pohon jambu

Melewati wot batu, aku bertemu Sunaryo di depan pohon jambu. Ia bercerita tentang segala usaha menghidupkan ibunya yang mati kala itu. Aku menangis karena dalam ceritanya aku bertemu bagian diriku yang lama tidak turut serta kemanapun kaki ini menuju. Bagian diriku ini mengerti benar bahwa berbagai usaha untuk menghidupkan segala yang kami cinta serupa menanam pohon jambu dari biji timah. Akarnya tidak akan tumbuh, tidak akan ada buah yang terasa manis meskipun setiap dahannya kami lelehkan dengan kenangan dan rasa yang sama. Yang kami tau, hanya duka yang berbuah dari pohon jambu berwarna tembaga.

Dalam upaya yang terkesan sia - sia, tidak lain yang kami abadikan adalah perayaan akan hidup seseorang yang pada suatu ketika membantu kami mengeja kehidupan. Sempurna di dalamnya juga sebuah batu besar yang dieja kematian. Batu ini bisa jadi satu - satunya yang amat memberatkan namun secara sadar menolak untuk kami tinggalkan. Ia mengingatkan bahwa pada suatu ketika kami pernah berjalan amat ringan, bahwa kerikil yang ada di dalam tas kami saat itu ternyata tidak lebih dari sekedar dandelion yang dapat terbang ketika ditiupkan. 

Kalau saja kala itu kami lebih sadar dalam menyesapi kehidupan dan setiap detik kebersamaan. Kalau saja pohon jambu lain pada suatu waktu dapat berbuah beberapa bulan lebih cepat karena ia bukan tiruan. Kala ketika setiap kalau berhenti menjadi kemungkinan, sepertinya aku dan Sunaryo dapat sepakat bahwa pohon jambu tiruan cukup untuk merekam segala yang kami rasa berikut dengan kenangannya. Seperti pohon jambu yang menolak berbuah di luar musimnya, maka kami juga akan belajar menikmati setiap tangis pada waktunya.

0 comments