Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Terus saja begini. Saya hanya satelit kecil di langit luasmu, mengitari dengan mata yang buta dan orbit yang tak lagi mulus.

Terus saja begini. Saya hanya pelengkap didalam segala pidatomu, gap filler, yang selalu terbawa tapi tetap, mudah saja digantikan.

Terus saja begini. Saya adalah tokoh yang penonton tak akan sadar ketika dia hilang, dan menjadi benar saja ketika tersakiti.

Terus saja begini. Saya adalah pujangga ulung, yang merangkai segala kata rindu di surat yang tak akan pernah kau baca.

Terus saja begini. Saya si peminum racun yang tersusun dari setiap perhatian dan perasaan yang saya telan bulat - bulat. Meringis, tapi harus.

Terus saja begini. Saya yang belaga jadi aktor, berbohong dengan topeng profesionalitas.

Terus saja begini. Kesakitan sendiri di malam malam hari.

Memutuskan segala cakap tak perlu. Menghindari segala pertemuan tak penting. Memangkas setiap rasa yang tumbuh subur. Karena saya semakin mengerti, beberapa pahit ada untuk menggarisbawahi manis, beberapa kemungkinan memang tak bisa dibuktikan eksistensinya. dan beberapa manusia, cukup puas jadi pemeran sampingan. Bukannya tak berusaha, karena lagi - lagi pengertian membenturkan saya akan nyata, bahwa dari awal semuanya memang soal sakit, itu hanya masalah waktu dan cara. Dan saya, hanya berusaha mengambil setitik bahagia yang paling mungkin dari segala sakit yang tersedia. 

Semesta, bahkan untuk ini, cukup simpan saja. tanpa penyampaian. Simpan saja ini sebagai satu satunya rahasia kecil diantara segala rahasia tentang sakit manusia. Semesta, simpan ini seperti saya memegang serpihan kecil yang bahkan ia tak pernah tau ada, menyembunyikannya dalam kantung terdalam dari baju hangat yang tak akan pernah saya pakai. 
Gue udah lama banget rasanya nggak nulis disini ya hahaha. Oia, Assalamualaikuuum gengs!. How's life? how's love? hahaha. Semoga keduanya baik baik saja di kehidupan kalian. Ya ya ya sabar, gue tau kalian ngebet bingitz untuk tau segala hal yang terjadi pada kehidupan gue. Yaaa bukannya geer atau merasa ngartis, whether gue artis atau nggak, gue rasa memang kita, manusia, harus mengakui bahwa terkadang, atau sering kali, menemukan bahwa mendengar cerita kehidupan orang lain adalah suatu hal yang menyenangkan. Syaratnya cuma satu, kita cukup tau aja, masalah memberikan solusi itu urusan kedua. Iya toh? haha. 

Pun bukannya gue mau menjelekkan kehidupan sendiri, karena menurut gue segala hal yang terjadi nggak ada yang jelek. Semuanya terjadi untuk suatu tujuan. Pasti ada maksud tertentu. Contohnya, duluuu sekali gue pernah galau setengah mampus ketika seorang teman bercerita, bahwa dia bertemu dengan mantan gebetan legendaris gue di stasiun, sedang mengantarkan mantan calon pacar legendarisnya dia. Duh sakit. Sedangkan gue pada saat yang bersamaan pun sedang berada di stasiun yang beratus ratus kilometer jauhnya, sama, kembali ke kota perantauan untuk menimba ilmu. Tanpa diantar oleh, let's say, lelaki spesial. Duh, sakit kuadrat. Tetapi pada akhirnya ditengah kegalauan gue tetap memutuskan untuk beranjak dan berjalan ke arah rel kereta api. Nggak nggak, gue nggak mau bunuh diri kok, apalagi terapi listrik, serius, gue cuma mau naik kereta, secepatnya sampe kamar dan tidur, karena nggak sanggup menerima kenyataan bahwa ternyata gue masih aja baperan (SAAT ITU, iya, keterangan waktu ini memang penting banget, agar ketertiban rakyat dan khalayak ramai tetap terjaga). 

Lalu naiklah gue ke kereta. Dengan wajah linglung akhirnya gue masuk gerbong dan seketika kaget. Sejauh mata memandang adalah kepala kepala plontos dengan rambut minimalis, berbadan tegak, dan memakai seragam kedinasan coklat coklat. Dan saat itu gue seketika tersenyum lugu ala gadis desa ngeliat perjaka kembang kampung sebelah. Puji syukur langsung gue panjatkan, emang Tuhan tau aja gimana caranya mencuci mata dan hati gue. Ciegitu. Dan dalam pencarian kursi, gue berdoa lamat lamat, semoga gue duduk dikelilingi salah satu mas mas macho dan bermasa depan cerah ini MUAHAHAHAHA *evil devil laugh*. Eh ternyata bener lagi!, yah tapi gue ternyata nggak begitu seneng. Duh repot deh harus jaga image, tidur nggak enak, mbok tiba tiba gue keceplosan mangap tanpa sadar kan nggak lucu, image hayati mau ditaro dimana? di saku kegedean, di idung nanti dikira upil. Yaudah gue telen aja, duduk tegak, leher kaku, tapi image aman, jadi mari kita ucapkan Alhamdulillah. 

Lanjut. 

Sampai lamaaa sekali, sekitar 1/4 jalan lagi sebelum kita sampai purwokerto, kedua mas itu memulai percakapan. Sebenernya kita memang beberapa waktu sudah ketawa bersama (mungkin cengengesan absurd tapi tetep jaim bersama) karena tingkah salah satu anak kecil yang penasaran sama kepala plontos mereka, dan dengan semena mena nge-plok plokin (maafkan atas kesalahan diksi, sumpah, gue frustasi untuk memilih mana kata yang paling tepat untuk menggambarkan kejadian plok plokan luchuk di ubun ubun itu) jidat dan ubun ubun dua taruna dibelakang kursinya. Kalo gue nggak jaim, kalo gue nggak sendirian, mungkin gue nggak harus mules karena nahan ketawa, karena adegan itu sebenernya lucu banget, tapi apa daya, hayati lemah kakanda, aszek.

nah, lanjut.

Singkat cerita akhirnya kita basa basi ala orang tua. Dari mana mbak? mau kemana? kuliah? dan pertanyaan semacamnya yang membutuhkan fake smile dengan keanggunan tingkat dewa sepanjang percakapan. Well, mereka nggak boring, tapi jawa abis. Mereka berasal dari Surabaya, lelah, dengan tingkat keteposan sudah tahap akut. Iya, kereta itu ujungnya memang surabaya dan berhenti di Purwokerto, which is sekitar 12 jam harus duduk di atas kursi yang katanya busa dengan senderan punggung hampir 90 derajat. Tapi after all mereka menyenangkan. Gue banyak cerita soal bagaimana mereka bisa masuk Akademi Polisi di purwokerto itu. Sampai tibalah kami di stasiun purwokerto. Ketika gue beranjak turun, wah salah satu yang sedari tadi memang paling aktif ngomong langsung berdiri di belakang gue. Gue merasa aman, selayaknya artis yang kemana mana di temenin body guard. Wah boljug nih kata gue. And you know what?! yep! dia minta nomer gue. Dengan pertimbangan panjang dan penuh perhitungan akhirnya gue kasih aja, wkwkwk. Toh kalo nggak bener nggak usah dibales, kalo udah ekstrem tinggal di block. habis perkara. Tapi yang pasti somehow gue seneng banget. Malamnya dia sms gue, dan mentelfon gue beberapa kali tapi nggak pernah keangkat. Yaudah. 

Menurut lo cerita ini akhirnya bakal apa?

Nggak kok

Kita nggak jadi makin deket

Sahabatan nggak

Apalagi jadian

Komunikasi itu akhirnya berhenti kurang dari seminggu. Iya, cepat datang dan cepat pergi. Tapi saat itu gue nggak sedih, gundah galau gulana. Sama sekali nggak. Cuma somehow, gue merasakan bahwa memang kehadiran lelaki taruna itu ditujukan hanya untuk pengalihan. Untuk obat dari luka gue yang sebenernya nggak ada apa apanya. Karena memang, setelah masuk ke gerbong itu, lalu bertukar nomer, saat itu, bayangan si mantan legendaris nggak muncul lagi. Otak gue melupakannya dengan satu pemahaman yang timbul bahwa mungkin gue yang harus melihat lebih luas. Sadar bahwa masih banyak lelaki yang lebih worth itu, lebih keren dan lebih segalanya daripada si mantan gebetan legendaris itu. Dan gue nggak perlu sedih hanya karena dia lebih memilih orang lain, yang pada saat itu, kualitas dirinya tak henti hentinya membuat gue membandingkan. Isu soal cinta sudah berubah menjadi isu tentang bagaimana kualitas diri gue. Fisik maupun kepribadian. Karena merasa tak dipilih, segala hal berubah menjadi serius, kesedihan berlipat ganda, dan gue tenggelam pada pencarian jawaban soal pertanyaan "Apa sih positifnya gue". Kejadian dengan si mas mas taruna yang entah sekarang nasibnya kayak apa, pun sebenernya nggak ngebantu banyak. Tapi paling nggak, saat itu gue bisa berfikir bahwa, dengan apa adanya gue, toh gue masih worth it. Masih ada lelaki lain diluar sana yang nggak kalah keren, yang masih aware dengan kehadiran gue, dan pada sore itu menjadikan gue sebagai satu satunya pilihan untuk menjadi gadis yang disimpan nomor handphonenya. Gue masih dipilih walaupun pada saat itu gue belum bisa menemukan jawaban dari pertanyaan paling besar. Seenggaknya gue memaafkan dan itu cukup.

Kejadian itu benar benar menunjukkan kepada gue bahwa tak pernah ada kejadian yang tanpa hikmah, pun pertemuan hasil ketidak sengajaan. Semuanya punya maksud, semua orang punya arti, cuma masalah manusia yang kadang kepikiran maksudnya apa nggak hahaaha. 
This evening, it's not the fact that I really don't know who are you the most, but . . .

apparently 

I really don't know who I am. my heart, to be exact.

Shame, you fool!
Tulisan ini tak akan pernah punya arti apa apa. Baca saja dengan santai, jangan berpikir hal yang tidak tidak karena kesan yang saya buat. Terkadang tulisan memang menyakitkan, tapi disitulah kemenangannya.

Saya sering mendengar kalimat bahwa sebenarnya kita diciptakan berpasang – pasangan. Wanita dan pria, sama sama menjadi setengah bagian, untuk melengkapi bagian lainnya. Ada pula yang bercerita bahwa takdir kita sudah tercatat di langit ketujuh. Saya dengan dia, Dia dengan dia, dan pasangan lainnya. .  Saya pikir sampai sini kita sepakat bahwa setiap orang punya pasangan.

Masalahnya adalah, pada praktiknya kadang hal itu menjadi suatu yang kompleks. Perjodohan takdir tak berjalan sesederhana saya yang telah ditakdirkan dengan dia, lalu kami hidup bersama sampai ajal memisahkan. Pertanyaan timbul ketika, pada praktiknya, toh ada pria yang memiliki istri lebih dari satu. Ada pula seorang istri yang memutuskan untuk menikah lagi setelah pernikahannya yang gagal. Tapi konsen tulisan ini bukan berada pada kasus semacam itu.

Tulisan ini saya buat berdasarkan seorang nenek di sebelah tempat tidur mama beberapa tahun lalu. Renta, dengan selang yang menjadi penopang setiap nafas yang tersengal. Seorang gadis duduk di sampingnya, nampak dibayar untuk menemani saja, sehingga ketika dia duduk bermalas – malasan dan bersikap acuh, sepertinya tidak menjadi suatu masalah. Tapi dari gadis itu kami tahu, bahwa nenek itu punya keluarga tapi tanpa pasangan. Ya, ia memang tak pernah menikah. Dan laki – laki muda yang beberapa hari sekali menjenguknya adalah keponakan yang ia asuh terlalu baik sampai dianggap sebagai anak. Cinta memang dapat berasal dari mana saja. Tapi memikirkan bahwa sampai serenta itu dia hidup tanpa pasangan, rasanya, saya tak mengerti dan takut pada saat bersamaan.

Berdasarkan teori sebelumnya, saya mulai memikirkan satu kemungkinan. Mungkinkah, pria yang ditakdirkan untuknya sudah “pergi” duluan? Toh kita pun sering mendengar beberapa remaja berakhir hidupnya, bahkan ketika mereka belum mengenal cinta. Mungkinkah? Saya merinding membayangkannya, sekaligus tidak mengerti. Mereka kehilangan satu sama lain, bahkan sebelum mereka sadar bahwa mereka memiliki satu sama lain. Terikat begitu saja di langit ketujuh, tapi terputus ketika sampai dunia. Atau, kemungkinan lain adalah mereka memang tak pernah ditakdirkan bersama. Si wanita ditakdirkan sampai ujung hayat tak berpasangan, dan si pria ditakdirkan “kembali” tanpa mengenal pertalian jodoh. Lalu bagaimana dengan kata – kata “Setiap orang diciptakan berpasang – pasangan”? Saya pernah membaca hal ini di Al Qur’an, tapi saya sadar untuk tidak mengartikan dan mengambil kesimpulan secara kasar berdasarkan pengetahuan saya yang nol. Tapi tetap saja, kata – kata seperti itu menimbulkan pertanyaan. Dan saya lebih menyukai ide pertama, bahwa setiap manusia memang ditakdirkan berpasangan. Ide kedua memang realistis, tapi rasanya tak adil, ketika manusia lain memiliki pasangan, mengapa mereka tidak. Setidaknya pada ide pertama, mereka memang tidak memiliki pasangan disini, tapi telah dijanjikan di akhirat (walaupun sampai sini pun pertanyaan lain muncul di kepala saya, memangnya ketika sampai akhirat kita akan tetap mengenal pasangan kita di dunia? Memangnya yakin dapat bersama sama sampai surga? Tapi memikirkan pasangan yang seperti memang ditakdirkan bersama dari sananya, seperti bapak dan mama saya, lalu berpisah dan menjadi individu mandiri ketika sampai akhirat, rasanya tak nyaman saja membayangkannya)

Hal ini tidak sederhana. Semesta memang tak pernah kehabisan bahan untuk berpikir. Terlalu rumit untuk otak manusia sekecil saya. Mungkin tak peduli sampai sepanjang apapun tulisan ini, saya tak akan menemukan jawabannya. Tulisan ini memang tak seperti curhatan yang lalu lalu. Dimana saya selalu menemukan pintu untuk setiap pertanyaan dan kebimbangan. Ya maklum saja, kali ini agak berat dan memang mungkin di seluruh dunia pun tak ada yang punya jawaban pasti soal hal ini. Tapi satu yang saya tahu, Tuhan memang tak bekerja secara langsung. Jawabannya tak selalu datang secepat pesan singkat di handphone, kadang butuh waktu yang sangat lama, dan kadang mungkin tak akan terjawab sama sekali. Tapi yang saya tahu, saya tak boleh tak berpegang pada suatu hal ketika masih menjalani hidup. Akhirnya saya memilih untuk percaya pada apa yang saya ingin percayai. Dalam hal ini adalah ide bahwa setiap manusia memang ditakdirkan untuk memiliki pasangan. Biarkan Tuhan menjadi korektor satu – satunya yang memiliki hak untuk membenarkan, toh Ia adalah yang Maha Benar.

Lalu satu pikiran melintas di kepala saya, bagaimana jika saya berada posisi si lelaki yang meninggalkan jodohnya karena tuntutan takdir. Bagaimana kalau sampai akhir hayat saya tak dapat bertemu dengan dia yang entah siapa. Bagaimana jika pada akhirnya ia berakhir di kursi goyang, menikmati teh di sore hari sendirian, yang seharusnya saya tepat berada disampingnya. Jika hal itu terjadi, rasanya saya  . . . .  Saya kehabisan kata kata. Mungkin saya akan menulis surat untuknya, jika memang, hal itu adalah sesuatu yang nyata. Dan karena ini adalah hasil kerja Semesta, lagi lagi, biarkan semesta yang menyampaikan surat saya, nanti, entah kapan.




Kehidupan gue sebelum ini bukanlah kehidupan yang luar biasa. Sekedar hidup seorang gadis komplek yang pagi sampai siang di sekolah, sore sampai malam dirumah, bercengkrama dengan orang tua. Hanya saja satu yang gue pahami bahwa menulis adalah soal mengabadikan banyak hal. Dan kehidupan gue sebelum ini adalah salah satu yang harus diabadikan, karena dalam kesederhanaannya, kehidupan yang dulu tetap saja tak pernah gagal membuat gue rindu, kangen, dan semacamnya.

Berawal dari malam minggu kedua di bulan April. Sudah beberapa hari itu gue merasa sangat amat hampa. Ada perasaan sedih yang gue sendiri nggak tau asalnya darimana, kenapa, dan karena siapa. Tiba tiba ya cuma sedih aja. Gue nggak mood kemana mana, nggak mood untuk melakukan apapun, dan diperparah dengan sariawan yang sedang meradang. Beberapa hari itu rasanya gue berubah jadi makhluk pendiam sejagat raya. Sampai pada malam minggu, puncaknya, gue memutuskan untuk muter muter keliling kota, naik motor, sendirian. Kecepatan 40 km/jam dengan gue yang mikir selama perjalanan. Kenapa gue merasa terganggu hanya karena perasaan yang nggak jelas juntrungannya. Dan ditengah ramainya jalanan di malam minggu, gue pun terpikir bahwa seandainya gue di Tangerang, pasti cerita malam minggu gue nggak akan segloomy ini. Gue membayangkan kedua sahabat gue sudah merangsek masuk ke kamar, at the right time when I was about to cry. Stalking artis artis youtube yang kenal aja nggak, dan akhirnya makan mi goreng jam 10 malam tanpa perlu khawatir soal lemak. Kalau saja gue masih di Tangerang, mungkin perasaan kayak gini nggak akan muncul. I might not have to take that long lonely stroll in Saturday night. Mungkin gue nggak harus ngerasa sendirian, ketika padahal, di kota baru ini, mungkin lebih banyak manusia yang gue kenal daripada di Tangerang. Kalau gue masih di Tangerang, mungkin malam itu gue nggak akan tidur dengan perasaan kesepian, sedih yang aneh, yang nggak bisa berubah jadi air  mata, yang yaudah, cukup di telen aja. Tidur gue setelahnya pun nggak kalah hampa. Gimana ya perasaan mereka malam ini?.

Lalu paginya gue terbangun, seperti biasa, kesiangan, karena terbangun pada tengah malam dan nggak bisa tidur lagi sampai jam 3. Bau harum masakan udah kecium bahkan sebelum gue membuka mata. Kalau dulu, itu pasti aroma masakan nyokap gue. Pada hari hari biasa seringnya wangi sayuran yang ditumis, telur hangat atau sekedar tempe goreng legendaries. Kalau beruntung, mungkin nyokap gue akan masak model masakan yang banyak bumbunya, macem ayam bumbu bali, atau masakan lain yang gue nggak tau namanya, tapi rasanya nggak ilang ilang dari lidah karena terlalu mancep. Tapi sekarang di kosan ini, bau harum semacam itu, seringnya gue nggak tau aroma makanan apa, bikin laper, tapi nggak bikin seneng, karena seberapapun enak baunya, gue nggak bisa makan. Karena sederhana, Itu bukan masakan nyokap gue. Itu masakan ibu kos gue yang kadang baik, kadang juteknya ngalahin cruela devil. Meh.

Tapi saat itu juga hari minggu. Biasanya mama juga nggak masak kalo hari minggu. Karena seringnya pada hari itu kita pergi, beli barang barang keperluan rumah tangga, sembako, belanja bahan bahan kue, atau berkunjung ke rumah sodara. Pokoknya hari minggu itu adalah harinya keluarga gue, kemanapun hari itu, kita pasti bertiga, keluarga kecil Dita. Jadi, pagi hari untuk mengatasi lapar, biasanya kita jalan ke jalanan utama perumahan. Menuju satu warung bubur ayam yang ramenya setengah mampus kalo hari minggu pagi, namanya warung Bubur Ayam Pak Gendut. Kita kesana hanya setiap minggu, karena pada hari biasa, pagi di keluarga gue berlalu dengan sangat cepat, jadi nggak memungkinkan untuk sarapan di warung bubur langganan. Walaupun begitu, pak gendut tetep inget pesenan keluarga gue. Satu bubur ayam komplit (mama), satu nggak pake kacang (bapak), dan satu nggak pake bawang daun dan kacang (gue). Kadang Pak Gendut salah ngasih pesenan, kadang punya gue di kasih bawang daun, kadang punya bapak dikasih kacang, tapi kita nggak protes. Keluarga gue memang bukan tipe yang complaining, kami tau diri bahwa pesanan banyak dan permintaan kita terlalu bertele tele, jadi yaudah terima aja. Tapi tetep, bubur Pak Gendut adalah bubur terbaik di jagat kota Tangerang menurut gue. Long Live Pak Gendut dan Buburnya!. Disini juga ada kok bubur ayam yang rasanya mirip mirip. Porsinya gede, pas banget buat anak kosan, ramenya juga nggak kalah sama Pak Gendut, tapi sayang, bapaknya nggak gendut, walaupun pada akhirnya itu jadi bubur ayam favorit gue di kota ini. Dan akhirnya kesanalah gue pergi pada hari minggu pagi itu. Sedikit mengatasi kangen yang lagi muncak banget. Dan saat itu bukan bapak sama mama yang ada di depan gue, melainkan temen satu kosan yang udah jadi partner sejati untuk cari sarapan. Temen sekosan gue memang selalu ada ketika dibutuhkan pada saat saat seperti ini.

Dan saat itu gue sadar akan sesuatu.

Mungkin hidup gue nggak semenyenangkan itu sekarang. Sekarang, ketika gue membuka mata, bukan lagi kamar kuning dengan meja belajar dan seperangkat personal computer. Bukan juga jendela yang pemandangannya langit di atas tempat cuci piring gue. Mungkin sekarang nggak senyaman itu. Kamar gue tak lagi berwarna kuning, melainkan merah muda. Furniturenya di lapisi sampul plastic murahan bernuansa biru. Kamar ini pun nggak terlalu luas, malahan sempit kalo dibandingkan dengan kamar yang dulu. PC pun sudah diganti dengan laptop minimalis yang menemani gue setiap saat dengan musiknya, atau sekedar jendela menuju dunia cyber ketika gue butuh referensi untuk laporan praktikum. Tapi kamar ini menyediakan segala yang gue butuhkan ketika lelah lelahnya. Tempat untuk beristirahat, kasur kapuk yang keras tapi dingin, kamar yang sempit tapi bisa muat barang barang penting, setiap spot fungsional.

Sama juga seperti hal lainnya disini. Temen, kegiatan, kuliah, tempat, sahabat. Mungkin memang nggak senyaman dulu, tapi kehidupan gue disini menyediakan apa apa yang gue butuhkan. Walaupun sekedar cukup tapi harusnya gue bersyukur atas segala sesuatunya. Gue masih punya temen yang walaupun nggak sedeket sahabat sahabat gue disana, tapi mereka selalu ada. Mereka tahan dengan segala swinging moodnya gue. Mereka marah marah ketika gue mandi malem, mereka marah ketika gue nggak makan seharian. Mereka care seperti kedua orang tua gue, dan selalu ada seperti sahabat sahabat gue. Mungkin mereka nggak sesempurna itu untuk menggantikan posisi keduanya (walaupun sampai kapanpun memang nggak ada yang bisa menggantikan posisi mereka karena mereka akan selalu ada), tapi mereka hampir mirip dan itu teramat cukup untuk gadis ini. Begitu juga dengan kota ini. Kota ini sepi, nggak ada apa apanya, tapi ditengah kearifan, kota ini mengajarkan banyak hal kepada gue. Menempa gue untuk hidup mandiri, bahwa kita nggak boleh bergantung ke orang lain, kalo lo nggak cari makan ya lo nggak kenyang. Kalo lo nggak jaga kesehatan ya jangan ngeluh kalo lagi sakit. Kalo lo nggak gerak ya nggak akan dapet apa apa. Kalo lo nggak ngurusin diri sendiri, ya jangan harap akan ada orang lain yang ngurusin lo, karena mereka pun sudah sibuk dengan urusannya masing – masing.

Kehidupan setelah itu memang nggak nyaman, nggak seaman kehidupan sebelum ini, tapi kehidupan saat ini membantu gue membangun diri. Dan saat ini, dengan mengabadikan kehidupan yang lalu sudah cukup untuk menjaga kesadaran gue. Bahwa kita masih bisa tetap memegang hal hal indah, bukan untuk kembali dan meratapi, tapi untuk mengenang. Seperti oase ditengah kering, ketika gue merasa lelah dan harus berhenti sejenak. Dan mungkin suatu hari, gue akan merindukan kehidupan yang sekarang gue bilang nggak lebih nyaman dari kehidupan gue sebelum ini. Mungkin, mungkin, mungkin. Hidup gue memang nggak akan pernah kehabisan kata mungkin. 
Pernah nggak sih kalian bangun pada suatu pagi, dengan lagu sedih yang otomatis terputar gitu aja di dalam kepala yang entah suaranya darimana. Kayaknya semuanya salah, semuanya hanya main main, semua yang gue lakukan entah kenapa wasted, padahal ini belum sampai akhir. Segala dugaan dugaan buruk yang terus saja melompat di dalam kepala, meledak ledak dan seperti menghancurkan pikiran gue dari dalam.

Gue nggak terlalu frustasi untuk menulis, tapi kata hati gue memandatkan bahwa perasaan ini harus ditulis secepatnya. Entah bagaimana caranya, semuanya harus tersalurkan, lewat apapun itu. And here I am, gadis yang sepagian ini tiba - tiba sedih tanpa tau kenapa alasannya. Mungkin satu deskripsi sederhana yang akan menjawab pertanyaan "Kenapa" yaitu . . . perasaan tak mampu melakukan apapun, perasaan I'm not one of that beautiful girl, perasaan bahwa gue . . . tak pernah diinginkan. Rasanya rumit dan merusak tanpa gue tau bagaimana menghentikannya.

Have you feel that way? I already took a cone of ice cream, it feels good, but like its cold, it isn't last. 

I just wanna be home. soon. wherever it is. whatever it cost.

Dan gue berpikir mungkin itu normal. Mungkin memang terkadang kita harus meresapi jatuh untuk mensyukuri ketika di atas.
Saya memiliki kamu, dalam setiap doa senja hari yang diucapkan lamat lamat. Doa yang tanpa nama, tanpa wajah. Semoga kamu baik - baik saja, semoga segala usaha tak berujung sia - sia. Semoga kau segera sadar, bahwa telapak tangan wanita yang ada dalam senja kala itu, bukanlah satu yang dapat melengkapi sela - sela jarimu dengan sempurna. Semoga kita saling menemukan secepatnya dalam ketiadaan, karena aku mulai lelah menduga - duga.





-Di sela sela kuliah pagi seorang dosen yang mendayu dayu-
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2025 (4)
    • ▼  Juni (2)
      • hari jumat
      • nekattt
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates