Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Aku berhenti menulis karena tidak lagi ingin mengabadikan cerita - cerita spesifik yang ujungnya hanya membuatku semakin membenci. Sampai ketika orang lain bertanya kenapa, maka jawabannya adalah "Entahlah, aku hanya tidak dapat menulis lagi". Aku lupa bahwa dahulu, pilihan itu ada di tanganku sendiri. Aku juga tidak merasa tulisanku dinantikan sebagian orang. Apalah aku yang frasanya masih banyak cela. Tapi yang mereka tidak tau adalah alasan sebenarnya. 

Jadi sepertinya, aku akan mencoba menjelaskannya lagi. 

Aku berhenti menulis karena tidak lagi ingin mengabadikan orang - orang spesifik yang mengenal mereka hanya berujung pada aku yang kehilangan diri sendiri. Merangkai frasa untuk setiap yang melukai memberi kesan bahwa mereka telah memenangkan perkelahian ini satu kali lagi. Seolah aku masih jadi sang pemuja. Masih amat mencinta. Kebencian yang purna, membuat satu hal yang paling penting luput dari pengamatan. Bahwa menulis disini dan mencatat bagian - bagian krusial dari patah hati, adalah selalu soal diriku sendiri. Menemukan kembali serpihan seorang aku diantara setiap spasi.

Aku sempat melihat setiap tulisan sebelum ini dengan amat penuh benci. Serupa melihat fragmen - fragmen berkelebat dari seseorang yang tidak menghargai bahwa aku ada. Membawaku kepada penyesalan, kenapa hidup bisa jadi begitu naifnya. Seolah menjadi naif dan penuh rasa adalah hal yang paling salah sejagat raya. Lupa bahwa banyak berkah juga pernah berasal dari sana. Tanpanya aku kehilangan empati. Tanpanya aku kehilangan harapan dari setiap mimpi. Tanpanya aku hanyalah manusia yang dadanya tidak pernah lapang untuk memaafkan kesalahan pun menerima kegagalan.

Berhenti menulis membuat hatiku mati, dan atasnya tidak ada definisi yang lebih menggambarkan kehilangan diri sendiri. Terkadang kita memang butuh waktu lama untuk menyadari, bahwa pilihan - pilihan yang dirasa benar hanyalah suatu kontradiksi. Seolah hidup membawa kita pada trek lari dengan jalur memutar, yang selalu berujung kepada hal yang kita hindari. Mungkin jalan terbaik memang selalu dengan menghadapi.

Sejujurnya, aku pernah membayangkan rasanya menyayat pergelangan tanganku sendiri. Memberikan warna yang berasal dari jalur - jalur nadi. Memberikan lega kepada setiap beban di hati. Aku pernah seputus asa itu kepada diri, dan membencinya setengah mati. Tidak lagi mencintai diri sendiri adalah bukan kata yang tepat saat itu, karena yang kutau adalah aku hanya tidak dapat melakukannya lagi. 

Singkat cerita, aku akhirnya melewati fase itu hidup - hidup dan tanpa bekas luka. Hanya cerita akan malam - malam yang penuh dengan monolog yang kubawa sebagai kenang - kenangan serupa piala. Aku menang, kukira. Aku lebih kuat sekarang, kukira. Aku saat itu tidak sepenuhnya salah, meskipun ternyata tidak juga begitu benar. Aku memang lebih kuat untuk setiap yang kuhadapi kala itu, tapi tidak untuk setiap apa yang menunggu di depan sana.

Aku sadar ketika kehidupan membawaku pada ruang tamu rumahku. Terrmangu meski sudah pukul tujuh. Seharusnya aku sudah dalam perjalanan kembali berpacu. Tetapi ini hari yang tidak biasa, karena rasanya sudah tidak lagi punya energi. Aku yang posesif, tiba - tiba siap melepaskan setiap apapun dalam genggaman jemari. Meskipun kecil, meskipun tidak begitu berarti untuk dunia ini. Rasanya aku hanya tidak dapat berjalan lagi. Aku tersesat dalam belantara pikiranku sendiri, dan tidak kembali. Aku pecah menjadi serpihan tajam yang tidak akan pilih - pilih dalam melukai setiap jemari yang ingin menyatukannya lagi. Aku rusak dan tidak dapat dibenahi. 

Sampai suatu ketika, akhirnya aku memutuskan untuk mengguyur kepalaku pada pukul dua dini hari. Membuatku menyadari sesuatu. Manusia adalah spesies yang cukup purba. Ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan tahun kita telah berevolusi sampai menjadi frasa hampir sempurna. Terlepas dari definisi evolusi yang kita percayai, apapun itu, aku percaya bahwa manusia dan peradabannya sudah melewati banyak hal diatas dunia. Menjadi partikel kecil dari megahnya galaksi. Bisa jadi gunung meletus, tsunami, temperatur ekstrim sampai masalah - masalah modern dan krisis ekonomi. Begitu kompleksnya tapi sebagian besar populasi manusia selalu bertahan pada akhirnya. Berkembang biak lagi, menciptakan krisis baru yang selalu sama memusingkannya. Kita kembali berdiri, kembali pulih dari setiap luka yang beragam bentuknya.

Keilmuan mengingatkanku bahwa aku yang ternyata masih manusia juga sebenarnya punya potensi yang sama. Kembali utuh meski retak. Kembali berdiri meski belum begitu tegak. Aku kembali berkata kepada Tuhanku, kata - kata yang dulu hadir ketika aku hampir menyayat nadiku sendiri. Aku akan tetap disini, sampai Allah berkuasa sebaliknya. 

Meskipun setelah pulih dari banyak beban yang akhirnya berlalu, dan ternyata aku mengacau lagi dan menciptakan jutaan masalah baru, aku akan tetap disini. Agar jika sampai pada waktunya, aku dapat mengutip Taylor Swift "She had marvelous time ruining everything" hehe.

Kenapa kita tidak bisa mendengar suara hati para mati?. Tidak pernah aku bertanya, sampai suatu ketika bapak menjadi salah satu diantaranya. Jika bisa, mungkin jadinya akan lebih mudah daripada setiap perenungan setelah banyak sekali mimpi yang berdatangan. Lebih mudah daripada menerka kesimpulan dari mimpi - mimpi yang meresahkan, dan selalu satu tahap merusak kewarasan setiap malam. Apakah malam ini suatu pertanda, atau hanya pikiranku yang sedang tidak baik - baik saja. Tapi karena manusia adalah sumber dari segala ketidaktahuan, mungkin juga jika bisa, perjalanan penerimaan ini akan tetap menjadi yang paling tidak mudah. Toh, aku pernah mereka - reka akan seperti apa kesedihannya, mempersiapkan setiap rencana untuk beragam kemungkinan. Bodohnya aku yang kemudian baru menyadari bahwa soal melepaskan yang amat kita cinta, akan selalu lebih besar daripada kelapangan dada.

Tapi mungkin begitulah inti dari setiap ujian yang sering kali lewat dari pencatatan. Agar tercipta lebih banyak ruang di hati kita, untuk menerima setiap rasa di dunia yang begitu luasnya. Agar kita akan selalu sedikit lebih besar daripada setiap masalah di depan sana.

Pak, dita tidak akan lagi menerka - nerka setiap mimpi, atau ingin mendengar suara hati para mati. Dita hanya akan tetap percaya bahwa bapak yang amat menyayangi anak gadisnya, tidak akan pernah habis menghibur agar setiap tangis berhenti. Setelah ini, dita akan jadi sedikit lebih besar untuk setiap masalah yang harus dihadapi tanpa cinta seorang laki - laki yang entah dimana lagi dapat dita temui. Sedikit lebih besar yang ternyata selalu cukup untuk membuat kita berjalan lagi. Sedikit lebih besar yang ternyata adalah rahasia dari kata - kata bapak dahulu, bahwa akan ada jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi.

 
Day 4: Places you want to visit on 30 days writing challenge

   Lucunya, kalau kamu bertanya tempat mana yang akan aku tuju, maka awalnya kamu akan diajak memutar, melingkar, berkeliling dari hangatnya Purwokerto, bisingnya Tangerang, sampai damainya Salatiga. Ketiganya punya masing - masing cerita yang tidak akan habis aku ceritakan meski sudah tanpa jeda. 

   Tapi, aku sudah memutuskan untuk mengisi beberapa paragraf selanjutnya dengan warna - warni Jogja. Bukan Jogja tempat dia menemukan jam hijau tosca yang akan begitu cantik di pergelangan tanganku, dan meninggalkannya. Bukan juga Jogja yang suasananya mesra dalam lirik KLA. Tapi Jogja pada suatu ketika aku dan dua temanku yang amat baiknya, merayakan perpisahan dengan begitu ceria.

   Setelah banyak sekali rencana yang mengada-ada, akhirnya pada suatu siang yang terik, kami menunggu bis Semarang - Jogja dengan bekal seadanya. Tanpa hotel mewah dengan biaya sewa, maupun makan malam di restoran paling apik seantero kota. 

   Bahkan setelah banyak sekali mereka - reka, akhirnya kami berembuk dalam kamar mungil sembari memilah sisi Jogja mana yang ingin kami temukan kali ini. Jogja memberikan kami pilihan yang tidak habis dihitung dengan sepuluh jari. Ketiga gadis bingung, kemudian hanya bergerak dari satu impulsivitas belanja mendadak di pasar pagi, sampai riuhnya Taman Sari. Menghabiskan sore dalam temaram salah satu kafe dengan secangkir kopi.

  Aku sadar, pesona Jogja bisa jadi diceritakan lebih apik oleh ribuan orang lainnya. Namun, jika kamu mau, aku ingin mengajakmu duduk dan mendengarkan pendapatku. Bagaimana arsitektur di Taman Sari membingkai riuh setiap manusia di dalamnya. Mencuri perhatianku dan menyanderanya pada setiap lekuk bangunnya. Pada semaraknya pedagang sunmori UGM dan ratusan muda - mudi. Pada lampu - lampu di sepanjang jalan kota yang menyimpan entah berapa banyak kisah sedih soal cinta. Pada perasaan nyaman dan bahagia ketika menikmati secangkir kopi bersama. Karena akhirnya aku menyadari, dalam dunia baru yang membuatku hampir gila, ternyata aku sudah menemukan dua manusia yang dapat membuat hari - hari yang lesu jadi penuh tawa. Dunia baru yang tadinya sempat membuatku ingin berhenti dan menyerah terhadap apa saja.

  Sehingga, soal Jogja dan berbagai macam rasa di dalamnya. Aku ingin bebas merdeka dalam memilih kenangannya. Aku tidak tau bagaimana Jogja mengambil definisinya di depan sana. Bisa jadi lebih menyenangkan, bisa jadi penuh dengan kerapuhan atau banyak sekali kehancuran. Meskipun setiap yang ada di Jogja akan mengkristal seiring dengan waktu, aku ingin tetap mengingat Jogja dari lembar cerita dengan hati yang ringan dan bahagia. Bersama kedua temanku yang kini entah bagaimana kabarnya. Yang jika mereka membaca, aku hanya ingin berkata bagaimana mereka telah jadi salah satu tanda semesta tentang Syafi'i dan syairnya:
"Merantaulah, kau akan dapat pengganti dari kerabat dan kawan yang kau tinggalkan. Berlelah - lelahlah, manisnya hidup terasa setelah berjuang".

 


Day 3: Memories of 30 days writing challenge
   Kenangan dan banyak sekali cara mengeksploitasinya. Salah satunya adalah demi kewarasan dalam menghadapi setiap yang menyesakkan, termasuk hari ini. 

   Akhir - akhir ini aku sering kembali pada laboratorium pukul 8 malam hari. Kala itu ada aku dan beberapa kawan yang saling bahu membahu membuat kehidupan mahasiswa semester akhir menjadi lebih ringan untuk dijalani. Kami fokus terhadap urusan masing - masing, dengan menyisipkan kasak - kusuk soal perpolitikan kampus diantaranya sesekali. 

   Yang aku ingat betul adalah, pada setiap basa basi, ada setumpuk rasa khawatir yang tidak lelah aku redam. Setelah kurang lebih enam bulan dalam entah banyak sekali kegagalan, aku memang semakin handal mengatur perasaan yang sering kali bisa jadi kurang ajar, serta menguasai. Namun, malam itu berbeda. Sejak pertama kali membuka mata pagi ini, aku tau, hari ini adalah usaha penutup dari apa yang sudah aku jalani tanpa henti. Jika malam ini aku gagal lagi, aku sudah berjanji tidak akan mengutuknya dengan banyak sekali sumpah serapah seperti biasanya. 

   Aku dengan keluasan hati yang diada adakan, akan memeluknya sepenuh jiwa. Kemudian, berterima kasih kepada diriku sendiri karena sudah bertahan sejauh ini. Nampaknya aku sudah tidak lagi ingin hidup dipenuhi kemarahan yang membutakan. Dalam 22 tahun hidupku, tidak pernah aku mengalami kejadian yang sebegininya menguras kewarasan. Serupa lorong tanpa ujung, yang tidak kunjung aku temukan pintu keluarnya, tanpa peduli sejauh apa aku sudah berlari. Malam itu, aku hanya ingin sepenuhnya kembali, dan kepasrahan adalah pilihan terakhir setelah berbagai macam cara. Oleh karena itu, pada setiap usaha yang sudah purna, aku mencukupkan diriku akan setiap hasilnya. 

   Setelah timer berdering di salah satu ruangan,  aku memantapkan langkah untuk mengambil hasil dari percobaan untuk entah yang kesekian kali. Dan untuk pertama kalinya dalam 6 bulan percobaan tanpa henti, akhirnya aku melihat segaris pita DNA berpendar. Eksperimenku yang terakhir kali, tidak lagi berujung kegagalan. Tidak aku sangka, keberhasilan justru muncul di saat - saat penuh pengikhlasan. Ketika itu, aku hanya ingin solat isya. Selebrasi sederhana dengan sujud yang lebih lama dari biasanya, dipenuhi oleh kata syukur yang melimpah ruah. Berterima kasih kepada pemilik semesta.

   Tidak hentinya aku melengkung senyum. Perjalanan beberapa bulan ini begitu panjang di belakangku. Yang diantaranya, banyak sekali keputusasaan dan keinginan untuk berhenti,  lengkap dengan berbagai macam definisinya, dari seseorang yang pernah begitu optimis terhadap masa depannya sendiri.

   Aku segera memberi kabar kepada dosenku yang amat baik hati. Ia tidak kalah terkejutnya. Setiap pesannya dipenuhi "Allahu akbar" dan banyak sekali "Alhamdulillah". Ia kemudian menelfonku, dan pada panggilan yang penuh dengan kebahagiaan, ia berkata, "Selalu ingat ini, kemanapun hidup membawamu. Bahwa ditengah banyak sekali ketidakmungkinan, kamu hanya harus tetap sabar berusaha dan berdoa, suatu hari nyatanya akan sampai juga." Kata - katanya yang kemudian sampai kini terprogram dalam kepalaku begitu rapi. Sehingga pada setiap waktu - waktu putus asa, ketika sudah tidak lagi ingin bersabar, atau mulai mengutuk bagaimana semesta bekerja, aku tau, kepada kenangan yang mana aku harus kembali. Laboratorium pukul 8 malam hari.







    Sudah seharian ini aku memaksa isi kepalaku memikirkan tema hari kedua:

"Apa yang membuatku bahagia?"

   Sampai sore tidak kunjung ada jawabannya. Padahal, di hari - hari sedih lainnya, bahagia sering kali mengambil definisi paling sederhana. Nampaknya, gadis ini mulai kehabisan keberuntungannya. Tapi tenang saja, aku masih belum ingin menyerah. Tekadku bulat untuk menuntaskan setiap tema sampai 28 hari kedepan. Sehingga, aku berpikir lebih keras.

Lalu, Eureka! 

    Ingatanku berjalan mundur pada suatu siang yang terik dan tiba - tiba. Idolaku menjulang dan melambaikan tangan dengan senyum yang ringan. Kala itu, kelelahanku menyeberang ke gedung tetangga, melawan matahari siang bolong, terasa tidak apa - apanya. Bahagia bisa jadi amat sederhana dan tidak disengaja. 

  Lalu sisi diriku yang skeptis muncul dan menegasikannya tepat di muka. Premis bahagiaku dianggapnya terlalu dangkal karena masih saja menyimpan bahagia di saku celana orang (laki - laki) lainnya. Aku kembali diam dan tersudutkan. Pertanyaan yang cukup familiar kembali bermunculan.

   "Mungkinkah sejak pertama, memang aku yang selalu salah?."

    Jika sudah seperti ini, biasanya aku akan kabur kemanapun aku suka, sendiri. Membeli tiket kereta keluar kota untuk satu perjalanan yang tanpa rencana. Makan sushi favoritku di tengah kota. Pergi ke Gramedia paling besar yang puluhan kilometer jauhnya. Usaha demi usaha sebagai pembuktian bahwa aku mampu untuk membahagiakan diriku sendiri. Usaha yang kini otomatis didiskualifikasi sepihak oleh pandemi.

  Menuntaskan tema hari kedua makin terlihat kabur. Sampai menjelang adzan Maghrib, aku mendapati diriku dan mama di kafe ala - ala dalam salah satu minimarket di Salatiga. Menikmati minuman diskonan hari senin untuk berbuka. Cafe dolce untukku, lemon tea hangat untuk mama. 

   "Aku masih suka sedih loh ma kalo mikirinnya" entah kesurupan apa, tiba - tiba perasaan yang beberapa hari ini menyesakkan, berhamburan tanpa perlu perintah.

  "Ya gapapa, perasaan kan gak bisa langsung berubah" ia menanggapinya santai.

    "Iya sih, tapi jadi takut aja rasanya. Kayak kemarin udah keliatan se-serius itu, tapi ternyata sama aja"

   "Ta, kamu gak boleh lho seolah menentukan jalannya nanti gimana. Kalo udah kayak gini, pasti kayak gitu. Gak semuanya sama. Kita kan gak tau"

   Aku, tentu saja hanya bisa mendengarkan sembari mengubur banyak sekali 'tetapi'. Mama jarang sekali salah, dan punya tendensi untuk mendominasi. Bahkan jika suatu ketika aku yang benar, maka aku rela jika kemenangan ditimbun dengan setiap diam dan hikmat dalam mendengarkan ucapannya. Dalam rangka meraih surgaNya dengan seribu cara. Yang kemudian, sore ini secara tidak sengaja membuatku sampai pada jawaban atas pertanyaan tiada akhir soal bahagia. 

   Ternyata, membahagiakan dapat bercerita kepada mama soal kegagalan yang masih menyesakkan dada. Kesempatan yang tidak aku miliki ketika SMA, atau saat di Purwokerto dengan sekarung penuh keanehannya. Juga kebahagiaan karena dapat berbuka berdua yang tidak digagalkan oleh spreadsheets dan email yang terus saja membelah diri. 

   Aku kemudian menyadari, bahwa aku hanya harus mengganti kacamata perspektifku soal bahagia. Karena definisinya masih begitu sederhana. Aku saja yang terlalu sibuk mengulang - ngulang serentetan cerita kegagalan dalam kepala, tentang hal - hal yang seharusnya aku kubur sedalam - dalamnya. Menciptakan ruang untuk lebih banyak syukur terhadap hal - hal sederhana yang sama membahagiakannya, meski dalam bentuk berbeda.

   Sesampainya di rumah, sepupuku paling kecil menyambut kami dengan tawanya yang meringis, penuh dengan gigi geripis. Ia memang diluar spektrum anak - anak biasanya. Oleh karenanya di hidup kami, ia anak yang luar biasa sampai ke hati dan ketulusannya. Lenganku digelayutinya, bahkan ketika sepatu belum terlepas sempurna. Sampai kini, ia memang belum dapat bicara, tapi rasa sayangnya diungkapkan dengan penuh kejujuran. Dalam kedua telapak tangannya yang menangkup pipiku ketika aku menggodanya. 

Aku semakin yakin, bahagia memang masih begitu sederhana. Aku saja yang sering kali menutup mata.

   Menceritakan kepribadian diri diambil menjadi tema di hari pertama tantangan menulis 30 hari, yang entah dibuat oleh siapa. Mungkin dipikirnya, tema ini mudah, karena toh siapa juga yang akam kesulitan menggambarkan kepribadian seseorang yang setiap detik selalu dia amati dan nilai. Tapi toh, akhirnya aku, yang iseng - iseng mengikuti tantangan asal lewat, kesulitan untuk menggambarkan kepribadian diri sendiri. 

   Jujur saja, pikiranku kini sedang tidak benar. Seolah berjalan di lapisan es amat tipis yang dapat seketika retak pada satu pijakan yang tidak beruntung. Sehingga, tema ini aku biarkan terbuka untuk setiap orang yang pernah mengenalku. Katakan saja keinginanmu, dengan senang hati aku berikan id instagram atau twitter teman - teman tersayangku yang seringnya berisik di jagat maya. Agar mereka mengisi paragrafnya serupa membuat suatu eulogi. Agar kamu mengenalku dalam sosok yang hidup dalam pikiran mereka. Tentu saja jika mereka bersedia dan tidak sibuk menjalani kehidupan seperempat abad yang penuh dengan hiruk pikuk. 

   Sehingga, mari kini kita bicara soal eulogi. Indonesia tidak terlalu familiar dengan adanya eulogi. Yang pada film - film barat, biasanya diberikan di prosesi perayaan kematian seseorang. Sebuah pidato dari seseorang untuk mengenang hal - hal baik dari kerabat dekatnya yang hari itu raganya berpisah dengan dunia. Sedangkan, masyarakat kita lebih familiar dengan bisik - bisik tetangga di rumah duka. Soal bagaimana ia mati, betapa menyedihkannya keluarga ditinggal sosok yang penting, dan entah pikiran apa lagi yang saat itu muncul di dalam kepala. Hanya segelintir orang yang cukup waras menyuguhkan pembahasan tentang betapa baiknya almarhum dan kemenangannya soal hidup. Walaupun, juga tidak dapat dipungkiri, akan ada saja yang membahas soal desas desus dan kabar burung yang seringnya soal berita 'gres' dan penuh intrik. Kalau ada eulogi setidaknya akan ada satu sesi untuk mengingat si mati dengan hati yang hangat. Sayang sekali, Indonesia tidak kenal eulogi.

   Padahal, sudah aku bayangkan. Jika jiwa dan ragaku sudah tidak jadi satu, aku akan amat senang (jika aku masih dapat merasa senang) mendengarkan banyak eulogi. Serupa seorang anak yang menerima raport sekolahnya di dunia ini. Oleh karena itu, beberapa hari lalu, aku bertanya kepada teman - temanku soal eulogi apa yang mereka berikan pada hariku nanti. Dan, seperti sudah berkomplot, tidak ada satupun dari mereka yang bersedia. Pertanyaan ini membuat mereka ketakutan, dan mengundang pikiran - pikiran negatif di sudut - sudut kepala. 

Padahal kan biasa saja, ia tidak?
Aku kan hanya ingin tau rapotku di kepala mereka. Apakah aku sudah hidup selayaknya seorang manusia, yang seharusnya berarti dan bermanfaat bagi sekitarnya?
Atau apakah aku hanya seseorang yang sekedar lewat tanpa arti apa - apa?

Jika aku memintamu membacakan eulogi ketika aku masih bernafas di dunia, kamu mau tidak?

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2025 (4)
    • ▼  Juni (2)
      • hari jumat
      • nekattt
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates