Sore ini jalanan ungaran salatiga lengang. Banyak karyawan sudah pulang, sampai ke rumah, mungkin sedang bertukar cerita bagaimana kehidupan karyawan di kota industri. Bertukar tawa sesekali, berbagi bahagia, atau mungkin melepas penat bahkan kesedihan. Seperti yang kita sama - sama mengerti, bahwa tidak selamanya hidup penuh dengan kemudahan.
Hal yang masih coba aku terima dan pahami dengan cara sebaik baiknya manusia. Tepat ketika aku melihat ke angkasa yang kala itu sesak dengan awan kelabu. Membuat kenampakannya lebih sempit daripada seharusnya. Mencari kelapangan karna rasanya di dalam hati pun tidak begitu jauh berbeda. Membuat aku memutuskan untuk melaju pada kecepatan paling pelan. Mengulur waktu, mencari tenang, sembari berdoa agar segala tangis dan sesak jadi rahasia aku dan Dia. Tanpa perlu bapak, mama, eyang tau, bahwa sore itu setiap bagian aku rasanya hancur dalam perjalanan pulang yang terasa lebih panjang.
Dan Dia mengabulkan. Kepada mama aku bisa menceritakan segala kegagalan siang tadi dengan perlahan, memilih setiap kata, menyisihkan ingatan yang tidak perlu agar tidak ada air mata yang sering kali bisa jadi begitu kurang ajar. Bapak pun hanya bertanya, pertanyaan yang sama berkali-kali (seperti biasa), dan rasanya kesabaranku sedang dipasok ulang, kesabaran untuk menjawab dengan menahan kesedihan paling kecil yang bisa saja hadir tanpa permisi. Rasanya semuanya baik-baik saja, ini prestasi baru, akhirnya aku bisa mengatur perasaanku. Walaupun di dalam sini, setiap kehancuran masih terasa begitu nyata. Seperti permukaan koran yang membungkus telur setelah dijatuhkan. Masih terlihat begitu sempurna, tapi tetap saja sia-sia, karna setiap kulit di dalamnya sudah jadi pecahan.
Hal yang membuatku berpikir bahwa mungkin memang ini yang dinamakan hidup. Tepat ketika kita sudah berpikir bahwa suatu ujian adalah yang paling buruk, ternyata kemudian semesta menunjukkan, bahwa akan selalu ada lebih buruk yang baru.
Semoga Allah memberikan kami sekeluarga kekuatan untuk melewati segala cobaan.