"Apa yang membuatku bahagia?"

   Sampai sore tidak kunjung ada jawabannya. Padahal, di hari - hari sedih lainnya, bahagia sering kali mengambil definisi paling sederhana. Nampaknya, gadis ini mulai kehabisan keberuntungannya. Tapi tenang saja, aku masih belum ingin menyerah. Tekadku bulat untuk menuntaskan setiap tema sampai 28 hari kedepan. Sehingga, aku berpikir lebih keras.

Lalu, Eureka! 

    Ingatanku berjalan mundur pada suatu siang yang terik dan tiba - tiba. Idolaku menjulang dan melambaikan tangan dengan senyum yang ringan. Kala itu, kelelahanku menyeberang ke gedung tetangga, melawan matahari siang bolong, terasa tidak apa - apanya. Bahagia bisa jadi amat sederhana dan tidak disengaja. 

  Lalu sisi diriku yang skeptis muncul dan menegasikannya tepat di muka. Premis bahagiaku dianggapnya terlalu dangkal karena masih saja menyimpan bahagia di saku celana orang (laki - laki) lainnya. Aku kembali diam dan tersudutkan. Pertanyaan yang cukup familiar kembali bermunculan.

   "Mungkinkah sejak pertama, memang aku yang selalu salah?."

    Jika sudah seperti ini, biasanya aku akan kabur kemanapun aku suka, sendiri. Membeli tiket kereta keluar kota untuk satu perjalanan yang tanpa rencana. Makan sushi favoritku di tengah kota. Pergi ke Gramedia paling besar yang puluhan kilometer jauhnya. Usaha demi usaha sebagai pembuktian bahwa aku mampu untuk membahagiakan diriku sendiri. Usaha yang kini otomatis didiskualifikasi sepihak oleh pandemi.

  Menuntaskan tema hari kedua makin terlihat kabur. Sampai menjelang adzan Maghrib, aku mendapati diriku dan mama di kafe ala - ala dalam salah satu minimarket di Salatiga. Menikmati minuman diskonan hari senin untuk berbuka. Cafe dolce untukku, lemon tea hangat untuk mama. 

   "Aku masih suka sedih loh ma kalo mikirinnya" entah kesurupan apa, tiba - tiba perasaan yang beberapa hari ini menyesakkan, berhamburan tanpa perlu perintah.

  "Ya gapapa, perasaan kan gak bisa langsung berubah" ia menanggapinya santai.

    "Iya sih, tapi jadi takut aja rasanya. Kayak kemarin udah keliatan se-serius itu, tapi ternyata sama aja"

   "Ta, kamu gak boleh lho seolah menentukan jalannya nanti gimana. Kalo udah kayak gini, pasti kayak gitu. Gak semuanya sama. Kita kan gak tau"

   Aku, tentu saja hanya bisa mendengarkan sembari mengubur banyak sekali 'tetapi'. Mama jarang sekali salah, dan punya tendensi untuk mendominasi. Bahkan jika suatu ketika aku yang benar, maka aku rela jika kemenangan ditimbun dengan setiap diam dan hikmat dalam mendengarkan ucapannya. Dalam rangka meraih surgaNya dengan seribu cara. Yang kemudian, sore ini secara tidak sengaja membuatku sampai pada jawaban atas pertanyaan tiada akhir soal bahagia. 

   Ternyata, membahagiakan dapat bercerita kepada mama soal kegagalan yang masih menyesakkan dada. Kesempatan yang tidak aku miliki ketika SMA, atau saat di Purwokerto dengan sekarung penuh keanehannya. Juga kebahagiaan karena dapat berbuka berdua yang tidak digagalkan oleh spreadsheets dan email yang terus saja membelah diri. 

   Aku kemudian menyadari, bahwa aku hanya harus mengganti kacamata perspektifku soal bahagia. Karena definisinya masih begitu sederhana. Aku saja yang terlalu sibuk mengulang - ngulang serentetan cerita kegagalan dalam kepala, tentang hal - hal yang seharusnya aku kubur sedalam - dalamnya. Menciptakan ruang untuk lebih banyak syukur terhadap hal - hal sederhana yang sama membahagiakannya, meski dalam bentuk berbeda.

   Sesampainya di rumah, sepupuku paling kecil menyambut kami dengan tawanya yang meringis, penuh dengan gigi geripis. Ia memang diluar spektrum anak - anak biasanya. Oleh karenanya di hidup kami, ia anak yang luar biasa sampai ke hati dan ketulusannya. Lenganku digelayutinya, bahkan ketika sepatu belum terlepas sempurna. Sampai kini, ia memang belum dapat bicara, tapi rasa sayangnya diungkapkan dengan penuh kejujuran. Dalam kedua telapak tangannya yang menangkup pipiku ketika aku menggodanya. 

Aku semakin yakin, bahagia memang masih begitu sederhana. Aku saja yang sering kali menutup mata.

   Menceritakan kepribadian diri diambil menjadi tema di hari pertama tantangan menulis 30 hari, yang entah dibuat oleh siapa. Mungkin dipikirnya, tema ini mudah, karena toh siapa juga yang akam kesulitan menggambarkan kepribadian seseorang yang setiap detik selalu dia amati dan nilai. Tapi toh, akhirnya aku, yang iseng - iseng mengikuti tantangan asal lewat, kesulitan untuk menggambarkan kepribadian diri sendiri. 

   Jujur saja, pikiranku kini sedang tidak benar. Seolah berjalan di lapisan es amat tipis yang dapat seketika retak pada satu pijakan yang tidak beruntung. Sehingga, tema ini aku biarkan terbuka untuk setiap orang yang pernah mengenalku. Katakan saja keinginanmu, dengan senang hati aku berikan id instagram atau twitter teman - teman tersayangku yang seringnya berisik di jagat maya. Agar mereka mengisi paragrafnya serupa membuat suatu eulogi. Agar kamu mengenalku dalam sosok yang hidup dalam pikiran mereka. Tentu saja jika mereka bersedia dan tidak sibuk menjalani kehidupan seperempat abad yang penuh dengan hiruk pikuk. 

   Sehingga, mari kini kita bicara soal eulogi. Indonesia tidak terlalu familiar dengan adanya eulogi. Yang pada film - film barat, biasanya diberikan di prosesi perayaan kematian seseorang. Sebuah pidato dari seseorang untuk mengenang hal - hal baik dari kerabat dekatnya yang hari itu raganya berpisah dengan dunia. Sedangkan, masyarakat kita lebih familiar dengan bisik - bisik tetangga di rumah duka. Soal bagaimana ia mati, betapa menyedihkannya keluarga ditinggal sosok yang penting, dan entah pikiran apa lagi yang saat itu muncul di dalam kepala. Hanya segelintir orang yang cukup waras menyuguhkan pembahasan tentang betapa baiknya almarhum dan kemenangannya soal hidup. Walaupun, juga tidak dapat dipungkiri, akan ada saja yang membahas soal desas desus dan kabar burung yang seringnya soal berita 'gres' dan penuh intrik. Kalau ada eulogi setidaknya akan ada satu sesi untuk mengingat si mati dengan hati yang hangat. Sayang sekali, Indonesia tidak kenal eulogi.

   Padahal, sudah aku bayangkan. Jika jiwa dan ragaku sudah tidak jadi satu, aku akan amat senang (jika aku masih dapat merasa senang) mendengarkan banyak eulogi. Serupa seorang anak yang menerima raport sekolahnya di dunia ini. Oleh karena itu, beberapa hari lalu, aku bertanya kepada teman - temanku soal eulogi apa yang mereka berikan pada hariku nanti. Dan, seperti sudah berkomplot, tidak ada satupun dari mereka yang bersedia. Pertanyaan ini membuat mereka ketakutan, dan mengundang pikiran - pikiran negatif di sudut - sudut kepala. 

Padahal kan biasa saja, ia tidak?
Aku kan hanya ingin tau rapotku di kepala mereka. Apakah aku sudah hidup selayaknya seorang manusia, yang seharusnya berarti dan bermanfaat bagi sekitarnya?
Atau apakah aku hanya seseorang yang sekedar lewat tanpa arti apa - apa?

Jika aku memintamu membacakan eulogi ketika aku masih bernafas di dunia, kamu mau tidak?

    Pada kedua matamu aku berpulang. Aku kira sudah tidak ada lagi rumah dalam sayupnya. Ternyata pada kedalamannya justru aku temukan sebagian diriku yang sudah lama dikira hilang. Siapa sangka, gadis remaja itu ternyata masih bersembunyi dibalik teduhnya. Ia nyaman bersandar pada setiap rasa dilindungi dan kata - kata penuh cinta. Cukup lama di palung Mariana, kembali pada tatapanmu di suatu siang yang tiba - tiba, membuatku ingin bersandar dan menaruh jangkar selama yang aku bisa. Sayangnya, hidup masih kerap menjadi banyak sekali ketidakmungkinan, dan kamu bukan pengecualian.

    Pada hangatnya ruang - ruang pikiranmu aku berpulang. Aku bebas menghamburkan banyak keresahan di setiap sudutnya. Tidak pernah ada khawatir akan berubah menjadi pisau yang menusuk tajam. Begitu lapangnya, dan aku bebas menjadi apapun yang aku suka. Bisa jadi pahlawan yang kesiangan, atau penjahat atas mimpi - mimpinya sendiri. Berbagai macam aku yang sedikit baiknya, tapi tidak pernah khawatir akan kehilangan tempatnya di setiap sisi. Setiap dindingnya masih menjadi kanvasku paling warna - warni. Membuatku ingin menyimpannya selamanya, abadi. Sayangnya, hidup masih kerap menjadi banyak sekali ketidakmungkinan, dan kamu bukan pengecualian. 

    Begitu keras aku berdoa dan masih bukan jadi pengecualian. Aku pikir, ini jawabannya. Gak apa, setidaknya aku pernah merasakan nyaman, yang pada kehidupan amat sederhana, juga adalah suatu keajaiban.


Mari kita bicara soal body image. 

Gua gak pernah terlalu tertarik pada pembahasan ini karena simply, I love my self that I dissed every words or intriguing questions from people, regarding my imperfections. BUT, that was until supposed to be one fine lunch. 

I've been troubled with my mental state. The cycle was very similar to 7- 8 years ago. I couldn't take lunch or breakfast because I was too sad and depressed. It felt like I needed to get all this negativity out of my system, literally. It was things that I couldn't control nor avoid. It just, happened. Every breakfast or lunch was a fight. Because I don't have any appetite to get one, but I understand I couldn't missed out another plate. Otherwise gerd would sent me to worsening situation. 

Of course, I lose another weight. Yeay!.

Kesalahan gua adalah. I told my coworkers this issue. "Aku kalo sedih emang jadi susah makan sih". I didn't stress this enough that behind 'sedih', there is mount of terrible sadness that sometimes unbearable. Finally they come up with judging questions

"Terus kamu kalo sedih ngapain?"

"Kamu jangan jadi masokis gitu dong, makan makanya"

"Kamu tuh tambah kurus kan"

They didn't realise that this is beyond their idea of teenage galau girl who refused to eat to simply torture herself. No, this is not. And there was nothing significant I could do, at that time. Gua juga gak bisa tiba - tiba menghilangkan rasa pengen muntah setiap kali makan siang. Atau lebih impossible lagi gaining weight in order to look 'healthy'.

"Celana kerjamu udah skinny ya padahal, tapi tetep aja ni pantat keliatan gak ada isinya hehe" 

Saking terkesimanya, gua cuma senyum. Kehabisan kata.

"Kamu kalo makan dibanyakin gitu loh"

"Ya gak bisa. Mau gimana"

"Temenku dulu minum appeton lumayan sih naiknya. Kamu gak mau nyoba?"

"Enggak, I like what I see now in the mirror" and I didn't lie. I still love my body right now. I cherish every inch of it after taking shower. But one idea strucked me. 

Ternyata ditengah rising awareness of mental health issue and body image, there are still people who completely either too fool or too arrogant to understand it. It seemed like there is double standard of being too skinny. Masih ada notion soal skinny being the standard. Jadi kalo lu terlalu kurus, then, your problem is the easy piece of cake. And it is okay to address them in public, because it feels good to build people up and give them a boost of self improvement. 

Well, no, you don't.
You don't build them up, you ruin them down. 
No, this is not self improvement, only a facade of degrading words your arrogant mind to notice. 
And of course, this still not okay.

Membahas fisik orang lain, apapun bentuknya atau isunya, MASIH bukan sesuatu hal yang benar. Bisa jadi, keadaannya sekarang karena mental statenya lagi gak bener. Atau karena mereka memang punya penyakit yang menguras semua nutrisi dalam tubuh mereka. Atau karena memang genetik darisananya. Which if I may sum up, something that you can not change in second you tell them to man up and take the dinner. 

It is very simple being kind, you just need to be more sensitive. Problems that doesn't exist in your eyes, is still exist in their mind and body.

P.s: I understand that I might be that incensitive bitch in the past. Thus, I'm so sorry for the destruction I left you with.

P.s.s: I'm getting better now. My mental state is more stable, or at least quite and plain. My appetite comes back gradually. Just in case you worry.

    Satu kejadian dengan akhir berbeda. Kejadian ini mengantarkannya pada rasa jatuh cinta seutuhnya. Untuk pertama kalinya, membuat ia dapat memeluk suara hatinya sendiri sepenuhnya. Berterima kasih tanpa henti, karena suara hati telah mengantarkannya pada satu titik bahagia yang sebelumnya tidak pernah mampu ia singgahi. Ia tidak lagi menuhankan logikanya sendiri. 

    Satu kejadian dengan akhir berbeda. Mengantarkan aku pada rasa ketidak percayaan sepenuhnya. Kehilangan pijakan kaki yang mantap, menuju keentahan sempurna. Aku tidak lagi mendengarkan kata hati, tidak lagi dapat percaya. Menjatuhkan diri seutuhnya pada setiap perasaan, membuatku sampai pada satu kehancuran yang tidak pernah aku temukan sebelumnya. Untuk seseorang yang selalu memeluk suara hatinya dengan sepenuh jiwa, kehilangan kepercayaan terhadapnya adalah kegamangan paling purna. 

    Ini masih jam 5 pagi, di hari Rabu. Dan aku sudah tidak tau apalagi yang dapat aku percaya pada setiap langkah kakiku. 




Ribuan doa dengan namamu yang bertebaran di setiap sisinya, kembali datang tiba - tiba. Sebagai seorang perencana, tentu saja setiap kemungkinan terburuk sudah masuk dalam hitungan. Bagaimana aku akan menyelamatkan diriku, kemanakah aku akan berlindung setelah ini. Begitu banyak jalan keluar dan imajinasi setelah kala ketika, ternyata masih menyisakan satu tanda tanya. Soal kemana doaku bermuara, ketika ternyata bukan kamu orangnya. Akankah banyak doaku yang lalu jadi sia - sia?. 

Ataukah Ia telah menyelamatkan doaku dengan mengganti namamu entah dengan nama siapa, agar doa tetap sampai ke esensinya. 

Atau cukuplah Ia menyelamatkan doaku dengan menilainya sebagai pahala?.



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2025 (4)
    • ▼  Juni (2)
      • hari jumat
      • nekattt
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates