Aku kira satu-satunya hal yang bisa diakui kepemilikannya adalah mimpi. Selagi itu baik, meski tak mungkin dan rasanya sulit sekali, tetap saja aku dekap erat sampai rasanya ada jiwa yang bergetar setiap kali mengingatnya. Dari setiap hal, yang sejatinya tidak pernah jadi milikku, aku kira bermimpi adalah suatu hadiah kecil. Satu-satunya yang dapat kita miliki, agar tetap selalu ada bahagia meski dunia tidak lagi tampak begitu terbuka.
Ternyata, aku salah. Bahkan mimpiku, tak pernah jadi milikku. Yang berarti, setiap kematiannya bisa terjadi tiba-tiba, setiap dirinya dapat dimusnahkan dengan begitu sederhana, setiap kesempatan menujunya dapat tertutup tanpa ada celah.
Lalu karnanya, menjelang tahun ke-23, doaku sederhana berulang, agar diberikan kekuatan untuk mengikhlaskan hal-hal yang tidak ditakdirkan.
Teruntukmu,
Aku biarkan kamu mati dalam tulisan ini. Beristirahat agar hatiku tidak lagi berat. Aku biarkan mengalir dalam sungai-sungai panjang. Tidak apa, kamu sudah berjuang, dan semoga beberapa kehilangan dapat mendewasakan. Semoga hatiku dapat mencinta dengan benar, bukan lagi kepada hal-hal. Bahkan bukan kamu yang pernah aku anggap begitu sakralnya sehingga tak apa dicinta oleh sepenuhnya jiwa. Patahku berbeda kali ini, tapi tetap tak apa.
Siang ini bukan kali pertama ada yang jadi begitu menyesakkan. Mari kita habiskan setiap hal yang bisa jadi memberatkan. Mungkin dengan menyisakan sedikit harapan akan suatu hari di masa depan. Mungkin beberapa waktu setelah ini, bisa jadi hitungan bulan, beberapa tahun bahkan puluhan, atau tak apa jika satu-satunya waktu bagiku adalah ketika kamu terduduk di senja hari dengan rambut yang sudah memutih. Tidak apa meski hanya sekali waktu saat itu, ketika kamu akhirnya mengingatku pada hari-hari dulu.
Bagaimana aku berlari ketika mendengar kabar bahwa kau tak lagi baik-baik saja, kecelakaan besar, kau anfal, yang ternyata hanya lelucon di kala siang. Bagaimana segala kebiasaan sudah aku mengerti dan terima. Bagaimana aku hampir selalu ada dan jadi yang pertama. Bagaimana ketika mimpi buruk menyita segala bahagia, ada aku yang hadir di sana, menjadi seseorang yang kamu anggap begitu familiarnya. Bagaimana setiap kejatuhanmu aku coba bagi separuh agar tak lagi terlalu dalam atau menenggelamkan. Bagaimana aku juga sempat begitu, sebaliknya.
Suatu hari, semoga kamu mengingatku dan merasakan hangat di hati, mungkin dengan rasa kehilangan sekali lagi karna kesadaran bahwa ternyata ada yang pernah sangat terlewati.
Sedikit harapan yang akhirnya mencukupkanku kini dan semoga hari-hari setelah ini.
Mungkin, yang harus saya sadari kini adalah tentang ketidak kuasaan kita terhadap segala sesuatunya. Meski tidak suka, saya harus mengerti, bahwa suatu hari akan ada yang berjalan beriringan denganmu. Lekat di sisi, hangat di hati. Dia yang pada akhirnya kamu anggap menjadi yang paling mengerti. Dia yang membuat segala pencarian berhenti.
Saya harus menerima, jika suatu hari saya hanyalah manusia yang tidak punya kuasa. Bukan dia yang bisa membuat debar singgah tiba-tiba. Bukan dia yang membuat seorang kamu berkata iya terhadap segala hal di masa depan, baik dan buruk untuk selalu bersama. Pada akhirnya, saya harus ikut berbahagia, karna bertemu cinta adalah suatu perayaan. Peristiwa yang menunjukkan suatu kebesaran. Kejadian yang tidak kamu temui setiap hari, pun tidak terjadi pada setiap hati, dan karnanya saya pasti berbahagia. Pasti, ikut bahagia. Setidaknya, mungkin bukan karna sempurna merelakan, tapi karna saya akhirnya mengerti tentang banyaknya perasaan yang harus dikorbankan. Bagaimana untuk menemukan dia, yang sama-sama berjanji untuk saling setia, adalah perjalanan panjang yang jauh dari kata sederhana.
Saat itu, saya pasti hanya ingin memelukmu dengan sepenuh hati mengerti tentang hal terpenting yang dari dulu saya yakini, pada akhirnya kamu bahagia.
Dengan siapapun itu, meski bukan saya.