Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Stories

Letters

Reviews

Pada hari jumat di siang bolong, aku menghitung sudah berapa banyak hari jumat yang aku lewati tanpa aku rebahan di depan televisi. Masih dengan baju seragamku. Menonton FTV yang sudah tinggal babak - babak akhir cerita dimana si tukang gorengan akhirnya bisa bersama dengan mbak - mbak kaya raya yang kebetulan jatuh cinta kepadanya. Di antara iklan aku akan menyalakan kipas angin dan kembali merentangkan tangan di bawahnya agar setiap hawa - hawa angkutan ibukota ini segera lepas dari setiap pori. Sambil menikmati masa - masa pulang sekolah ini, aku akan menunggu bapak dan mama pulang kerja. Menghabiskan waktu istirahatnya yang agak panjang di hari jumat. Bapak yang setelah menginjakkan kaki di rumah akan lekas bersiap untuk berangkat ke mesjid. Mama, di lain sisi, akan makan siang bersamaku, dan kami melanjutkan sesiangan jumat itu dengan kembali menonton FTV, sampai akhirnya bapak pulang dari masjid dan mereka bergegas kembali bekerja.

Pada hari jumat siang bolong, aku mengingat masa - masa itu dengan begitu jelas setiap detiknya. Aku berpikir, bagaimana bisa aku tidak dapat mengingat kapan kali terakhir aku memiliki jumat siang yang panas tapi terasa hangat. Bagaimana bisa aku melepaskan salah satu momen - momen membahagiakan begitu saja tanpa perayaan, tanpa catatan. Mereka begitu saja hilang seperti pasir dalam genggaman dari sela - sela jari tangan. Butir yang satu mengikuti butir yang lain. Aku biarkan mereka perlahan hilang sampai tinggal telapak tanganku yang begitu kecil. Bagaimana bisa aku hanya menganggap hari jumat itu tidak lebih dari sekedar rutinitas biasa. Bagaimana bisa aku tidak mengira, bahwa pada suatu ketika aku akan merindukan hari - hari seperti ini ketika hidup begitu beratnya. Bagaimana bisa aku tidak mengira, padahal menjadi dewasa adalah suatu niscaya?

Pada hari jumat siang bolong, aku benar - benar menyesal tidak menjadi dewasa lebih cepat. Bukan karena aku dapat memiliki uang dan suaraku sendiri. Aku hanya berpikir, mungkin kalau aku dapat dewasa lebih cepat, aku dapat memahami bahwa banyak hari di masa kecilku tidak akan terjadi untuk kedua kali, sehingga setiap detiknya dapat dengan benar aku resapi. Sehingga pada setiap kehilangannya, aku dapat berpuas karena detailnya sudah aku hargai. 

Aku banyak menahan diri akhir - akhir ini, karena jika tidak, maka seluruh halaman pertama akan mengeja setiap jengkalmu. Jika tidak, maka aku akan tenggelam dalam pikiran ayo kita menikah besok di KUA dan aku akan bolos kerja. Jika tidak, maka aku akan menggenggam tanganmu dan memilih untuk melawan dunia. Jika tidak, maka akal sehatku akan kalah, sekali lagi mati logika.

Jika tidak maka aku akan menjadi salah satu dari sekian banyak remaja di luar sana yang tidak lagi berpikir bahwa hidup tidak hanya untuk hari ini.

I buried you deeper than my father.
No man would ever discover.
And yet, I found you beside the quietest person in the table, asking how was their weather.
And yet, I found you in the wrecked plans, you said, it doesn't have to be perfect to keep all of our dreams stay in the plane.
And yet, I found you in the Stitch that stayed with me wherever.
And yet, I woke up and how did I wish a daydream would go on forever.
Because later, you weren't there, nor everywhere.
Funny how I ditched your bits faster, never imagined I seem to lost it somehow in the future.
I searched for too long just to remember, you are now a ghost I would never recover.

(initially written in snapgram on July 25th 2024)

Meski ngeri, kurasa, aku perlu menyusuri jalan itu kali ini. Di tengah pagi, aku bangun tanpa bapak dan mama di sisi. Keduanya ada di ruang isolasi sudah beberapa hari. Oleh karenanya, tugasku akhir - akhir ini setiap pagi adalah mengantarkan termos penuh berisi air, pakaian bersih, atau bahkan cokelat yang kuharap meringankan hati kami. Hari itu sudah hari kesekian mamaku tidak cukup tidur. Entah karena racauan bapak yang perlahan menjadi racauan ngeri sebelum koma, entah karena ketakutan jika di tengah lelapnya ia ditinggalkan kekasihnya. Pagi itu, selain logistik yang biasa, mamaku memesan obat flu untuk meredakan lelahnya karena perang harus tidak berakhir hari ini. Ia adalah pejuang yang meski seluruh pasukan tumbang, ia tidak boleh mundur dari garis depan. Oleh karenanya aku juga tetap berdiri meski hati dan jiwaku sungguh ingin berhenti. Rasanya satu pagi itu telah mengubah banyak pagiku yang membosankan dan menyebalkan terasa seperti surga duniawi. Tidak ada yang lebih aku benci dari pagi yang diawali dengan perasaan sedih, benci dan marah menjadi satu di dalam hatiku yang amat kecil. Bagaimana aku merasa amat tidak berguna, ketika dua orang yang paling kucinta mempertaruhkan hidup dan matinya di dalam sana. Bahkan untuk aku yang paling sabar menyimpan dendam, manusia - manusia yang paling aku benci pun tidak pantas merasakan hal ini. Meskipun saat itu aku juga tau, mungkin di pagi dan detik itu, puluhan bisa jadi ratusan anak lainnya di penjuru dunia merasakan hal yang sama karena pandemi ini benar - benar meluluh lantahkan setiap cinta.

Setelah memutari kota salatiga, akhirnya aku menemukan satu apotik pertama yang buka di pukul 7 pagi hari. Kubeli obat flu dan beberapa vitamin C. Mamaku menelepon agar aku bergegas karena bapak anfal lagi untuk kesekian kali. Sesampainya di ruang perawat, kulihat perawat tergesa - gesa memakai pakaian pelindung berlapis - lapis sebelum setengah berlari menyusuri lorong menuju ruang isolasi. Hatiku berdegup kencang seperti mengetahui bahwa mereka tepat menuju ruangan mama dan bapakku, kutitipkan obat flu itu kepada mereka. Aku hanya dapat melihat melalui monitor pengawasan, bagaimana mamaku berada di samping tempat tidur bapak, menangkupkan tangan tanpa henti merapal doa yang dia harap dapat memudahkan segala yang dilakukan perawat dalam usaha membuat bapakku baik - baik saja. Yang mana setelahnya laki - laki yang paling kucinta memang baik - baik saja untuk sementara. Kupikir akhirnya. Kupikir syukurlah. Sampai dokter menghampiriku dan berkata sebaliknya bahwa mereka saat ini tidak dapat melakukan apa - apa, bapakku koma, dan aku hanya perlu berdoa. Pintu neraka itu ternyata menjelma oase yang memerangkapku selamanya.

Tanpa punya pilihan lain aku berdoa dan menunggu. Seperti seseorang yang duduk di tengah rel kereta api. Aku pasrah tapi aku juga berdoa. Aku marah tanpa tau kepada siapa. Aku juga lelah tapi aku harus kuat untuk mama. Sampai pada suatu siang yang frustasi aku berkata pada mamaku bahwa kita harus berhenti. Suatu tindakan yang sebenarnya pasif tapi menyerap seluruh energi kehidupan dalam diri. Kami bertiga terbiasa berlari dan berhenti mencoba merupakan jalan yang terasa tidak alami. Meskipun begitu, akhirnya itulah yang terjadi.

Menyusuri jalan itu lagi terasa gelap, bahkan ketika pada hari raya ini jalanan penuh dengan lampu yang gemerlap. Ketika sampai di ujung jalan, rasanya bahkan lebih menyesakkan, masih sering kali membuatku sesenggukan. Tapi di setiap persimpangannya ada bagian - bagian kusut dalam diriku yang teruraikan. Salah satu persimpangannya adalah ketika aku dan bapak saling melambai tangan.

"Bapak, rasanya rindu sekali. Setelah Bapak koma aku berkata kepada mama, bahwa kami harus mengikhlaskan jalan terbaik yang Allah siapkan untuk Bapak. Sebaliknya, mama harus keluar dari ruang isolasi itu karena kalau tidak Mama juga akan ikut ambruk di dalam sana tanpa aku dapat berbuat apa - apa. Aku sungguh yakin Bapak mendengarnya. Aku benar - benar ingin percaya bahwa Bapak melangkah lebih ringan setelah kata - kata itu kuucapkan. 20an tahun hidupku, aku selalu berdoa agar Bapak dan Mama panjang umur sehingga mengikhlaskan Bapak pergi benar - benar hal yang aku tidak mengerti darimana asal kekuatannya. Namun, dengan kata - kata itu aku ingin percaya bahwa setelahnya ada kebebasan yang sudah lama tidak Bapak rasakan. Kebebasan hidup tanpa banyak obat - obatan. Kebebasan tanpa sederet pantangan makan. Kebebasan untuk tidak merasakan nyeri dimana - mana yang tidak pernah Bapak tunjukkan karena Bapak begitu besar dan kuatnya. Kebebasan untuk merasakan kelegaan jika kebahagiaan terasa terlalu mengada - ngada. Kebebasan yang ditukar dengan rasa duka yang aku bawa kemana - mana setelahnya. Aku gak bisa bilang gapapa, tapi sebagaimana banyak hal yang aku terima apa adanya, kejadian ini adalah salah satunya. Sampai nanti, aku sayang bapak, selalu."

Melewati wot batu, aku bertemu Sunaryo di depan pohon jambu. Ia bercerita tentang segala usaha menghidupkan ibunya yang mati kala itu. Aku menangis karena dalam ceritanya aku bertemu bagian diriku yang lama tidak turut serta kemanapun kaki ini menuju. Bagian diriku ini mengerti benar bahwa berbagai usaha untuk menghidupkan segala yang kami cinta serupa menanam pohon jambu dari biji timah. Akarnya tidak akan tumbuh, tidak akan ada buah yang terasa manis meskipun setiap dahannya kami lelehkan dengan kenangan dan rasa yang sama. Yang kami tau, hanya duka yang berbuah dari pohon jambu berwarna tembaga.

Dalam upaya yang terkesan sia - sia, tidak lain yang kami abadikan adalah perayaan akan hidup seseorang yang pada suatu ketika membantu kami mengeja kehidupan. Sempurna di dalamnya juga sebuah batu besar yang dieja kematian. Batu ini bisa jadi satu - satunya yang amat memberatkan namun secara sadar menolak untuk kami tinggalkan. Ia mengingatkan bahwa pada suatu ketika kami pernah berjalan amat ringan, bahwa kerikil yang ada di dalam tas kami saat itu ternyata tidak lebih dari sekedar dandelion yang dapat terbang ketika ditiupkan. 

Kalau saja kala itu kami lebih sadar dalam menyesapi kehidupan dan setiap detik kebersamaan. Kalau saja pohon jambu lain pada suatu waktu dapat berbuah beberapa bulan lebih cepat karena ia bukan tiruan. Kala ketika setiap kalau berhenti menjadi kemungkinan, sepertinya aku dan Sunaryo dapat sepakat bahwa pohon jambu tiruan cukup untuk merekam segala yang kami rasa berikut dengan kenangannya. Seperti pohon jambu yang menolak berbuah di luar musimnya, maka kami juga akan belajar menikmati setiap tangis pada waktunya.

Mari kita pikir belakangan dan menuliskanmu dengan benar. Dimulai dengan kita bertemu pada hari yang aneh ketika aku bersiap melepaskan segala sesuatunya. Jika sebenar - benarnya cinta memang ada, maka saat itu aku percaya bahwa milikku sudah sebenar - benarnya luluh lantak. Jika memang ada sedikit kepercayaanku kala itu tersisa, maka kupastikan ia tidak lagi ada karena dicuri oleh seorang laki - laki yang berdusta.

Menuliskanmu dengan benar, berarti aku jujur kepada segala yang kita jalani, bahwa ia diawali dengan aku yang sudah tidak mampu berharap apa - apa. Bahwa hubungan manusia hanyalah sekedar hitungan sederhana yang diisi dengan nilai kurang dan tambah. Jika tidak ada kata setara, maka cerita tidak akan ada kelanjutannya. Kata setara yang perlahan berganti rupa menjadi sesuatu yang dimaknai dengan amat sederhana, jauh dari segala teorema matematika.

Menuliskanmu dengan benar, berarti aku mencoba mengeja setiap kenangan dan banyak sekali harapan. Aku tau bahwa kemungkinan - kemungkinan ini juga tidak kalah banyaknya. Bisa jadi amat menenggelamkan kita dalam 'apa yang terjadi jika'. Lalu aku teringat, bahwa kesibukan menerka - nerka ini sudah membuat kita lupa menyesap segala rasa di antaranya. Hangatnya susu jahe di tengah angin malam Salatiga sebagai salah satunya.

Jika ada hal penting yang dapat aku simpan dari sekian banyak proses kehilangan, maka itu adalah bagaimana kita menikmati perjalanan sama khusyuknya dengan merayakan akhir di tujuan. Yang kutau saat ini adalah, dunia bisa saja berubah menjadi amat menguji entah di titik yang mana. Dunia ini bisa membuat bahkan hal - hal tersisa yang tadinya kita anggap kecil dan sederhana menjadi sesuatu yang amat didamba, hanya karena kita tidak lagi memilikinya. Aku tau perjalanan ini akan sulit, dan tidak ada yang tahu akan sepanjang apa, pun berakhir dimana. Tapi kini aku hanya ingin berusaha, agar sesulit apapun, jari - jari kita tidak lagi bersela karena bertaut dalam setiap langkah, bersama dengan dua jiwa yang melangitkan banyak doa.

Di umur yang sama, ibuku sudah membawaku kemanapun ia pergi di dalam perutnya. Kami tidak pernah bercerita, tapi aku selalu melihat senyumnya di setiap foto tersimpul bahagia.

Di umur yang sama, aku membawa satu koper penuh dengan trauma. Kami tidak pernah bercerita tapi kurasa ibuku mengerti bahwa aku sedang melepaskan setiap beban ini satu - satu, seorang diri, seperti biasa.

Di umur yang sama, ibuku menghitung hari sampai terlahir kembali menjadi seorang mama. Ia mempersiapkan baju - baju kecil berwarna merah muda, peralatan memasak, dan juga sebuah rumah sederhana di pinggiran kota.

Di umur yang sama, aku menghitung hari sampai akhir mingguku kembali. Mereka - reka, tempat apa yang akan aku kunjungi sendiri kali ini, ilmu baru apa yang akan aku mulai pelajari. Aku kembali berusaha untuk kembali menekuni apapun yang aku mulai.

Di umur yang sama, ibuku mulai membagi ruang di hati dan pikirannya untuk keluarga kecil barunya. Bagaimana ia akan menghiasi setiap sisinya dengan penuh perhatian dan cinta. Memastikan bahwa tidak ada sudut - sudut tajam yang dapat melukai setiap manusia di dalamnya.

Di umur yang sama, aku mulai menciptakan ruang dimana diriku menjadi satu - satunya. Aku masih berusaha untuk membersihkan banyak sisa sampah yang berceceran dari manusia yang berlalu lalang. Menempatkan setiap pikiran pada tempatnya semula, yang seharusnya.

Di umur yang sama, ibuku bertumbuh memenuhi panggilan jiwanya. Pada bentuk yang berbeda, aku berharap jalan ini juga membuatku bertumbuh dari setiap luka. Kami tidak pernah membicarakannya, tapi aku tau, ia mengerti bahwa aku sedang berusaha sebaik - baiknya.

Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • biologi tentang kehidupan
  • replacement
  • us
  • susu jahe hangat

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2025 (4)
    • ▼  Juni (2)
      • hari jumat
      • nekattt
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates