assalamualaikuuuum!!!! pagi semuaaaa!!! gila ini gila, udah lama gue nggak nulis disini dan rasanya kayak "a thousaaaaaand years"nya christina perri. ada banyak yang terjadi akhir akhir ini, kadang gue males, kadang gue bahagia, kadang gue sedih, sehingga sulit untuk mengekspresikannya dengan suatu tata bahasa. kebayang kan, perasaan itu sesuatu yang kompleks dan abstrak, tapi kenapa begitu mempengaruhi kehidupan manusia, dan itu jelas sesuatu yang diluar intelejensia gue *hammer pleaseee.
the next issue is, i will be heading to salatiga at 1 pm, 7 hour left from noooowww!! and i havent packed anything yet, dan terdampar disini lagi, didepan komputer, brain storming draft yang udah lama nganggur dan nggak selesai selesai, duh gue rela deh dikasih plakat procrastinator sejati. tapi emang susah loh, gue punya monster didalam diri yang namanya moody, ddia itu gede, berbulu, warnanya ijo kayak rawit busuk, dan dia bauuu, kok jadi kayak hulk pake obat penumbuh rambut ya -_______-. yah pokoknya begitu deh, dan dia membuat gue sulit untuk mengerjakan sesuatu. kadang ketika gue merasa harus nulis, feelnya nggak dapet, dan muncullah si moody. jadi maaf banget yaaa buat readers gue.
so here we gooo!! ini lanjutan cerita yang kemaren, dan ini masih dibilang baru pemanasan, entah kenapa gue baru dapet feelnya pas hari hari subuh gini, nggak kebayang kalo sekolah harus betapa repotnya nurutin mood begini -____-. maaf kalo bener bener one event at time, huehehe. yah pokoknya enjoy yaaa!
J
Sudah beberapa hari ini, ada semacam kedekatan tak terlihat
yang canggung dan terasa sampai ke nadi terdalamku. Kedekatan? aku mulai
meragukan definisi dari kata ‘kedekatan’. kalau itu adalah apa yang kau maksud
dengan sekali jabatan tangan dan mengobrol sampai berjam jam tentang novel, ya!
Itu kedekatan. dan semuanya terjadi mengikuti takdir, dating bertumbukan dan
terpental ke berbagai arah. Dan aku disini, lagi, seperti biasa sendirian,
menunggu sesuatu dating untuk bertumbuk dan terpental, hancur, sampai semuanya
menghilang, karena ku tau, percakapan kemarin setidaknya akan mengubah kami. Terutama cara berfikir ku yang
akhir akhir ini melewati batas terjauh alam sadar. Dan aku mengakui bahwa aku
jatuh. Jatuh kedalam jurang tak terlihat, yang mungkin tak akan ada ranting
pohon ditengah yang siap ku jadikan pegangan untuk setidaknya menyelamatkan
kewarasan, dan anehnya aku bahagia. Ia jauh diluar ekspetasi, aku tak mengira
ternyata ia lebih dari apa yang terlihat, ia bukan hanya sekedar remaja abad
20an dengan segala macam kemewahan dan glamor kehidupan kaum urban. Ia apa yang
kusebut dengan hampir sempurna, aku tau apa yang kau pikirkan, aku setengah
gila dan berlebihan dimakan cinta, tetapi siapa yang berani mendebatkan sesuatu
yang bahkan kau tak sedang berada disana, merasakannya, dan menjadi pelaku didalamnya
yang terbang jauh keatas awang awang perasaan. Indah? Ya, itu indah. Mungkin
bagiku semuanya akan indah, sekalipun beberapa menit setelah ini aku akan
mendapat setumpuk masalah sebagai bayaran karna terlalu bahagia, aku rela.
Setelah kemarin, kami berjanji untuk bertemu kembali disini,
bertukar pikiran tentang segala sesuatu yang terlihat tidak penting, atau
memang tak penting lagi?. Tetapi kali ini ada yang berbeda, novelku tak lagi
ada disamping, tergeletak rapi ketika tidak sedang dibaca. Hari ini aku tak
membawanya, ada seseorang yang berkata aku lebih baik tanpa mereka, karna kau
bisa mendapat lebih dari itu, lebih dari sekedar barang yang hanya dapat
menampung monologmu sepanjang hari, mendengarkan, bisu, tanpa dapat memberi
sepatah atau dua patah kata menenangkan atau sampai membuatmu sakit perut karna
tertawa terpingkal pingkal. Dan bagai kerbau dicucuk hidungnya aku menurutinya,
dengan malu malu dan diam. Separuh diriku berkata, ia benar. atau mungkin apa
yang dikatakan orang orang benar, bahwa perasaan dapat memanipulasi otakmu
menjadi benar dan benar bukan lagi benar dan salah, sekalipun itu menggelikan
dan terdengar bodoh.
Setelah beberapa menit menunggu disana, ketegangan mulai
naik kedalam sendi sendi leherku, aku khawatir, apakah ini hanya bagian dari
triknya saja, permainan anak anak seperti mereka yang dengan mudahnya
mempermainkan perasaan golongan kebalikan. Itu jahat, terdengar seperti
sinetron, tetapi kuharap aku salah. Dan jika benar, aku bisa apa? Toh aku hanya
apa yang mereka sebut dengan golongan kebalikan. Aku tak tenar, aku tak pandai
merangkai kata agar semua keputusan berada di ujung jariku, hanya ada beberapa
orang yang mengenal nama anna jane disini, tidak seperti semua orang yang
mengenal callo cross. Dia, mereka, aku, berbeda. Semua pikiran pikiran itu
menyita otakku dan membuat kaki ini sedikit bergerak, bersiap mengambil langkah
pergi dengan goresan panjang kecewa di hati, untuk yang kesekian kalinya,
tetapi terhenti di 5 detik pertama ketika suara itu terdengar
“jane! Mau kemana? Gue baru aja nyampe”
C
Ditengah sekumpulan anak muda ia berdiri disana, secara
jelas bahwa ialah pusat dari segala perhatian, seperti matahari dan segala
asteroidnya. Ditengah tawa hanya ia yang terlihat gelisah, tak sanggup
menyembunyikan kekhawatiran, sampai ia menyerah dan pergi. Berlari sampai
kekapasitas maksimal otot kaki. Ia tak sendirian, isabelle mengikuti setiap
derap langkah kaki, berteriak memangil namanya, sampai ia berhenti.
“callo! Mau kemana?”
“gue ada janji, lu ngapain ikut sih?”
“gue…… gue Cuma pengen kenal lo lebih jauh”
Ia terlihat bingung, melihat air
muka seorang gadis yang terlalu takut, takut untuk kecewa karna mengambil
langkah yang terlalu jauh.
“yaudahlah”
Dengan menerbitkan sedikit
senyuman gadis berambut panjang itu berusaha mengimbangi setiap langkah
disampingnya dengan terburu buru.
“kita mau kemana cal?”
“kalo gue bilang nggak tau, lu
bakal heran nggak?”
“hahaha kamu jangan ngelucu gitu
dong, aku serius”
“gue lebih serius dan gue nggak
ngelucu”
“oke”
“sebenernya ini privat dan nggak
ada hubungannya sama lo, dan kenapa lo masih mau ikut”
Gadis itu hanya membalas dengan
senyuman. Dan didalamnya ada suara yang berkata “karna gue suka lo”
Mereka berdua berjalan beriringan,
pasangan yang sempurna bukan, ketika ada murid yang berjalan disamping mereka
berbisik. Jelas tidak dapat dipadankan dengan gadis berkacamata yang sedang
menunggu dan melihat pasangan itu dengan mata nanar. Embun mulai terlihat di
sisi tipis kacamatanya, menandakan bahwa air mata itu terbit. Lagi. Dan untuk
yang kesekian kali. Akhirnya ia beranjak pergi, mencari tempat lain dimana yang
ada hanya dirinya, hanya untuk sekedar menghapus embun siang, embun kekecewaan.