Meski ngeri, kurasa, aku perlu menyusuri jalan itu kali ini. Di tengah pagi, aku bangun tanpa bapak dan mama di sisi. Keduanya ada di ruang isolasi sudah beberapa hari. Oleh karenanya, tugasku akhir - akhir ini setiap pagi adalah mengantarkan termos penuh berisi air, pakaian bersih, atau bahkan cokelat yang kuharap meringankan hati kami. Hari itu sudah hari kesekian mamaku tidak cukup tidur. Entah karena racauan bapak yang perlahan menjadi racauan ngeri sebelum koma, entah karena ketakutan jika di tengah lelapnya ia ditinggalkan kekasihnya. Pagi itu, selain logistik yang biasa, mamaku memesan obat flu untuk meredakan lelahnya karena perang harus tidak berakhir hari ini. Ia adalah pejuang yang meski seluruh pasukan tumbang, ia tidak boleh mundur dari garis depan. Oleh karenanya aku juga tetap berdiri meski hati dan jiwaku sungguh ingin berhenti. Rasanya satu pagi itu telah mengubah banyak pagiku yang membosankan dan menyebalkan terasa seperti surga duniawi. Tidak ada yang lebih aku benci dari pagi yang diawali dengan perasaan sedih, benci dan marah menjadi satu di dalam hatiku yang amat kecil. Bagaimana aku merasa amat tidak berguna, ketika dua orang yang paling kucinta mempertaruhkan hidup dan matinya di dalam sana. Bahkan untuk aku yang paling sabar menyimpan dendam, manusia - manusia yang paling aku benci pun tidak pantas merasakan hal ini. Meskipun saat itu aku juga tau, mungkin di pagi dan detik itu, puluhan bisa jadi ratusan anak lainnya di penjuru dunia merasakan hal yang sama karena pandemi ini benar - benar meluluh lantahkan setiap cinta.
Setelah memutari kota salatiga, akhirnya aku menemukan satu apotik pertama yang buka di pukul 7 pagi hari. Kubeli obat flu dan beberapa vitamin C. Mamaku menelepon agar aku bergegas karena bapak anfal lagi untuk kesekian kali. Sesampainya di ruang perawat, kulihat perawat tergesa - gesa memakai pakaian pelindung berlapis - lapis sebelum setengah berlari menyusuri lorong menuju ruang isolasi. Hatiku berdegup kencang seperti mengetahui bahwa mereka tepat menuju ruangan mama dan bapakku, kutitipkan obat flu itu kepada mereka. Aku hanya dapat melihat melalui monitor pengawasan, bagaimana mamaku berada di samping tempat tidur bapak, menangkupkan tangan tanpa henti merapal doa yang dia harap dapat memudahkan segala yang dilakukan perawat dalam usaha membuat bapakku baik - baik saja. Yang mana setelahnya laki - laki yang paling kucinta memang baik - baik saja untuk sementara. Kupikir akhirnya. Kupikir syukurlah. Sampai dokter menghampiriku dan berkata sebaliknya bahwa mereka saat ini tidak dapat melakukan apa - apa, bapakku koma, dan aku hanya perlu berdoa. Pintu neraka itu ternyata menjelma oase yang memerangkapku selamanya.
Tanpa punya pilihan lain aku berdoa dan menunggu. Seperti seseorang yang duduk di tengah rel kereta api. Aku pasrah tapi aku juga berdoa. Aku marah tanpa tau kepada siapa. Aku juga lelah tapi aku harus kuat untuk mama. Sampai pada suatu siang yang frustasi aku berkata pada mamaku bahwa kita harus berhenti. Suatu tindakan yang sebenarnya pasif tapi menyerap seluruh energi kehidupan dalam diri. Kami bertiga terbiasa berlari dan berhenti mencoba merupakan jalan yang terasa tidak alami. Meskipun begitu, akhirnya itulah yang terjadi.
Menyusuri jalan itu lagi terasa gelap, bahkan ketika pada hari raya ini jalanan penuh dengan lampu yang gemerlap. Ketika sampai di ujung jalan, rasanya bahkan lebih menyesakkan, masih sering kali membuatku sesenggukan. Tapi di setiap persimpangannya ada bagian - bagian kusut dalam diriku yang teruraikan. Salah satu persimpangannya adalah ketika aku dan bapak saling melambai tangan.
"Bapak, rasanya rindu sekali. Setelah Bapak koma aku berkata kepada mama, bahwa kami harus mengikhlaskan jalan terbaik yang Allah siapkan untuk Bapak. Sebaliknya, mama harus keluar dari ruang isolasi itu karena kalau tidak Mama juga akan ikut ambruk di dalam sana tanpa aku dapat berbuat apa - apa. Aku sungguh yakin Bapak mendengarnya. Aku benar - benar ingin percaya bahwa Bapak melangkah lebih ringan setelah kata - kata itu kuucapkan. 20an tahun hidupku, aku selalu berdoa agar Bapak dan Mama panjang umur sehingga mengikhlaskan Bapak pergi benar - benar hal yang aku tidak mengerti darimana asal kekuatannya. Namun, dengan kata - kata itu aku ingin percaya bahwa setelahnya ada kebebasan yang sudah lama tidak Bapak rasakan. Kebebasan hidup tanpa banyak obat - obatan. Kebebasan tanpa sederet pantangan makan. Kebebasan untuk tidak merasakan nyeri dimana - mana yang tidak pernah Bapak tunjukkan karena Bapak begitu besar dan kuatnya. Kebebasan untuk merasakan kelegaan jika kebahagiaan terasa terlalu mengada - ngada. Kebebasan yang ditukar dengan rasa duka yang aku bawa kemana - mana setelahnya. Aku gak bisa bilang gapapa, tapi sebagaimana banyak hal yang aku terima apa adanya, kejadian ini adalah salah satunya. Sampai nanti, aku sayang bapak, selalu."