Teruntuk gadisku. Jika suatu hari mimpimu terasa terlalu tinggi, tetaplah berlari. Meski jika kamu lelah dan ingin berhenti. Meski seolah tak ada celah yang dapat kamu lewati.
Teruntuk gadisku. Jika suatu hari kamu menangis sejadi-jadinya. Hancur sampai lebur. Tenggelam sampai rasanya sesak. Percayalah aku selalu ada di sisi. Mengamini setiap harapan yang bahkan tak berani kau ucapkan.
Teruntuk gadisku. Tak apa. Sabarlah.
Bukankah kita selalu tau, kamu pasti bisa.
.
.
.
Bukankah kini sudah berulang kali Ia tunjukkan, bahwa kamu tidak pernah sendiri.
Aku harap ini dapat melegakan setiap bagian yang masih kecewa. Aku harap ini jadi kali terakhirnya, dimana setiap kata yang akan kau baca setelahnya mengeja namamu dengan setiap tanda yang mungkin ada.
Ini sudah sering terjadi, namun kali ini aku akan berusaha jujur kepada diri sendiri. Bahwa alasan setiap percobaan melupakan selalu gagal ditengah perjalanan kemungkinan besar karna aku yang begitu lekat dengan kenangan. Ada bagian yang masih berkata bahwa diammu adalah untuk sebaik-baiknya jiwa, bahwa pergimu tidak lain agar setiap cerita yang menumpuk dapat mengisi setiap sela yang hampa pada waktunya. Bahwa kalimat sederhana di awal perjalanan adalah setulus-tulusnya kata yang dapat diucap manusia.
Bahwa kamu tidak seragam dengan setiap yang pernah menyinggahi. Ternyata, aku yang kemarin masih nyaman dengan imaji.
Kini, aku sadar bahwa setiap kata adalah sama, tanpa makna. Setiap kembali adalah langkah setengah hati karna kamu selayaknya anak laki-laki, seringkali tidak mengerti dengan apa yang diingini. Kamu bukanlah laki-laki yang terakhir kali dan karenanya sungguh aku tidak berharap akan ada kembali suatu hari.
Kini, aku ikhlaskan itu untuk terjadi. Aku maafkan diriku yang seringkali masih begitu percaya. Aku mengikhlaskan kamu yang tidak mengingatku sebagai seseorang yang pernah memberi arti. Kamu bagiku bukan cerita sambil lalu, tapi aku ikhlaskan jika kamu begitu.
Aku cukup dengan diriku sendiri.