Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Melewati wot batu, aku bertemu Sunaryo di depan pohon jambu. Ia bercerita tentang segala usaha menghidupkan ibunya yang mati kala itu. Aku menangis karena dalam ceritanya aku bertemu bagian diriku yang lama tidak turut serta kemanapun kaki ini menuju. Bagian diriku ini mengerti benar bahwa berbagai usaha untuk menghidupkan segala yang kami cinta serupa menanam pohon jambu dari biji timah. Akarnya tidak akan tumbuh, tidak akan ada buah yang terasa manis meskipun setiap dahannya kami lelehkan dengan kenangan dan rasa yang sama. Yang kami tau, hanya duka yang berbuah dari pohon jambu berwarna tembaga.

Dalam upaya yang terkesan sia - sia, tidak lain yang kami abadikan adalah perayaan akan hidup seseorang yang pada suatu ketika membantu kami mengeja kehidupan. Sempurna di dalamnya juga sebuah batu besar yang dieja kematian. Batu ini bisa jadi satu - satunya yang amat memberatkan namun secara sadar menolak untuk kami tinggalkan. Ia mengingatkan bahwa pada suatu ketika kami pernah berjalan amat ringan, bahwa kerikil yang ada di dalam tas kami saat itu ternyata tidak lebih dari sekedar dandelion yang dapat terbang ketika ditiupkan. 

Kalau saja kala itu kami lebih sadar dalam menyesapi kehidupan dan setiap detik kebersamaan. Kalau saja pohon jambu lain pada suatu waktu dapat berbuah beberapa bulan lebih cepat karena ia bukan tiruan. Kala ketika setiap kalau berhenti menjadi kemungkinan, sepertinya aku dan Sunaryo dapat sepakat bahwa pohon jambu tiruan cukup untuk merekam segala yang kami rasa berikut dengan kenangannya. Seperti pohon jambu yang menolak berbuah di luar musimnya, maka kami juga akan belajar menikmati setiap tangis pada waktunya.

Mari kita pikir belakangan dan menuliskanmu dengan benar. Dimulai dengan kita bertemu pada hari yang aneh ketika aku bersiap melepaskan segala sesuatunya. Jika sebenar - benarnya cinta memang ada, maka saat itu aku percaya bahwa milikku sudah sebenar - benarnya luluh lantak. Jika memang ada sedikit kepercayaanku kala itu tersisa, maka kupastikan ia tidak lagi ada karena dicuri oleh seorang laki - laki yang berdusta.

Menuliskanmu dengan benar, berarti aku jujur kepada segala yang kita jalani, bahwa ia diawali dengan aku yang sudah tidak mampu berharap apa - apa. Bahwa hubungan manusia hanyalah sekedar hitungan sederhana yang diisi dengan nilai kurang dan tambah. Jika tidak ada kata setara, maka cerita tidak akan ada kelanjutannya. Kata setara yang perlahan berganti rupa menjadi sesuatu yang dimaknai dengan amat sederhana, jauh dari segala teorema matematika.

Menuliskanmu dengan benar, berarti aku mencoba mengeja setiap kenangan dan banyak sekali harapan. Aku tau bahwa kemungkinan - kemungkinan ini juga tidak kalah banyaknya. Bisa jadi amat menenggelamkan kita dalam 'apa yang terjadi jika'. Lalu aku teringat, bahwa kesibukan menerka - nerka ini sudah membuat kita lupa menyesap segala rasa di antaranya. Hangatnya susu jahe di tengah angin malam Salatiga sebagai salah satunya.

Jika ada hal penting yang dapat aku simpan dari sekian banyak proses kehilangan, maka itu adalah bagaimana kita menikmati perjalanan sama khusyuknya dengan merayakan akhir di tujuan. Yang kutau saat ini adalah, dunia bisa saja berubah menjadi amat menguji entah di titik yang mana. Dunia ini bisa membuat bahkan hal - hal tersisa yang tadinya kita anggap kecil dan sederhana menjadi sesuatu yang amat didamba, hanya karena kita tidak lagi memilikinya. Aku tau perjalanan ini akan sulit, dan tidak ada yang tahu akan sepanjang apa, pun berakhir dimana. Tapi kini aku hanya ingin berusaha, agar sesulit apapun, jari - jari kita tidak lagi bersela karena bertaut dalam setiap langkah, bersama dengan dua jiwa yang melangitkan banyak doa.

Di umur yang sama, ibuku sudah membawaku kemanapun ia pergi di dalam perutnya. Kami tidak pernah bercerita, tapi aku selalu melihat senyumnya di setiap foto tersimpul bahagia.

Di umur yang sama, aku membawa satu koper penuh dengan trauma. Kami tidak pernah bercerita tapi kurasa ibuku mengerti bahwa aku sedang melepaskan setiap beban ini satu - satu, seorang diri, seperti biasa.

Di umur yang sama, ibuku menghitung hari sampai terlahir kembali menjadi seorang mama. Ia mempersiapkan baju - baju kecil berwarna merah muda, peralatan memasak, dan juga sebuah rumah sederhana di pinggiran kota.

Di umur yang sama, aku menghitung hari sampai akhir mingguku kembali. Mereka - reka, tempat apa yang akan aku kunjungi sendiri kali ini, ilmu baru apa yang akan aku mulai pelajari. Aku kembali berusaha untuk kembali menekuni apapun yang aku mulai.

Di umur yang sama, ibuku mulai membagi ruang di hati dan pikirannya untuk keluarga kecil barunya. Bagaimana ia akan menghiasi setiap sisinya dengan penuh perhatian dan cinta. Memastikan bahwa tidak ada sudut - sudut tajam yang dapat melukai setiap manusia di dalamnya.

Di umur yang sama, aku mulai menciptakan ruang dimana diriku menjadi satu - satunya. Aku masih berusaha untuk membersihkan banyak sisa sampah yang berceceran dari manusia yang berlalu lalang. Menempatkan setiap pikiran pada tempatnya semula, yang seharusnya.

Di umur yang sama, ibuku bertumbuh memenuhi panggilan jiwanya. Pada bentuk yang berbeda, aku berharap jalan ini juga membuatku bertumbuh dari setiap luka. Kami tidak pernah membicarakannya, tapi aku tau, ia mengerti bahwa aku sedang berusaha sebaik - baiknya.

Berulang kali aku memilah kata yang tepat untuk merayakan bulan kelahiran Bapak dan Eyang. Selamat tidak dirasa pas dalam hari yang terasa penuh kehilangan. Aku juga tidak dapat menyematkan kata semoga karena hari itu adalah pengingat bahwa banyak harap mati tiba - tiba. Mungkin aku hanya dapat bercerita bagaimana setelah dua tahun terlewati, kami masih tak henti merayakan duka. Bukan dengan tiupan lilin pada kue yang aku pesan sepulang kerja. Tidak juga dengan tumpeng nasi kuning dengan ruang tamu penuh anggota keluarga, di belakangnya Bapak, Eyang, dan Inara duduk bersama. Saat itu, kami melingkar di sekelilingnya dengan melangitkan banyak doa. Tidak pernah kami kira, pada bulan Januari, salah satu doa itu mati satu. Pada bulan Agustus, satu doa menyusul luruh.

Oleh karenanya, pada lebaran paling sepi, aku merayakannya dengan tangis tanpa henti. Pertama kalinya, sunyi terlalu memekakkan telingaku, semua pertahananku tercerabut satu - satu. Pertama kalinya, aku tidak lagi merasa harus lebih kuat di depan ibuku. Kupikir saat itu setengahku menyadari, bahwa aku menjadi satu - satunya yang belum berjalan maju meskipun berlari setiap hari. 

Soal mengejawantahkan suatu perayaan, maka di dalamnya akan ada manusia - manusia yang bersuka cita pada suatu kejadian. Terkesima pada setiap hal - hal yang terjadi pada rentang waktu tertentu karena setiapnya aneh dan tidak biasa. Persis seperti proses kehilangan, yang mana kupikir suatu hari akan mengecil lalu surut, tapi ternyata ia serupa luka parut, yang pada setiap guratannya tanpa kusadari mengubah diriku sedemikian rupa sehingga tidak ada ada jalan untuk kembali. Perubahan yang masih kulatih setiap hari agar tidak hanya menjadi duri, tapi sebaliknya membuatku menjadi manusia yang lebih mengerti dan berempati. Pada akhirnya aku terkesima bagaimana dunia ini ternyata menguji kita semua dengan caranya sendiri.

Aku memang masih sedih sesekali, tapi di atas segala sakit yang dialami akan kehilangan - kehilangan besar ini, perayaan puncakku ditandai dengan rasa syukur tersemat disetiap sisi. Rasa syukur bahwa dari milyaran makhluknya, Ia menghadirkanku di tengah manusia - manusia yang penuh kasih sayang dan menerimaku apa adanya. Aku akhirnya menyadari, tidak akan ada rasa sedih yang luar biasa jika Bapak dan Eyang yang kumiliki tidak istimewa dan penuh cinta. Hadiah yang kupikir sederhana tapi tanpa pernah kuminta ternyata begitu luar biasa dan tidak terjadi pada setiap manusia. Kupikir kini akhirnya perayaanku sempurna.
Mulanya bisa jadi dari roncean melati di kepala adikku. Atau mungkin dari tangkapan foto bernuansa jaman dulu. Atau bisa jadi dari senyumnya yang merekah dalam foto, memakai paes dan sanggul di kepala, dengan bahagia yang serupa cempaka, menjalar dan merekah di matanya. Macam bahagia paling purna karena akhirnya hidup ini tidak lagi penuh dengan tanya soal siapa. 

Siapa yang akan kulihat pertama kali setiap paginya?
Siapa yang hatinya begitu ringan menerima setiap kurangku seperti ia mencintai setiap kelebihannya?
Siapa yang punggungnya cukup tinggi sehingga setiap puncak rintangan di atas muka bumi terasa tidak ada apa - apanya?
Siapa yang akan tetap ingat untuk selalu mencintaiku ketika berada di atas angkasa atau jauh di memori masa senja yang penuh dengan lupa?
Siapa yang bersedia berkata iya untuk setiap hari - hari buruk penuh dengan air mata jauh dari tawa?
Siapa yang tetap tinggal ketika nyamannya singgah dan berpindah jadi menggoda?

Setiap tanya yang bagi adikku kini sudah berbentuk satu nama tepat ketika ijab ditukar dengan mahar.
Setiap tanya yang bagiku namanya masih belum sempurna mengeja.
Setiap tanya yang akhirnya membagi diriku menjadi dua. 

Satu bagian yang kelelahan karena sudah banyak kecewa. Bahwa bersama kehadiran akan selalu menyusul kehilangan. Bahwa tidak ada yang abadi dalam setiap apa yang kita genggam.

Satu bagian lainnya adalah hal baru. Bagian yang juga kelelahan, namun bukan karena ketakutan, melainkan karena terus berlari dan berjaga - jaga. Bukankah tak apa jika kita mulai lagi dari pertama. Tidakkah rasanya akan menyenangkan kembali percaya seutuhnya. Memiliki tempat bersandar ketika jalan ini tidak semudah biasanya. Dengan tangan yang saling mengait dengan setiap sela terisi. Bagian yang membuatku berpikir, tidak peduli setinggi apa tembok ini, bukankah pada akhirnya bagian yang mendamba akan selalu ada dalam dirimu sendiri. 

Bagian yang juga mengingatkanku, bahwa jika ada yang bisa kupetik dari kehilangan terbesarku, itu adalah bagaimana aku tidak menyesal memberikan rasa setulus yang aku bisa, meski kemudian rasa kehilangan seolah menenggelamkanku seutuhnya. Bahwa akhirnya, aku sepakat untuk memaknai kehilangan sebagai salah satu dari banyak fase mencintai ciptaanNya. Kehilangan yang pada akhirnya membuatku amat bersyukur karena dari sekian banyak hal yang kurasa ketidakberuntungan, Ia mempertemukanku pada beberapa manusia yang juga menyayangiku sama besarnya. Hal yang untuk manusia lainnya adalah suatu hak istimewa.
It was my first encounter with the other side of my dear friend, who was suicidal. I felt depression my self, just before we met, and (was likely) healed. Not as bad that made me want to kill my self. But, he was. And on that day, he told me the story how it was only second before he took the rope, tied it on his neck, and hang him self on the ceilings. He was not loud, but deafening enough to make me quiet, listen, and think of what I should say to make him feeling safe. Safe enough to tell the story, safe enough to not leave this life. If there is anything I could help him with, I would definitely take that way without any further second. 

Instead, I asked, what did make him stop, even with rope already in his hands? 
"There was this inner voice that saying 'are you really want to lose over this game?'". Thus, some part in him awaken, part that wants to fight the same chaos once again.

I was taken aback by that statement, almost 3 years after that. (Again) under depression. Much worst than my younger self ever had, beyond what I could understand. And suddenly I think of every lost souls in suicidal spiral of thoughts. I asked to my self, where is God when all the broken souls decided to end this life?.

And this reliving moment when something answered "God was there, saying to him 'are you really want to lose over this game?".

Akhir - akhir ini ia seringkali menabung pengulangan kata - kata yang sama.

"Kalau saja kita bertemu lebih dulu."

Lebih dulu sebelum bencana besar dalam hidup seorang gadis yang amat mencintai ayahnya. 

Lebih dulu sebelum bagian dirinya mati ditikam percaya.

Lebih dulu sebelum gagasannya soal belahan jiwa diruntuhkan seseorang yang dulu adalah sahabat jiwanya.

Lebih dulu sebelum banyak sekali kejadian yang membuatnya berpikir bahwa hidupnya tidak semestinya bahagia.

Bahwa jalan ini akan sepenuhnya nelangsa.

Bahwa karenanya ia memutuskan untuk merangkul kesedihan seperti teman dekatnya yang ternyata menyembunyikan belati di belakang punggungnya.

Lebih dulu sebelum ia kehilangan kemampuan mencinta, karena seluruh tenaga ia habiskan untuk berlari dan berjaga - jaga. 

Jikalau setiap bahagia yang semu akhirnya selesai juga.


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2025 (4)
    • ▼  Juni (2)
      • hari jumat
      • nekattt
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates