Analogi Toko Buku
Saya masih ingat kali pertama pindah rumah, dipinggir jalan yang masih terasa asing kala itu, saya menemukan toko buku kecil dan sederhana. Letaknya terpojok di pinggir jalan, sedikit masuk namun terlihat, sepi, walaupun di depannya adalah salah satu universitas swasta yang paling terkenal sepenjuru kota kecil itu. Saat itu rasanya saya menemukan oase dan pengharapan, bagaimanapun sepinya kehidupan baru saya nanti tanpa manusia dan lingkungan - lingkungan yang familiar, sepertinya saya akan baik - baik saja. Seberapa jauhnya saya, tapi buku buku tetap dapat menetramkan pikiran dan membuat saya lupa pada dunia. Rasa - rasanya kala itu saya akan baik baik saja, tak peduli seberapa buruk dan kesepiannya.
Lalu, kehidupan baru saya berjalan. Kala itu saya masih sempat pulang 2 minggu sekali kerumah yang jaraknya 6 jam perjalanan jalur darat. Saya sempatkan beberapa kali menyambangi toko buku pinggir jalan itu jika ada waktu, dan jika ada uang. Ya, walaupun sesekali saya hanya membaca, tapi rasanya tak enak jika hanya numpang dan tak membeli. Toko buku itu memang sepi, biasanya saya hanya bertiga dengan dua pegawai toko, sesekali memang ada pengunjung yang datang, tapi tak begitu banyak walaupun saat itu hari libur. Rasa - rasanya saya mendengar keruntuhan perlahan dari toko buku kecil kesayangan saya kala itu. Tapi saya tak pernah ambil pusing, walaupun bukunya sedikit yang terkenal, walaupun tak banyak buku - buku genre kesukaan saya, tapi ditengah lingkungan baru yang asing, toko itu adalah suatu pelegaan tersendiri yang membuat saya, baik baik saja.
Lalu benar, saya masih merasakan patah hati yang sama ketika pulang dan melihat toko itu berubah menjadi toko baju ala ala remaja. Keruntuhan toko buku saya benar benar terjadi, dan saya tak bisa berbuat apapun. Ya jelas, siapa saya yang seringkali hanya menumpang mencari tentram. Siapa saya yang berhak protes karena buku tergadaikan oleh baju baju trendy anak muda masa kini. Apalah saya yang hanya bisa menerima. Saya pikir, mungkin setelah ini tak kan lagi ada oase ditengah asing yang menenggelamkan. Tapi, saya salah.
Saya tetap baik baik saja walaupun toko itu sudah tak ada. Ternyata saya mulai belajar bagaimana saya hidup dengan ketidaksempurnaan dan kehilangan - kehilangan kecil. Yang bahkan ketika sudah ada toko buku yang lebih besar, lebih nyaman, saya tak lagi merasakan jatuh cinta yang sama.
Toko buku itu tak tergantikan, dan keruntuhannya dapat diterima. Saya, cukup dengan itu.
Karena terkadang, jatuh cinta dan perasaan hanya punya one hit shot and done. tidak ada lagi yang kedua, ketiga, dan keempat. Walaupun kembali dalam bentuk yang terlihat lebih baik, menemukan sesuatu yang dulu hilang dan merasakan hal yang sama seperti dulu lagi, ternyata, tak semudah itu.
0 comments