Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Mulanya bisa jadi dari roncean melati di kepala adikku. Atau mungkin dari tangkapan foto bernuansa jaman dulu. Atau bisa jadi dari senyumnya yang merekah dalam foto, memakai paes dan sanggul di kepala, dengan bahagia yang serupa cempaka, menjalar dan merekah di matanya. Macam bahagia paling purna karena akhirnya hidup ini tidak lagi penuh dengan tanya soal siapa. 

Siapa yang akan kulihat pertama kali setiap paginya?
Siapa yang hatinya begitu ringan menerima setiap kurangku seperti ia mencintai setiap kelebihannya?
Siapa yang punggungnya cukup tinggi sehingga setiap puncak rintangan di atas muka bumi terasa tidak ada apa - apanya?
Siapa yang akan tetap ingat untuk selalu mencintaiku ketika berada di atas angkasa atau jauh di memori masa senja yang penuh dengan lupa?
Siapa yang bersedia berkata iya untuk setiap hari - hari buruk penuh dengan air mata jauh dari tawa?
Siapa yang tetap tinggal ketika nyamannya singgah dan berpindah jadi menggoda?

Setiap tanya yang bagi adikku kini sudah berbentuk satu nama tepat ketika ijab ditukar dengan mahar.
Setiap tanya yang bagiku namanya masih belum sempurna mengeja.
Setiap tanya yang akhirnya membagi diriku menjadi dua. 

Satu bagian yang kelelahan karena sudah banyak kecewa. Bahwa bersama kehadiran akan selalu menyusul kehilangan. Bahwa tidak ada yang abadi dalam setiap apa yang kita genggam.

Satu bagian lainnya adalah hal baru. Bagian yang juga kelelahan, namun bukan karena ketakutan, melainkan karena terus berlari dan berjaga - jaga. Bukankah tak apa jika kita mulai lagi dari pertama. Tidakkah rasanya akan menyenangkan kembali percaya seutuhnya. Memiliki tempat bersandar ketika jalan ini tidak semudah biasanya. Dengan tangan yang saling mengait dengan setiap sela terisi. Bagian yang membuatku berpikir, tidak peduli setinggi apa tembok ini, bukankah pada akhirnya bagian yang mendamba akan selalu ada dalam dirimu sendiri. 

Bagian yang juga mengingatkanku, bahwa jika ada yang bisa kupetik dari kehilangan terbesarku, itu adalah bagaimana aku tidak menyesal memberikan rasa setulus yang aku bisa, meski kemudian rasa kehilangan seolah menenggelamkanku seutuhnya. Bahwa akhirnya, aku sepakat untuk memaknai kehilangan sebagai salah satu dari banyak fase mencintai ciptaanNya. Kehilangan yang pada akhirnya membuatku amat bersyukur karena dari sekian banyak hal yang kurasa ketidakberuntungan, Ia mempertemukanku pada beberapa manusia yang juga menyayangiku sama besarnya. Hal yang untuk manusia lainnya adalah suatu hak istimewa.
It was my first encounter with the other side of my dear friend, who was suicidal. I felt depression my self, just before we met, and (was likely) healed. Not as bad that made me want to kill my self. But, he was. And on that day, he told me the story how it was only second before he took the rope, tied it on his neck, and hang him self on the ceilings. He was not loud, but deafening enough to make me quiet, listen, and think of what I should say to make him feeling safe. Safe enough to tell the story, safe enough to not leave this life. If there is anything I could help him with, I would definitely take that way without any further second. 

Instead, I asked, what did make him stop, even with rope already in his hands? 
"There was this inner voice that saying 'are you really want to lose over this game?'". Thus, some part in him awaken, part that wants to fight the same chaos once again.

I was taken aback by that statement, almost 3 years after that. (Again) under depression. Much worst than my younger self ever had, beyond what I could understand. And suddenly I think of every lost souls in suicidal spiral of thoughts. I asked to my self, where is God when all the broken souls decided to end this life?.

And this reliving moment when something answered "God was there, saying to him 'are you really want to lose over this game?".

Akhir - akhir ini ia seringkali menabung pengulangan kata - kata yang sama.

"Kalau saja kita bertemu lebih dulu."

Lebih dulu sebelum bencana besar dalam hidup seorang gadis yang amat mencintai ayahnya. 

Lebih dulu sebelum bagian dirinya mati ditikam percaya.

Lebih dulu sebelum gagasannya soal belahan jiwa diruntuhkan seseorang yang dulu adalah sahabat jiwanya.

Lebih dulu sebelum banyak sekali kejadian yang membuatnya berpikir bahwa hidupnya tidak semestinya bahagia.

Bahwa jalan ini akan sepenuhnya nelangsa.

Bahwa karenanya ia memutuskan untuk merangkul kesedihan seperti teman dekatnya yang ternyata menyembunyikan belati di belakang punggungnya.

Lebih dulu sebelum ia kehilangan kemampuan mencinta, karena seluruh tenaga ia habiskan untuk berlari dan berjaga - jaga. 

Jikalau setiap bahagia yang semu akhirnya selesai juga.


I'm counting days before I no longer able to acknowledge my self as 25. Quarter life crisis came too early, and hit like truck lately. But if that was a tunnel, then, I guess this is the light that i started to see. I lost many things, just like many other people. But I gain a lot too, and this is one of them. 

Being the only child alive in my core family, I've been spending most of my life feeling afraid of being alone. That's why my biggest fear was losing them. I lost dad earlier this year, and praying harder to have more time with mom. 

But, that got me thinking, eventually, it is inevitable to lose every one you love. Every relationship will end either way. Whether you are prepared or not. And the only thing you can keep is yourself. Because it is always up to you. Whether to keep her along or leave her behind. Whether to built her up or beat her down. Which also by knowing this, I understand that I'm not as helpless as I thought. For the first time, surprisingly, I have a little bravery to grow up alone. A little sparks indeed and yet more than enough. 

Though, to take it from different perspective, I have to admit that eventhough I no longer that afraid to live alone, I still have that lingering fears of losing every one I love. Maybe, it is something that I will never get over, or I don't know. It is still a long journey ahead to get the answer of the question, I hope.

I have less than 5 years before hitting thirty. I dont know where I would be, what I would do, or who I would love. But I hope I slay that age. To be honest, for a former hopeless romantic, imagining have a life with only my self is a bit lonely sometimes, but it somehow feels liberating. To be not bound with everyone else and to every uncertainty it follows. Being with my longest commitment, which is my self, is enough for now. 

I still have picture that my 17 y.o. self holds dearly. Married, having family and kids of my own. Living in our house which far from big because we like to keep everyone packed inside feeling warm with love, laugh, and stories before bed. Wide yards and cozy fench for a coffee in the morning, in the neighborhood where we actually know everyone. That picture still beautiful for me in every way. But I'd loved hard before, got disappointed, while miscalculating everything. I was a victim and a villain in other stories. Because heart changes, and the only certain thing is the existence of ourselves in our life. So when it comes to conclusion, other people may have that kind of life, and I will always happy for them. However, if my stories come differently, I'm no longer afraid, as it is still a life that I will cheer as long as I breath :).

Pada salah satu hari di bulan Oktober, Bapak menangis dihadapan layar TV yang menyiarkan pernikahan anak perempuan presiden. Hanya ada aku dan Bapak di ruang perawatan. Tanpa Mama karena siang itu adalah giliranku berjaga. Aku hanya menggodanya. Meski hatiku terasa patah, sempurna kuhindari keberadaannya. Aku belum siap berhadapan dengan fakta, bahwa tangisan Bapak bukan berasal dari haru karena melihat orang lain bahagia. Saat itu aku mengerti, bahwa tatapannya di layar tivi tidak melihat presiden kami sebagai seorang yang berkuasa atas pemerintahan negeri ini. Di tengah perhelatan yang sedang disiarkan, Bapak hanyalah melihat seorang bapak lain yang pada hari itu, kebahagiaannya purna karena satu - satunya anak perempuan keluarga, telah bertemu setengah bagian jiwanya. Laki - laki yang karena begitu besar rasa cinta, bersedia ganti menanggung gadis kecilnya di akhirat dan dunia. Seorang bapak di layar tivi itu tau, bahwa meskipun tidak akan ada laki - laki di luar sana yang memiliki cinta kepada anak perempuan itu sama besarnya, tapi setidaknya kini, ada seorang laki - laki lain yang mau menghabiskan seumur hidupnya berusaha memberi cinta yang sama. 

Pada salah satu hari di bulan kelahiran Bapak, aku menangis di depan tumpukan pakaiannya yang masih berada di pojok kamar, dengan hati yang coba dirangkai kembali, hanya untuk gagal berkali - kali pada hari - hari payah seperti ini. Aku kembali pada tiga tahun lalu ketika aku menggodanya, seraya mengiyakan perasaanku sendiri ketika hari itu Bapak menangis di ruang kamar sederhana. Meski tanpa kata, perasaanku mengerti, bagaimana Bapak seakan tau bahwa meskipun amat menginginkannya, ia tidak akan pernah sampai pada masa yang sama. Dimana ia dapat melihat anak perempuannya bersama laki - laki yang karena begitu besar rasa cinta, bersedia menanggung gadis kecilnya di akhirat dan dunia. Laki - laki yang tidak pernah ragu - ragu dalam setiap usaha membuat yang paling ia cinta bahagia. Laki - laki yang padanya, Bapak mantap digantikan dengan penuh kerelaan. 

Pada salah satu hari, di antara percobaan ribuan kali untuk dapat merasa lagi, aku tau, bahwa penyesalanku yang tertinggal di tiga tahun lalu hanya satu. Mengatakan yang sudah aku mengerti, bagaimana ia dengan segala ketidak sempurnaannya di antara ribuan laki - laki, selamanya tidak akan pernah terganti. Aku sering berpikir, bagaimana tugas Bapak di dunia sudah purna. Tapi, pada suatu ruang dengan banyak tanda tanya aku menemukan diriku bertanya apakah Bapak masih dapat berkata

"Dia orang yang baik Ta, Bapak merestuimu dengannya".

Seminggu sebelum eyang kakung sedha, Bapak berujar ingin membawa satu kipas angin baru ketika pulang kampung nanti, agar eyang nyaman berada seharian di atas satu - satunya kasur di ruang tamu rumahnya. Setahun itu, eyang sudah tidak dapat pergi kemanapun karena serangan stroke di pertengahan tahun sebelumnya. Ketika berita duka sampai pada dini hari menjelang subuh, yang terlihat samar - samar di bawah remangnya lampu ruang tamu, adalah bapak terduduk di sofa. Pundaknya lesu, matanya terpaku pada ubin di bawah kakinya. Pikiran dan hatinya entah dimana. Kemungkinan besar melanglang buana menembus berkilo - kilo jarak antara Tangerang dan Malang yang saat itu terasa begitu jauhnya. Mama dengan terburu - buru berlalu lalang antara kamar dan seisi rumah, mengisi tas dengan baju - baju bapak, perlengkapan mandi, obat - obat darah tinggi, juga sejumlah uang tunai yang tidak seberapa. Aku tidak ingat siapa yang menelfon agen perjalanan, tapi yang pasti, sebelum adzan subuh hari itu, bapak sudah mendapatkan satu tiket pesawat menuju Bandara Abdul Rahman Saleh, semua sudah siap untuk satu perjalanan yang tidak direncanakan. 

Aku yang kebingungan akan guna keberadaanku, duduk mengambil tempat di samping bapak. Tanganku merangkul pundaknya, sedangkan pikiran dan hatiku mencoba meraba sesuatu. Bagaimana kesedihan bapak saat itu?. Aku mencoba memahami, karena kupikir dengan mengerti, maka aku akan tepat tau apa yang harus kulakukan untuk membantunya melewati kondisi ini, daripada sekedar membuat gerakan tangan berulang di pundaknya yang terasa kaku, hambar, penuh kebingungan, alih - alih menenangkan. Akhirnya, aku mencoba membuat skala kesedihan yang mungkin terjadi dalam hati laki - laki tinggi di sampingku. Sudah pasti kesedihan karena kegagalan akan rencana membeli kipas baru, berada di batas paling bawah. Aku tidak begitu yakin apa yang dapat mengisi titik tengah, tapi mungkinkah batas paling atas adalah kesedihan paling purna yang membuatmu ingin menyusul kematian?.

Saat itu, aku yang sok tau, berusaha menggambarkan kesedihan ditinggalkan oleh seseorang yang seumur hidup menjadi pahlawanmu. Sedih sudah pasti, tapi sampai sejauh apa rasanya adalah ruang penuh tanda tanya. Yang baru terjawab kurang lebih lima belas tahun setelahnya. Ternyata, rasanya tidak akan pernah dapat sempurna diabadikan dengan jutaan koleksi kosakata. Kesedihan yang rasanya seperti jutaan sel dalam hatimu tercerabut sekali dengan begitu brutalnya. Kemudian rasa nyeri akan tinggal, dan muncul lagi berkali - kali karena berbagai macam hal sederhana. Mungkin kipas angin bagi bapak juga perjalanan yang tiba - tiba. 

Bertahun - tahun setelah eyang sedha, aku jadi mengerti tentang nyeri yang tetap tinggal setelah anaknya tiada. Karena kini, sel - sel hatiku sudah tercerabut berkali - kali pada berbagai macam hal - hal sederhana. Pada semburat garis wajah yang serupa pada saudara - saudara kandung bapak. Segelas susu sapi murni yang kini aku nikmati sendiri. Juga ingatan tentang suara tawa bapak yang khas, yang kini didekap pikiranku dengan erat dan hati - hati. Banyak hal yang kini ingin membuatku kembali pada ruang tamu rumah lama kami, dibawah lampu remang - remang, untuk memberi tahu gadis kecil yang kebingungan. Bahwa sebaiknya, ia berhenti melakukan usaha yang sia - sia untuk meraba kesedihan bapaknya. Ia hanya cukup ada di samping laki - laki pahlawannya, seterusnya, selama yang ia bisa. Karena sebenarnya, tanpa ia tau, sebanyak apapun tahun yang terbentang di depannya, tidak akan pernah cukup lama untuk membalas setiap cinta.

Ya Rabbana, Laa Hawlaa wa La Quwwataa Illa Billah.

Teruntuk mimpi, aku katakan padamu setiap hari.

Tetaplah hidup, meski redup.

Jangan mati, setidaknya bukan hari ini.

Jika Ia menjadikan ini untuk kita, maka setiap jalan akan dimudahkan.

Jika Ia menjadikan ini untuk kita, ditengah kesulitan, Ia akan memberikan jalan terhadap kesulitan.

Tepat seperti banyak sekali kejadian.

Jika ternyata akhirnya Ia tidak menjadikan ini untuk kita, maka hatiku akan dilapangkan.

Dan ingatlah bahwa tidak ada usaha baik yang berujung kesia - siaan. 

Bahwa setiap keberhasilan dan kegagalan, semuanya hanyalah satu langkah perjalanan dalam kehidupan.

Yang kemudian mengingatkan kita, bahwa setiap yang hidup dan mati bergantung padaNya.

Bahwa akan selalu ada yang lebih besar dari setiap rencana.

Bahwa kita hanyalah makhluk yang amat kecilnya, sehingga esensi hidup fana ini hanya seputar doa, berusaha, dan berdoa.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2025 (4)
    • ▼  Juni (2)
      • hari jumat
      • nekattt
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates