Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


Aku benci hati manusia, dan bagaimana ia begitu amat mudah berubahnya. Suatu ketika ia ingin berlari menuju yang paling hati ingini, dan suatu ketika ia dapat pergi begitu saja lalu menyendiri. 

Aku benci hati manusia, dan bagaimana hal itu membuatku kehilangan percaya. Pernah bergantung padanya sepenuh jiwa, membuatku merasa dikhianati karena setiap langkah mengikutinya berakhir percuma.

Aku benci hati manusia, dan bagaimana ia bisa jadi sangat penuh kendali terhadap isi kepala. Aku pernah berkata bahwa aku hanya akan dipenuhi logika, dengan segala hitungannya yang sempurna. Lalu tiba - tiba aku tersesat dalam rasa yang serupa rimba, karena hatiku berkata bahwa inilah satu - satunya cara bahagia. Segala hitunganku tidak lagi dilihatnya, abai saja terhadap setiap tanda bahaya. 

Aku amat benci hati manusia, sampai suatu ketika kebencianku terasa begitu membutakan mata. Sehingga aku lupa, ditengah gelapnya ada cahayaNya yang selalu menuntunku kepada rencana paling baik daripada rencana manusia. Sehingga aku lupa, kemampuannya untuk berubah menjadi tajamnya pecahan kaca, juga bekerja dengan cara yang sama menuju tujuan berbeda. Mengarah kepada kemampuan menyembuhkan diri sendiri dari luka. Kembali sempurna merasa setelah banyak hal menyakiti. Mampu tertawa lagi ketika melihat setiap yang terjadi, benar - benar telah terlewati. 

Tanpa kusadari, hatiku tidak lagi sakit setiap namamu muncul serupa jendela yang berderit. Aku juga sudah melupakan kenapa satu gelang pernah terasa begitu istimewa, bahkan aku lupa waktu itu kubeli dimana. Bahkan kini aku dapat melewati Banaran dengan hati yang ringan. Serta kenangan akan jam tangan hijau tosca pun sudah aku kuburkan dengan tenang, seperti mimpi - mimpiku lainnya. Kalian berguguran, dan yang kembali kupercaya namun sempat kulupa adalah, meski tidak jadi nyata, tapi tidak akan ada asa yang sia - sia. Dan aku meralat segala frasaku, bahwa memang benar banyak usaha sia - sia, tapi pelajaran ini akan kubawa selamanya.

Jadi dari setiap hal - hal tidak membahagiakan, ternyata ya enggak sia - sia amat sebenarnya. Iya gak? Hehe.
Empat bulan aku menahan untuk menuliskannya. Menghindari hal - hal yang tidak dapat aku abadikan dengan sempurna. Karena kemarin mengingat bapak adalah soal luka, dan bagaimana aku mendaraskan sesuatu ketika mataku menjelma menjadi musim hujan tanpa tanda akan berhentinya. Tapi kamu penting, dan aku ingin kamu mengenal bapak. Bapak yang bahagia. Aku yang mengingatnya dengan bahagia. 

Hal pertama yang harus kamu tau adalah, bapak selalu pergi ke mesjid setelah adzan maghrib, adzan subuh, dan ketiga adzan lainnya jika ia sempat. Pada beberapa waktu yang ia kira adalah waktunya, satu - satunya pesan adalah jangan pernah meninggalkan solat. Meski sulit. Meski waktu terasa menghimpit. Meski pikiranmu tidak lagi mampu untuk mengingat banyak surat. Jangan pernah tinggalkan tiang agama, bahkan ketika rasanya hatimu patah karena semesta. Ia tidak perlu menjelaskan kenapa, tapi setelah kepergiannya, aku jadi mengerti bagaimana hanya dengan solat, hatimu dapat kembali terisi setelah kekosongan yang teramat sangat. Ingatlah, jika suatu hari akhirnya kamu sampai di ruang tamu rumah ibuku dan terdengar adzan Dzuhur, percayalah bapak pasti akan beranjak ke masjid di ujung gang, dan mengajakmu turut serta. Jika ia masih ada.

Hal kedua adalah, ia seorang laki - laki yang lucu dan penuh tawa. Sampai akhir hayat, aku adalah gadis kecilnya yang tidak pernah habis digoda. Soal bagaimana ia memesankan mi goreng pedas dengan sengaja, padahal aku tak suka. Pesanan yang kemudian ia ralat ketika sudah selesai bercanda. Soal banyak hal - hal sederhana yang hanya akan jadi lucu jika kuceritakan secara langsung ketika akhirnya kita diijinkan semesta untuk bertegur sapa. Ia adalah detak pada banyak obrolan yang menempatkan dirinya sebagai pusat setiap tawa. Ia yang karena itu jadi amat dicintai kawannya dan banyak orang di sekitarnya. Tukang gorengan pinggir jalan, tetangga yang berbeda gang, bapak - bapak tukang cukur di bawah pohon beringin. Sampai keluarga kecil yang sempat menempati ruangan di sebelah kamarnya, ketika ia terbaring karena serangan stroke yang tanpa aba - aba. Ia yang mengajarkanku bahwa tawa adalah hulu dari setiap rasa bahagia, termasuk cinta. Tawa yang diam - diam ikut pergi bersama nafas terakhirnya.

Hal ketiga adalah, ia seorang bapak yang tanpa alfa. Ia hadir seutuhnya, tanpa pernah setengah jiwa. Tidak pernah ada tanda tanya kenapa jika soal inginku dan mama. Cintanya selalu nyata meski tidak pernah berbentuk kata. Ia yang memacu motor tua pada kecepatan paling kencang, karena aku yang salah seragam pada hari dimulainya sekolah menengah pertama. Ia yang tidak pernah alfa dari menjadi pegawai pertama mama, dari berbagai macam usaha yang akhirnya mereka lakukan berdua. Ia yang tanpa ragu kembali ke kampung halaman demi orang tua. Meninggalkan pekerjaan yang terhadapnya, ia amat bangga. Meninggalkan setiap kebiasaan yang sudah menjadi satu di nadinya. Kehadiran cintanya dimana - mana menjadi hal yang tidak dapat kholas aku pasrahkan. 

Sabtu bersama bapak dan banyak kuntum bunga. Banyak penyesalan tumbuh subur seperti setiap jumput rumput di atas pusaranya. Rinduku bukan lagi hujan, tapi badai yang menjebak dengan guntur yang memekakkan indraku. Menghambarkan kemampuan merasa, merubah setiap warna serupa abu - abu. Sampai suatu hari, satu - satunya warna warni mengambil rupa bunga yang dirangkai mama dengan hati - hati. Tanpa jeda, pada setiap sabtu pagi. Membuat aku teringat, meski raganya tidak lagi hangat, kini bapak sudah tidak sakit lagi. Tidak direpotkan dengan dunia yang semakin kacau saja. Tidak perlu hidup dengan tanya, kenapa bapak tidak dapat kembali merasa muda. Aku ingin percaya kata - kata seorang temanku yang amat sederhana, bahwa kebahagiaan tertinggi umat yang beriman adalah pertemuan dengan Rabb-Nya. Oleh karena itu aku sudah memutuskan, setiap penyesalan dan rindu yang kini jadi satu, akan kubayar dengan setiap doa agar pertemuannya dengan Rabb-Nya jadi yang paling membahagiakan sejagat raya, karena kini, bapak disisiNya.
Satu tahun lalu, aku sempat berdoa kepadaNya, agar Mei kali ini lebih membahagiakan daripada sebelumnya. Sedangkan, ketika melihat apa - apa yang tersisa di genggaman tanganku, tidak dapat aku katakan bahwa semesta telah menjadi sedemikian rupa sesuai dengan permintaan seorang wanita menjelang umur ke-dua puluh lima. Namun setidaknya, malam ini aku punya cukup keberanian untuk beranjak dari pusara kepercayaanku yang mati setahun lalu. Berhenti meratapi. Menuju jalan, yang meski belum cukup terang, tapi mulai menampakkan cahaya di ujung lorong yang panjang. 

Dimulai dari afirmasi, bahwa aku, kamu, pantas dianggap ada. Kamu yang sedang merasa amat patah dan hancur berserakan. Kamu pantas diperlakukan sebaik - baiknya. Kamu pantas ditanyakan bagaimana kabarmu dengan dunia. Kamu pantas mendapatkan waktu untuk bercerita, bagaimana pekerjaanmu terkadang bisa jadi amat menyita. Kamu pantas diberikan sandaran ketika sedang teramat lelahnya.

Dimulai dari penyangkalan, bahwa aku, kamu, setiap perasaan di dalam dada adalah valid. Bukan hanya sekedar imaji, atau asa yang dianggap tidak nyata. Kamu berhak marah ketika mimpimu tidak dihargai dan dianggap sampah. Tidak apa kalau kamu merasa amat sedih ketika jadi satu - satunya yang berjuang untuk suatu ide yang disebut orang - orang sebagai cinta. Bahkan wajar saja, jika kamu yang biasanya paling tegak menantang dunia, menjadi seorang gadis kecil yang tanpa kekuatan dan merasa begitu lemahnya. Hampir kehilangan orang - orang yang dekat di hati memang dapat mengaburkan setiap apa yang tadinya jelas pada pandangan mata. Tidak perlu juga kamu malu ketika beban semakin berat, dan kamu butuh rumah untuk singgah dan beristirahat. 

Diakhiri dengan pelarian panjang, bahwa aku, kamu, dan hal - hal penting dalam tas punggungmu kini harus menempuh perjalanan meninggalkan mereka yang tidak pernah menghargaimu seperti ibu bapak terhadapmu. Seperti sahabatmu yang diam - diam mengkhawatirkanmu. Seperti gurumu yang seringkali lebih percaya kepadamu, daripada kamu mempercayai kemampuanmu sendiri. Kamu hanya cukup sedikit berani meninggalkan rumah yang tidak lagi nyaman untuk persinggahan ketika lelah. Menuju jalan yang bisa jadi sepenuhnya berbeda. Dan setiap yang berbeda, seringkali dapat jadi begitu ngeri, tapi setidaknya kamu tau, bekalmu lebih mantap kali ini. Kini, kamu mengerti, bagaimana dirimu amat bernilai, dan mereka yang tidak melihat inti pentingnya maka jalan terbaik adalah meninggalkannya selamanya. 

Kamu selalu satu. Kamu selalu utuh. Mereka tidak dapat mencuri apapun darimu, kecuali jika kini kamu memutuskan untuk berhenti berjalan lagi. Kecuali jika kamu hanya percaya bahwa tidak ada yang lebih baik di depan sana. Ketika sebenarnya, pilihannya ada di tanganmu sendiri. Jangan sampai kamu kalah untuk yang kedua kali.

Aku salah berdoa. Kupikir tidak akan pernah ada yang salah dari suatu doa. Tapi ternyata setelah kita berjalan lebih jauh, nuranimu dapat menyadari bahwa kita benar - benar bisa salah berdoa. Berdoa akan hal - hal yang kasat mata, dan mengaburkan hal - hal yang paling penting hanya karena ia kini tak kasat mata. Berdoa menginginkan hal - hal jangka pendek sembari menggugurkan banyak kemungkinan - kemungkinan jangka panjang, yang bisa jadi memiliki kebermanfaatan yang lebih lapang.

Berdoa akan manfaat dunia, yang tanpa sadar menjauhkan kita dari manfaat akhirat pada setiap jengkalnya. Bagaimana momen yang tidak abadi ini sungguh dapat membutakan hati dan nurani. 

Seharusnya, aku berdoa agar aku diberi kesempatan untuk dapat lebih bermanfaat bagi sesama. Bukannya sekedar memenuhi kepuasan jiwa atas nama manusia disekitarku yang lainnya. 

Aku berdoa agar suatu hari aku dapat mendirikan sekolahku sendiri. Aku berdoa agar memiliki pekerjaan yang membuatku punya alasan bangun esok hari. Aku berdoa agar aku tetap memiliki jiwa dan mimpi seperti ini. Agar suatu hari, aku dapat menjadi perantara gadis kecil di liputan televisi, yang dengan mata berbinar berbicara tentang mimpinya menjadi dokter, meski di belakangnya tumpukan sampah Bantar Gebang dapat begitu mengintimidasi. Aku ingin membuktikan kepada anak - anak seperti dia, bahwa mimpi mereka tidak pernah sia - sia.

Bahwa mimpiku, tidak pernah sia - sia. 

Hey, ternyata, aku masih ingin belum menyerah kepada dunia. Meski sedikit, ternyata masih ada sedikit keberanian untuk keluar dari zona yang begitu nyamannya. Meski sedikit, tidak apa, kita coba lagi perlahan saja.

Aku berhenti menulis karena tidak lagi ingin mengabadikan cerita - cerita spesifik yang ujungnya hanya membuatku semakin membenci. Sampai ketika orang lain bertanya kenapa, maka jawabannya adalah "Entahlah, aku hanya tidak dapat menulis lagi". Aku lupa bahwa dahulu, pilihan itu ada di tanganku sendiri. Aku juga tidak merasa tulisanku dinantikan sebagian orang. Apalah aku yang frasanya masih banyak cela. Tapi yang mereka tidak tau adalah alasan sebenarnya. 

Jadi sepertinya, aku akan mencoba menjelaskannya lagi. 

Aku berhenti menulis karena tidak lagi ingin mengabadikan orang - orang spesifik yang mengenal mereka hanya berujung pada aku yang kehilangan diri sendiri. Merangkai frasa untuk setiap yang melukai memberi kesan bahwa mereka telah memenangkan perkelahian ini satu kali lagi. Seolah aku masih jadi sang pemuja. Masih amat mencinta. Kebencian yang purna, membuat satu hal yang paling penting luput dari pengamatan. Bahwa menulis disini dan mencatat bagian - bagian krusial dari patah hati, adalah selalu soal diriku sendiri. Menemukan kembali serpihan seorang aku diantara setiap spasi.

Aku sempat melihat setiap tulisan sebelum ini dengan amat penuh benci. Serupa melihat fragmen - fragmen berkelebat dari seseorang yang tidak menghargai bahwa aku ada. Membawaku kepada penyesalan, kenapa hidup bisa jadi begitu naifnya. Seolah menjadi naif dan penuh rasa adalah hal yang paling salah sejagat raya. Lupa bahwa banyak berkah juga pernah berasal dari sana. Tanpanya aku kehilangan empati. Tanpanya aku kehilangan harapan dari setiap mimpi. Tanpanya aku hanyalah manusia yang dadanya tidak pernah lapang untuk memaafkan kesalahan pun menerima kegagalan.

Berhenti menulis membuat hatiku mati, dan atasnya tidak ada definisi yang lebih menggambarkan kehilangan diri sendiri. Terkadang kita memang butuh waktu lama untuk menyadari, bahwa pilihan - pilihan yang dirasa benar hanyalah suatu kontradiksi. Seolah hidup membawa kita pada trek lari dengan jalur memutar, yang selalu berujung kepada hal yang kita hindari. Mungkin jalan terbaik memang selalu dengan menghadapi.

Sejujurnya, aku pernah membayangkan rasanya menyayat pergelangan tanganku sendiri. Memberikan warna yang berasal dari jalur - jalur nadi. Memberikan lega kepada setiap beban di hati. Aku pernah seputus asa itu kepada diri, dan membencinya setengah mati. Tidak lagi mencintai diri sendiri adalah bukan kata yang tepat saat itu, karena yang kutau adalah aku hanya tidak dapat melakukannya lagi. 

Singkat cerita, aku akhirnya melewati fase itu hidup - hidup dan tanpa bekas luka. Hanya cerita akan malam - malam yang penuh dengan monolog yang kubawa sebagai kenang - kenangan serupa piala. Aku menang, kukira. Aku lebih kuat sekarang, kukira. Aku saat itu tidak sepenuhnya salah, meskipun ternyata tidak juga begitu benar. Aku memang lebih kuat untuk setiap yang kuhadapi kala itu, tapi tidak untuk setiap apa yang menunggu di depan sana.

Aku sadar ketika kehidupan membawaku pada ruang tamu rumahku. Terrmangu meski sudah pukul tujuh. Seharusnya aku sudah dalam perjalanan kembali berpacu. Tetapi ini hari yang tidak biasa, karena rasanya sudah tidak lagi punya energi. Aku yang posesif, tiba - tiba siap melepaskan setiap apapun dalam genggaman jemari. Meskipun kecil, meskipun tidak begitu berarti untuk dunia ini. Rasanya aku hanya tidak dapat berjalan lagi. Aku tersesat dalam belantara pikiranku sendiri, dan tidak kembali. Aku pecah menjadi serpihan tajam yang tidak akan pilih - pilih dalam melukai setiap jemari yang ingin menyatukannya lagi. Aku rusak dan tidak dapat dibenahi. 

Sampai suatu ketika, akhirnya aku memutuskan untuk mengguyur kepalaku pada pukul dua dini hari. Membuatku menyadari sesuatu. Manusia adalah spesies yang cukup purba. Ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan tahun kita telah berevolusi sampai menjadi frasa hampir sempurna. Terlepas dari definisi evolusi yang kita percayai, apapun itu, aku percaya bahwa manusia dan peradabannya sudah melewati banyak hal diatas dunia. Menjadi partikel kecil dari megahnya galaksi. Bisa jadi gunung meletus, tsunami, temperatur ekstrim sampai masalah - masalah modern dan krisis ekonomi. Begitu kompleksnya tapi sebagian besar populasi manusia selalu bertahan pada akhirnya. Berkembang biak lagi, menciptakan krisis baru yang selalu sama memusingkannya. Kita kembali berdiri, kembali pulih dari setiap luka yang beragam bentuknya.

Keilmuan mengingatkanku bahwa aku yang ternyata masih manusia juga sebenarnya punya potensi yang sama. Kembali utuh meski retak. Kembali berdiri meski belum begitu tegak. Aku kembali berkata kepada Tuhanku, kata - kata yang dulu hadir ketika aku hampir menyayat nadiku sendiri. Aku akan tetap disini, sampai Allah berkuasa sebaliknya. 

Meskipun setelah pulih dari banyak beban yang akhirnya berlalu, dan ternyata aku mengacau lagi dan menciptakan jutaan masalah baru, aku akan tetap disini. Agar jika sampai pada waktunya, aku dapat mengutip Taylor Swift "She had marvelous time ruining everything" hehe.

Kenapa kita tidak bisa mendengar suara hati para mati?. Tidak pernah aku bertanya, sampai suatu ketika bapak menjadi salah satu diantaranya. Jika bisa, mungkin jadinya akan lebih mudah daripada setiap perenungan setelah banyak sekali mimpi yang berdatangan. Lebih mudah daripada menerka kesimpulan dari mimpi - mimpi yang meresahkan, dan selalu satu tahap merusak kewarasan setiap malam. Apakah malam ini suatu pertanda, atau hanya pikiranku yang sedang tidak baik - baik saja. Tapi karena manusia adalah sumber dari segala ketidaktahuan, mungkin juga jika bisa, perjalanan penerimaan ini akan tetap menjadi yang paling tidak mudah. Toh, aku pernah mereka - reka akan seperti apa kesedihannya, mempersiapkan setiap rencana untuk beragam kemungkinan. Bodohnya aku yang kemudian baru menyadari bahwa soal melepaskan yang amat kita cinta, akan selalu lebih besar daripada kelapangan dada.

Tapi mungkin begitulah inti dari setiap ujian yang sering kali lewat dari pencatatan. Agar tercipta lebih banyak ruang di hati kita, untuk menerima setiap rasa di dunia yang begitu luasnya. Agar kita akan selalu sedikit lebih besar daripada setiap masalah di depan sana.

Pak, dita tidak akan lagi menerka - nerka setiap mimpi, atau ingin mendengar suara hati para mati. Dita hanya akan tetap percaya bahwa bapak yang amat menyayangi anak gadisnya, tidak akan pernah habis menghibur agar setiap tangis berhenti. Setelah ini, dita akan jadi sedikit lebih besar untuk setiap masalah yang harus dihadapi tanpa cinta seorang laki - laki yang entah dimana lagi dapat dita temui. Sedikit lebih besar yang ternyata selalu cukup untuk membuat kita berjalan lagi. Sedikit lebih besar yang ternyata adalah rahasia dari kata - kata bapak dahulu, bahwa akan ada jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2025 (4)
    • ▼  Juni (2)
      • hari jumat
      • nekattt
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates