Melewati wot batu, aku bertemu Sunaryo di depan pohon jambu. Ia bercerita tentang segala usaha menghidupkan ibunya yang mati kala itu. Aku menangis karena dalam ceritanya aku bertemu bagian diriku yang lama tidak turut serta kemanapun kaki ini menuju. Bagian diriku ini mengerti benar bahwa berbagai usaha untuk menghidupkan segala yang kami cinta serupa menanam pohon jambu dari biji timah. Akarnya tidak akan tumbuh, tidak akan ada buah yang terasa manis meskipun setiap dahannya kami lelehkan dengan kenangan dan rasa yang sama. Yang kami tau, hanya duka yang berbuah dari pohon jambu berwarna tembaga.
Dalam upaya yang terkesan sia - sia, tidak lain yang kami abadikan adalah perayaan akan hidup seseorang yang pada suatu ketika membantu kami mengeja kehidupan. Sempurna di dalamnya juga sebuah batu besar yang dieja kematian. Batu ini bisa jadi satu - satunya yang amat memberatkan namun secara sadar menolak untuk kami tinggalkan. Ia mengingatkan bahwa pada suatu ketika kami pernah berjalan amat ringan, bahwa kerikil yang ada di dalam tas kami saat itu ternyata tidak lebih dari sekedar dandelion yang dapat terbang ketika ditiupkan.
Kalau saja kala itu kami lebih sadar dalam menyesapi kehidupan dan setiap detik kebersamaan. Kalau saja pohon jambu lain pada suatu waktu dapat berbuah beberapa bulan lebih cepat karena ia bukan tiruan. Kala ketika setiap kalau berhenti menjadi kemungkinan, sepertinya aku dan Sunaryo dapat sepakat bahwa pohon jambu tiruan cukup untuk merekam segala yang kami rasa berikut dengan kenangannya. Seperti pohon jambu yang menolak berbuah di luar musimnya, maka kami juga akan belajar menikmati setiap tangis pada waktunya.
Mari kita pikir belakangan dan menuliskanmu dengan benar. Dimulai dengan kita bertemu pada hari yang aneh ketika aku bersiap melepaskan segala sesuatunya. Jika sebenar - benarnya cinta memang ada, maka saat itu aku percaya bahwa milikku sudah sebenar - benarnya luluh lantak. Jika memang ada sedikit kepercayaanku kala itu tersisa, maka kupastikan ia tidak lagi ada karena dicuri oleh seorang laki - laki yang berdusta.
Menuliskanmu dengan benar, berarti aku jujur kepada segala yang kita jalani, bahwa ia diawali dengan aku yang sudah tidak mampu berharap apa - apa. Bahwa hubungan manusia hanyalah sekedar hitungan sederhana yang diisi dengan nilai kurang dan tambah. Jika tidak ada kata setara, maka cerita tidak akan ada kelanjutannya. Kata setara yang perlahan berganti rupa menjadi sesuatu yang dimaknai dengan amat sederhana, jauh dari segala teorema matematika.
Menuliskanmu dengan benar, berarti aku mencoba mengeja setiap kenangan dan banyak sekali harapan. Aku tau bahwa kemungkinan - kemungkinan ini juga tidak kalah banyaknya. Bisa jadi amat menenggelamkan kita dalam 'apa yang terjadi jika'. Lalu aku teringat, bahwa kesibukan menerka - nerka ini sudah membuat kita lupa menyesap segala rasa di antaranya. Hangatnya susu jahe di tengah angin malam Salatiga sebagai salah satunya.
Jika ada hal penting yang dapat aku simpan dari sekian banyak proses kehilangan, maka itu adalah bagaimana kita menikmati perjalanan sama khusyuknya dengan merayakan akhir di tujuan. Yang kutau saat ini adalah, dunia bisa saja berubah menjadi amat menguji entah di titik yang mana. Dunia ini bisa membuat bahkan hal - hal tersisa yang tadinya kita anggap kecil dan sederhana menjadi sesuatu yang amat didamba, hanya karena kita tidak lagi memilikinya. Aku tau perjalanan ini akan sulit, dan tidak ada yang tahu akan sepanjang apa, pun berakhir dimana. Tapi kini aku hanya ingin berusaha, agar sesulit apapun, jari - jari kita tidak lagi bersela karena bertaut dalam setiap langkah, bersama dengan dua jiwa yang melangitkan banyak doa.