Hellonjo!

Soal cerita melelahkan juga banyak hal - hal yang menyenangkan.


This evening, it's not the fact that I really don't know who are you the most, but . . .

apparently 

I really don't know who I am. my heart, to be exact.

Shame, you fool!
Tulisan ini tak akan pernah punya arti apa apa. Baca saja dengan santai, jangan berpikir hal yang tidak tidak karena kesan yang saya buat. Terkadang tulisan memang menyakitkan, tapi disitulah kemenangannya.

Saya sering mendengar kalimat bahwa sebenarnya kita diciptakan berpasang – pasangan. Wanita dan pria, sama sama menjadi setengah bagian, untuk melengkapi bagian lainnya. Ada pula yang bercerita bahwa takdir kita sudah tercatat di langit ketujuh. Saya dengan dia, Dia dengan dia, dan pasangan lainnya. .  Saya pikir sampai sini kita sepakat bahwa setiap orang punya pasangan.

Masalahnya adalah, pada praktiknya kadang hal itu menjadi suatu yang kompleks. Perjodohan takdir tak berjalan sesederhana saya yang telah ditakdirkan dengan dia, lalu kami hidup bersama sampai ajal memisahkan. Pertanyaan timbul ketika, pada praktiknya, toh ada pria yang memiliki istri lebih dari satu. Ada pula seorang istri yang memutuskan untuk menikah lagi setelah pernikahannya yang gagal. Tapi konsen tulisan ini bukan berada pada kasus semacam itu.

Tulisan ini saya buat berdasarkan seorang nenek di sebelah tempat tidur mama beberapa tahun lalu. Renta, dengan selang yang menjadi penopang setiap nafas yang tersengal. Seorang gadis duduk di sampingnya, nampak dibayar untuk menemani saja, sehingga ketika dia duduk bermalas – malasan dan bersikap acuh, sepertinya tidak menjadi suatu masalah. Tapi dari gadis itu kami tahu, bahwa nenek itu punya keluarga tapi tanpa pasangan. Ya, ia memang tak pernah menikah. Dan laki – laki muda yang beberapa hari sekali menjenguknya adalah keponakan yang ia asuh terlalu baik sampai dianggap sebagai anak. Cinta memang dapat berasal dari mana saja. Tapi memikirkan bahwa sampai serenta itu dia hidup tanpa pasangan, rasanya, saya tak mengerti dan takut pada saat bersamaan.

Berdasarkan teori sebelumnya, saya mulai memikirkan satu kemungkinan. Mungkinkah, pria yang ditakdirkan untuknya sudah “pergi” duluan? Toh kita pun sering mendengar beberapa remaja berakhir hidupnya, bahkan ketika mereka belum mengenal cinta. Mungkinkah? Saya merinding membayangkannya, sekaligus tidak mengerti. Mereka kehilangan satu sama lain, bahkan sebelum mereka sadar bahwa mereka memiliki satu sama lain. Terikat begitu saja di langit ketujuh, tapi terputus ketika sampai dunia. Atau, kemungkinan lain adalah mereka memang tak pernah ditakdirkan bersama. Si wanita ditakdirkan sampai ujung hayat tak berpasangan, dan si pria ditakdirkan “kembali” tanpa mengenal pertalian jodoh. Lalu bagaimana dengan kata – kata “Setiap orang diciptakan berpasang – pasangan”? Saya pernah membaca hal ini di Al Qur’an, tapi saya sadar untuk tidak mengartikan dan mengambil kesimpulan secara kasar berdasarkan pengetahuan saya yang nol. Tapi tetap saja, kata – kata seperti itu menimbulkan pertanyaan. Dan saya lebih menyukai ide pertama, bahwa setiap manusia memang ditakdirkan berpasangan. Ide kedua memang realistis, tapi rasanya tak adil, ketika manusia lain memiliki pasangan, mengapa mereka tidak. Setidaknya pada ide pertama, mereka memang tidak memiliki pasangan disini, tapi telah dijanjikan di akhirat (walaupun sampai sini pun pertanyaan lain muncul di kepala saya, memangnya ketika sampai akhirat kita akan tetap mengenal pasangan kita di dunia? Memangnya yakin dapat bersama sama sampai surga? Tapi memikirkan pasangan yang seperti memang ditakdirkan bersama dari sananya, seperti bapak dan mama saya, lalu berpisah dan menjadi individu mandiri ketika sampai akhirat, rasanya tak nyaman saja membayangkannya)

Hal ini tidak sederhana. Semesta memang tak pernah kehabisan bahan untuk berpikir. Terlalu rumit untuk otak manusia sekecil saya. Mungkin tak peduli sampai sepanjang apapun tulisan ini, saya tak akan menemukan jawabannya. Tulisan ini memang tak seperti curhatan yang lalu lalu. Dimana saya selalu menemukan pintu untuk setiap pertanyaan dan kebimbangan. Ya maklum saja, kali ini agak berat dan memang mungkin di seluruh dunia pun tak ada yang punya jawaban pasti soal hal ini. Tapi satu yang saya tahu, Tuhan memang tak bekerja secara langsung. Jawabannya tak selalu datang secepat pesan singkat di handphone, kadang butuh waktu yang sangat lama, dan kadang mungkin tak akan terjawab sama sekali. Tapi yang saya tahu, saya tak boleh tak berpegang pada suatu hal ketika masih menjalani hidup. Akhirnya saya memilih untuk percaya pada apa yang saya ingin percayai. Dalam hal ini adalah ide bahwa setiap manusia memang ditakdirkan untuk memiliki pasangan. Biarkan Tuhan menjadi korektor satu – satunya yang memiliki hak untuk membenarkan, toh Ia adalah yang Maha Benar.

Lalu satu pikiran melintas di kepala saya, bagaimana jika saya berada posisi si lelaki yang meninggalkan jodohnya karena tuntutan takdir. Bagaimana kalau sampai akhir hayat saya tak dapat bertemu dengan dia yang entah siapa. Bagaimana jika pada akhirnya ia berakhir di kursi goyang, menikmati teh di sore hari sendirian, yang seharusnya saya tepat berada disampingnya. Jika hal itu terjadi, rasanya saya  . . . .  Saya kehabisan kata kata. Mungkin saya akan menulis surat untuknya, jika memang, hal itu adalah sesuatu yang nyata. Dan karena ini adalah hasil kerja Semesta, lagi lagi, biarkan semesta yang menyampaikan surat saya, nanti, entah kapan.




Kehidupan gue sebelum ini bukanlah kehidupan yang luar biasa. Sekedar hidup seorang gadis komplek yang pagi sampai siang di sekolah, sore sampai malam dirumah, bercengkrama dengan orang tua. Hanya saja satu yang gue pahami bahwa menulis adalah soal mengabadikan banyak hal. Dan kehidupan gue sebelum ini adalah salah satu yang harus diabadikan, karena dalam kesederhanaannya, kehidupan yang dulu tetap saja tak pernah gagal membuat gue rindu, kangen, dan semacamnya.

Berawal dari malam minggu kedua di bulan April. Sudah beberapa hari itu gue merasa sangat amat hampa. Ada perasaan sedih yang gue sendiri nggak tau asalnya darimana, kenapa, dan karena siapa. Tiba tiba ya cuma sedih aja. Gue nggak mood kemana mana, nggak mood untuk melakukan apapun, dan diperparah dengan sariawan yang sedang meradang. Beberapa hari itu rasanya gue berubah jadi makhluk pendiam sejagat raya. Sampai pada malam minggu, puncaknya, gue memutuskan untuk muter muter keliling kota, naik motor, sendirian. Kecepatan 40 km/jam dengan gue yang mikir selama perjalanan. Kenapa gue merasa terganggu hanya karena perasaan yang nggak jelas juntrungannya. Dan ditengah ramainya jalanan di malam minggu, gue pun terpikir bahwa seandainya gue di Tangerang, pasti cerita malam minggu gue nggak akan segloomy ini. Gue membayangkan kedua sahabat gue sudah merangsek masuk ke kamar, at the right time when I was about to cry. Stalking artis artis youtube yang kenal aja nggak, dan akhirnya makan mi goreng jam 10 malam tanpa perlu khawatir soal lemak. Kalau saja gue masih di Tangerang, mungkin perasaan kayak gini nggak akan muncul. I might not have to take that long lonely stroll in Saturday night. Mungkin gue nggak harus ngerasa sendirian, ketika padahal, di kota baru ini, mungkin lebih banyak manusia yang gue kenal daripada di Tangerang. Kalau gue masih di Tangerang, mungkin malam itu gue nggak akan tidur dengan perasaan kesepian, sedih yang aneh, yang nggak bisa berubah jadi air  mata, yang yaudah, cukup di telen aja. Tidur gue setelahnya pun nggak kalah hampa. Gimana ya perasaan mereka malam ini?.

Lalu paginya gue terbangun, seperti biasa, kesiangan, karena terbangun pada tengah malam dan nggak bisa tidur lagi sampai jam 3. Bau harum masakan udah kecium bahkan sebelum gue membuka mata. Kalau dulu, itu pasti aroma masakan nyokap gue. Pada hari hari biasa seringnya wangi sayuran yang ditumis, telur hangat atau sekedar tempe goreng legendaries. Kalau beruntung, mungkin nyokap gue akan masak model masakan yang banyak bumbunya, macem ayam bumbu bali, atau masakan lain yang gue nggak tau namanya, tapi rasanya nggak ilang ilang dari lidah karena terlalu mancep. Tapi sekarang di kosan ini, bau harum semacam itu, seringnya gue nggak tau aroma makanan apa, bikin laper, tapi nggak bikin seneng, karena seberapapun enak baunya, gue nggak bisa makan. Karena sederhana, Itu bukan masakan nyokap gue. Itu masakan ibu kos gue yang kadang baik, kadang juteknya ngalahin cruela devil. Meh.

Tapi saat itu juga hari minggu. Biasanya mama juga nggak masak kalo hari minggu. Karena seringnya pada hari itu kita pergi, beli barang barang keperluan rumah tangga, sembako, belanja bahan bahan kue, atau berkunjung ke rumah sodara. Pokoknya hari minggu itu adalah harinya keluarga gue, kemanapun hari itu, kita pasti bertiga, keluarga kecil Dita. Jadi, pagi hari untuk mengatasi lapar, biasanya kita jalan ke jalanan utama perumahan. Menuju satu warung bubur ayam yang ramenya setengah mampus kalo hari minggu pagi, namanya warung Bubur Ayam Pak Gendut. Kita kesana hanya setiap minggu, karena pada hari biasa, pagi di keluarga gue berlalu dengan sangat cepat, jadi nggak memungkinkan untuk sarapan di warung bubur langganan. Walaupun begitu, pak gendut tetep inget pesenan keluarga gue. Satu bubur ayam komplit (mama), satu nggak pake kacang (bapak), dan satu nggak pake bawang daun dan kacang (gue). Kadang Pak Gendut salah ngasih pesenan, kadang punya gue di kasih bawang daun, kadang punya bapak dikasih kacang, tapi kita nggak protes. Keluarga gue memang bukan tipe yang complaining, kami tau diri bahwa pesanan banyak dan permintaan kita terlalu bertele tele, jadi yaudah terima aja. Tapi tetep, bubur Pak Gendut adalah bubur terbaik di jagat kota Tangerang menurut gue. Long Live Pak Gendut dan Buburnya!. Disini juga ada kok bubur ayam yang rasanya mirip mirip. Porsinya gede, pas banget buat anak kosan, ramenya juga nggak kalah sama Pak Gendut, tapi sayang, bapaknya nggak gendut, walaupun pada akhirnya itu jadi bubur ayam favorit gue di kota ini. Dan akhirnya kesanalah gue pergi pada hari minggu pagi itu. Sedikit mengatasi kangen yang lagi muncak banget. Dan saat itu bukan bapak sama mama yang ada di depan gue, melainkan temen satu kosan yang udah jadi partner sejati untuk cari sarapan. Temen sekosan gue memang selalu ada ketika dibutuhkan pada saat saat seperti ini.

Dan saat itu gue sadar akan sesuatu.

Mungkin hidup gue nggak semenyenangkan itu sekarang. Sekarang, ketika gue membuka mata, bukan lagi kamar kuning dengan meja belajar dan seperangkat personal computer. Bukan juga jendela yang pemandangannya langit di atas tempat cuci piring gue. Mungkin sekarang nggak senyaman itu. Kamar gue tak lagi berwarna kuning, melainkan merah muda. Furniturenya di lapisi sampul plastic murahan bernuansa biru. Kamar ini pun nggak terlalu luas, malahan sempit kalo dibandingkan dengan kamar yang dulu. PC pun sudah diganti dengan laptop minimalis yang menemani gue setiap saat dengan musiknya, atau sekedar jendela menuju dunia cyber ketika gue butuh referensi untuk laporan praktikum. Tapi kamar ini menyediakan segala yang gue butuhkan ketika lelah lelahnya. Tempat untuk beristirahat, kasur kapuk yang keras tapi dingin, kamar yang sempit tapi bisa muat barang barang penting, setiap spot fungsional.

Sama juga seperti hal lainnya disini. Temen, kegiatan, kuliah, tempat, sahabat. Mungkin memang nggak senyaman dulu, tapi kehidupan gue disini menyediakan apa apa yang gue butuhkan. Walaupun sekedar cukup tapi harusnya gue bersyukur atas segala sesuatunya. Gue masih punya temen yang walaupun nggak sedeket sahabat sahabat gue disana, tapi mereka selalu ada. Mereka tahan dengan segala swinging moodnya gue. Mereka marah marah ketika gue mandi malem, mereka marah ketika gue nggak makan seharian. Mereka care seperti kedua orang tua gue, dan selalu ada seperti sahabat sahabat gue. Mungkin mereka nggak sesempurna itu untuk menggantikan posisi keduanya (walaupun sampai kapanpun memang nggak ada yang bisa menggantikan posisi mereka karena mereka akan selalu ada), tapi mereka hampir mirip dan itu teramat cukup untuk gadis ini. Begitu juga dengan kota ini. Kota ini sepi, nggak ada apa apanya, tapi ditengah kearifan, kota ini mengajarkan banyak hal kepada gue. Menempa gue untuk hidup mandiri, bahwa kita nggak boleh bergantung ke orang lain, kalo lo nggak cari makan ya lo nggak kenyang. Kalo lo nggak jaga kesehatan ya jangan ngeluh kalo lagi sakit. Kalo lo nggak gerak ya nggak akan dapet apa apa. Kalo lo nggak ngurusin diri sendiri, ya jangan harap akan ada orang lain yang ngurusin lo, karena mereka pun sudah sibuk dengan urusannya masing – masing.

Kehidupan setelah itu memang nggak nyaman, nggak seaman kehidupan sebelum ini, tapi kehidupan saat ini membantu gue membangun diri. Dan saat ini, dengan mengabadikan kehidupan yang lalu sudah cukup untuk menjaga kesadaran gue. Bahwa kita masih bisa tetap memegang hal hal indah, bukan untuk kembali dan meratapi, tapi untuk mengenang. Seperti oase ditengah kering, ketika gue merasa lelah dan harus berhenti sejenak. Dan mungkin suatu hari, gue akan merindukan kehidupan yang sekarang gue bilang nggak lebih nyaman dari kehidupan gue sebelum ini. Mungkin, mungkin, mungkin. Hidup gue memang nggak akan pernah kehabisan kata mungkin. 
Pernah nggak sih kalian bangun pada suatu pagi, dengan lagu sedih yang otomatis terputar gitu aja di dalam kepala yang entah suaranya darimana. Kayaknya semuanya salah, semuanya hanya main main, semua yang gue lakukan entah kenapa wasted, padahal ini belum sampai akhir. Segala dugaan dugaan buruk yang terus saja melompat di dalam kepala, meledak ledak dan seperti menghancurkan pikiran gue dari dalam.

Gue nggak terlalu frustasi untuk menulis, tapi kata hati gue memandatkan bahwa perasaan ini harus ditulis secepatnya. Entah bagaimana caranya, semuanya harus tersalurkan, lewat apapun itu. And here I am, gadis yang sepagian ini tiba - tiba sedih tanpa tau kenapa alasannya. Mungkin satu deskripsi sederhana yang akan menjawab pertanyaan "Kenapa" yaitu . . . perasaan tak mampu melakukan apapun, perasaan I'm not one of that beautiful girl, perasaan bahwa gue . . . tak pernah diinginkan. Rasanya rumit dan merusak tanpa gue tau bagaimana menghentikannya.

Have you feel that way? I already took a cone of ice cream, it feels good, but like its cold, it isn't last. 

I just wanna be home. soon. wherever it is. whatever it cost.

Dan gue berpikir mungkin itu normal. Mungkin memang terkadang kita harus meresapi jatuh untuk mensyukuri ketika di atas.
Saya memiliki kamu, dalam setiap doa senja hari yang diucapkan lamat lamat. Doa yang tanpa nama, tanpa wajah. Semoga kamu baik - baik saja, semoga segala usaha tak berujung sia - sia. Semoga kau segera sadar, bahwa telapak tangan wanita yang ada dalam senja kala itu, bukanlah satu yang dapat melengkapi sela - sela jarimu dengan sempurna. Semoga kita saling menemukan secepatnya dalam ketiadaan, karena aku mulai lelah menduga - duga.





-Di sela sela kuliah pagi seorang dosen yang mendayu dayu-
Life is God's masterpiece with a twist in the end.

Gue suka baca novel, kebanyakan adalah novel fantasy and sorry to say, terjemahan. Bukannya gue apatis dan meremehkan karya penulis Indonesia, mereka bagus, tapi hanya sebagian kecil yang sanggup membuat gue percaya akan karya mereka dan akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan berapa puluh ribu untuk dibawa pulang kerumah. Alasan lain gue suka novel terjemahan adalah, mereka lebih apik menaruh twist dalam setiap cerita. John Green adalah pemberi twist novel paling hebat selama 19 tahun gue hidup. Dia bisa membuat gue jatuh cinta pada akhir yang twist, yang meremukkan hati pembaca, dan akhirnya kesel kesel sendiri karena nggak nyangka novel ini akan berakhir seperti itu. Lalu setelah membaca gue baru sadar bahwa, sebenarnya hidup kita seperti novel, Tuhan adalah pencipta twist yang paling juara sepanjang sejarah semesta. Termasuk hidup gue. Dan sekarang, kayaknya, gue sedang menghadapi salah satu twist dari sekian twist yang belum kebuka. 

Dan itu berawal dari fasilitas chat terabsurd yang isinya, entah lelaki gila sex, manusia kesepian dan butuh kasih sayang, atau seorang gadis yang hanya ingin menghabiskan kegabutannya selama liburan karena nggak tau harus ngapain lagi. Thats me. Sudah sekitar 1 bulan gue ada disana. Ngobrol dengan banyak orang, mulai dari cowok yang habis ngomong hey langsung ngajakin pacaran, cowok koplak yang kerjaannya nontonin power rangers, cowok yang ternyata adek kelas gue pas SMA, sampai gigolo yang demenannya tante tante. Sederhananya, fasilitas chatting itu menyediakan segala wawasan tentang dunia lain yang gue nggak tau. Termasuk dunia dia, yang sampai sekarang gue nggak tau siapa. 

Dia adalah satu dari yang (katanya) lelaki. Obrolan kita nyambung, mulai dari film dan kesamaan hobi yaitu dance. Iya, gue suka dance, nggak pernah tau kan?, karena memang itu adalah hobi masa kecil yang gue simpan karena gue tau, gue nggak bisa melakukan itu di dunia dan di lihat banyak orang. Hal yang paling gue suka dari percakapan kita adalah, gue bisa ngobrol serius tanpa merasa serius. Bahwa apa yang kita obrolin ya sebenernya seru, dengan cara yang unik. Dengan cara yang orang lain akan bilang membosankan. Kita bisa cerita panjang tentang pikiran manusia liberalis sampai lama. Keseruan itu adalah sesuatu yang membuat gue akhirnya lupa bahwa ada twist dari cerita ini.

Ya, Dunia kita berbeda. No no no, bukan berbeda seperti antara dunia ghaib dan dunia nyata. Dunia kita, circle kita, pergaulan kita, berbeda. Yaaa gue juga realistis, tanpa bukti yang jelas dia ngomong ini itu soal betapa bergelimangnya kehidupan dia, dengan segala fasilitas, studi, dan wanita yang menggila bahkan ketika cuma ngeliat mukanya. Betapa ia bisa aja merayu dalam hitungan jam lalu berakhir di hotel. Dunia yang sepenuhnya berbeda dengan gue yang ia menyebutnya adalah "Anak baik baik". Nggak ada bukti, gue bisa aja nggak percaya, tapi entah kenapa gue percaya dengan mudahnya. Selama ini sih gue sudah cukup dewasa untuk memfilter segala informasi dari sana. Gue nggak mudah percaya sama orang lain, I know things that obvious from cyber world is there are nothing that obvious. Tapi entah kenapa, pada akhirnya gue percaya. 

Dan hal tersebut, segala ceritanya soal wanita, kehidupannya, ke nyambungan kita ketika ngobrol, membuat gue akhirnya menguninstall app chatting tersebut dengan segala masalahnya :'. Well, sebenarnya nggak hanya karena dia, tapi juga karena app itu menyita konsentrasi gue. Gue jadi generasi nunduk karena akan selalu ada orang yang diajak ngobrol disana. Ngobrol dengan orang lain adalah suatu morphin di kehidupan gue. Padahal, di dunia nyata, akan selalu ada temen gue yang bersedia untuk diajak ngobrol. Secara langsung, dengan emosi dan rusuh rusuh yang nggak bakal bisa tersampaikan walaupun dengan emot sebanyak apapun. Mereka mulai protes karena sekarang gue lebih sering pegang hp dibanding ngealay dan ngerusuh bareng. Begitu juga orang tua. Mereka terganggu, dan dapat membuat gue sadar walaupun mereka nggak ngomong. Dan saat itu gue baru sadar, gue punya kehidupan nyata yang sudah cukup indah, tanpa harus ada manusia manusia random yang asik diajak ngobrol. yang kenal pun enggak, status teman pun sebatas tanda bintang di icon profile. Gue sadar, hidup gue lebih dari itu. 

Memang agak membuat bimbang pada awalnya (maafkan bimbang kali ini sangat amat nggak guna). Tapi gue teringat akan obrolan panjang kita terakhir, tentang tutup tupperware dan botolnya. Mungkin kita memang nyambung, mungkin kita seperti tutup tupperware yang klik sama botolnya. Tapi akhirnya gue sadar, mungkin "kebocoran" kita memang bukan berada di bagaimana kita bisa ngerti jalur pikir masing masing, tapi memang dunia yang membuat kita berbeda. Dan gue nggak bisa membahayakan diri gue untuk masuk dan merasakan kenyaman yang lebih jauh dari itu. Karena gue tau, ini semua nggak akan ada ujungnya. Cuma main main, dan gue bukan gadis yang bisa main main terlalu lama. Akhirnya gue memilih untuk menghapus satu satunya penghubung yang ada. Seperti gue yang memilih untuk tak lagi memakai botol tupperware gue agar buku buku tak lagi keriting karena kebahasan yang nggak sengaja. 
GUE JANJI UNTUK MENYELESAIKAN TULISAN INI ENTAH SEBERAPAPUN ABSURDNYA IA.

Okeh. itu adalah komitmen gue yang akhir akhir ini runtuh aja ketika moodnya sudah habis. Sudah lama gue nggak menyapa kalian disini, apa kabar apa kabar apa kabaaaar? hahaha. Banyak hal yang sudah terlewati. Salah satunya adalah terlewatinya semester 3! Yeah! walaupun hampir mati, nafas tinggal setengah, dan pipi yang semakin membulat (entah kenapa) akhirnya semester itu pun terlewati juga. Banyak hal yang gue dapatkan di semester yang katanya neraka itu, salah satunya adalah time management, bahwa benar kata orang, kalau kamu tidak segera "memenggal" waktu, maka waktu yang akan "memenggalmu". Tapi segala kesibukan di semester lalu, gue boleh bilang, nggak ada yang sia sia. Gue belajar menjadi mahasiswa yang . . . memahasiswa. Kata orang sih gitu. Tapi tetap, konsekuensinya adalah tidur yang kurang, jarang makan, tapi ngemil jalan terus. Kang mendoan di pertigaan tiba tiba jadi hafal dengan paras kelelahan ini, karena berapa hari sekali absen beli mendoan, cukup 3.000 rupiah udah dapet 3 mendoan panas dan 2 dage (makanan khas purwokerto yang dibuat dari ampas tahu, teksturnya, menyes menyes sedep). Cocol pake sambel, mantapnya bikin gue sanggup melek sampai dini hari untuk ngerjain laporan. Kemarin hidup gue nggak jauh jauh dari itu. 

Semester ini . . . kayaknya bakal begitu lagi. 

Tapi sungguh, gue mensyukuri segala kesulitan yang datang. Gue percaya bahwa hidup itu seimbang, kesusahan, kesenangan. Gitu gitu aja sebenernya. Nah oleh karena itu, gue berniat menghabiskan jatah kesusahan gue di masa muda, jadi yang tersisa ketika gue sudah punya keluarga sendiri adalah . . . jatah senang senang. Semoga, semoga, semoga. Hidup gue nggak akan jauh jauh dari segala semoga agar Tuhan selalu mengaminkan segala ingin. See you next time! semoga hutang gue tentang Tour de Tangerang bisa segera lunas sebelum gelombang praktikum meluluh lantahkan segala jadwal. Much Love! xoxoxo
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

Introverts in disguise. Read keeps me sane, write keeps me awake. Both of them entwined makes me alive.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Panjang Umur Wanita
  • replacement
  • susu jahe hangat
  • mei

Categories

  • Reviews
  • Stories
  • Unsend Letters

Advertisement

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • ▼  2025 (4)
    • ▼  Juni (2)
      • hari jumat
      • nekattt
    • ►  April (2)
  • ►  2023 (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (2)
  • ►  2022 (1)
    • ►  Mei (1)
  • ►  2021 (15)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (46)
    • ►  September (8)
    • ►  Agustus (8)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (7)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2019 (28)
    • ►  Desember (11)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (9)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2018 (21)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2017 (62)
    • ►  November (1)
    • ►  September (6)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (9)
    • ►  Maret (2)
    • ►  Februari (15)
    • ►  Januari (13)
  • ►  2016 (55)
    • ►  Desember (8)
    • ►  November (12)
    • ►  Oktober (10)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2015 (26)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2014 (48)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (4)
    • ►  September (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (6)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (6)
  • ►  2013 (52)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (8)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (11)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2012 (68)
    • ►  Desember (23)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (13)
    • ►  September (4)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (3)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (7)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (13)
    • ►  Desember (13)

Pengikut

Oddthemes

Designed by OddThemes | Distributed by Gooyaabi Templates