Aku senang dengan ini, aku cinta duniaku. Lalu kamu datang
lagi dengan sejuta cerita yang mungkin aku tunggu. Aku telah menjelajahi
luasnya dunia, ketika kau baru tau bahwa dunia tak sesempit angkutan umum
tempat kita bercengkrama dulu. “Apakah kau sudah bertemu dengan lelakimu? Sosok
yang kau tulis dalam setiap goresan tinta, sosok yang bukan aku”, itu katamu
seiring dengan sesapan teh manis di cangkir, permukaannya bergetar sedikit,
memantulkan cahaya kafe yang mulai temaram karna selimut waktu. Senyummu sore
itu terkesan terpaksa untuk ada, bukan tipe senyum yang menghias tulus. Dan
aku, tak kalah terpaksa yang menimpali dengan kata “sepertinya begitu”. Satu
kata yang lalu menggantung di udara. “baguslah” Kau kembali tersenyum, senyum
yang getirnya terlalu pahit.
Ada selapis air yang mulai menggenang di pelupuk matamu.
Tepat ketika di depan pintu kafe (dejavu ekstrim, seperti bertahun tahun
sebelum ini, ketika kau mengatakan bahwa aku tak lagi dibutuhkan) aku serahkan
undangan untuk acara 3 hari lagi. Acara pernikahanku.
Lalu kau memelukku erat, terlalu erat. Pelipisku seketika
basah, tetesan air mengalir di pipi, kali ini bukan airmataku seperti yang
sering terjadi dahulu, kali ini bagianmu. “maaf” suaramu bergetar hebat.
Setidaknya aku tau, kali ini kata kata itu berasal dari dalam hati. “sudah” dan
setelah itu hanya ada pelukan hangat pertemanan, satu satunya hal yang tersisa
dari cerita yang kau akhirkan terlalu awal.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku senang dengan ini, aku cinta duniaku. Lalu kamu datang
lagi dengan sejuta cerita yang mungkin aku tunggu. Aku telah hinggap dari satu
cerita ke cerita yang lain. Aku hampir lupa denganmu, laki laki yang akhirnya
secara tiba tiba datang lagi.
Aku terkejut ketika kemarin ada amplop cokelat kusam dengan
putik edelweiss diatasnya, terikat cantik, tapi sialnya hatiku berdetak sakit. Aku
buka tali anyamannya dari ranting ranting kering. Didalamnya hanya ada secarik
kertas “besok tak ada acara kan? Ayo bertemu! Kalau ada acara tetap bertemu,
batalkan saja acaramu, besok, tempat biasa, cokelat panas menunggu kita”. Aku
merutuk dalam hati, aku kenal tulisan kurus dan sedikit miring ini, kau masih
sama sesuka hatinya seperti dulu, memangnya hidupku milikmu?!. Tapi tetap saja,
hari ini kakiku melangkah bodoh, ketempat yang sama, secangkir cokelat panas
yang sama.
Jalanmu tegap dengan
setas penuh foto. Foto foto itu punya persamaan dalam setiap gambarnya, bendera
yang berkibar bebas diatas gunung, dan, senyummu yang selalu selebar itu.
“pamer” bahagia. Aku tertawa kecil, formalitas. Kau bercerita tentang panjatan
gunung yang satu dan berlanjut ke gunung yang lain. Menelusuri hutan belantara
dan banyak bertemu keajaiban dunia, kearifan alam, yang kau agungkan setengah
mati. Bercerita tentang kupu kupu yang selalu kau temui dimanapun kau berpetualang.
Tentang keindahannya yang kau puji sampai ke spectrum terkecil. Tentang
kebebasannya yang tanpa batas, tentang sayapnya yang ringkih tapi tetap terbang
walaupun hidupnya sebentar. Kau mencintainya, dan oleh karna itu aku benci dia.
Terutama, kebebasannya.
Lalu akhirnya kami ada diluar kafe cokelat panas, tatapanmu
sama ringkihnya dengan sayap kupu kupu. Aku berbalik, bersiap ke arah jalan
menuju rumah, mengusap air mata yang terbit perlahan. Lalu tanganmu terentang,
membungkus punggungku lemah. Nafasmu masih aroma cokelat, hangat dan berhembus
ketika berbicara tepat dibelakang telinga “tetaplah jadi jendela tempat kupu
kupu itu datang dan hinggap walau sebentar”. Dan setelahnya pelukanmu mengerat,
aku tak ingin beranjak. "jendelaku akan selalu terbuka walau aku masih tak suka dengan kebebasanmu", kau diam, tapi aku tau, senyumanmu ada dan terukir pasti di wajah itu.
dua cerita diatas terinspirasi dari lagu "Clarity" by Zedd ft Foxes. agak melencneg dari lagu sih sebenarnya mengingat lagu aslinya lebih galau dan sedih dari cerita gue yang ecek ecek, hahaha. tapi intinya sih dua cerita itu menggambarkan gimana rasanya ketika masa lalu kalian datang lagi, tapi bukannya membawa kabar gembira, malah sebaliknya. sakit gak sih?. kali ini benar benar bukan cerita atau curhatan gue, ini 100% fiksi, yaiyalah, yakali gue udah mau nikah. atau ya kali gue punya pacar anak mapala. too risky, gue nggak kuat kalau harus pacaran sama anak gunung, apa gak jomplang, dia yang tangguh, panjat sana panjat sini, lah gue yang olahraga pas ada pelajaran olahraga aja -__-". yah tapi mencoba memposisikan ketika berada di posisi itu, ketika kalian udah hampir,99,999 % move on, tapi manusia itu balik lagi. rasanya dibutuhkan tekad yang kuat agar 99,999% itu gak percuma, agar kita gak ikut balik lagi ketika dia ingin balik lagi. tapi itu tergantung persepsi masing masing ya, kalau menurut kalian ornag itu layak dibukakan pintu lagi ya kenapa gak? perpisahan kan gak selamanya soal ketidakcocokan sifat, kadang ada yang dipaksa pisah karna kondisi dan situasi yang nggak tepat. kalau sekarang segala terasa tepat, kenapa ngga?. tapi kalau memang sekiranya kesempatan yang sudah diberikan adalah kesempatan yang sudah sekian kali, itu sih namanya bunuh diri, hahahahha.