Pada salah satu hari di bulan Oktober, Bapak menangis dihadapan layar TV yang menyiarkan pernikahan anak perempuan presiden. Hanya ada aku dan Bapak di ruang perawatan. Tanpa Mama karena siang itu adalah giliranku berjaga. Aku hanya menggodanya. Meski hatiku terasa patah, sempurna kuhindari keberadaannya. Aku belum siap berhadapan dengan fakta, bahwa tangisan Bapak bukan berasal dari haru karena melihat orang lain bahagia. Saat itu aku mengerti, bahwa tatapannya di layar tivi tidak melihat presiden kami sebagai seorang yang berkuasa atas pemerintahan negeri ini. Di tengah perhelatan yang sedang disiarkan, Bapak hanyalah melihat seorang bapak lain yang pada hari itu, kebahagiaannya purna karena satu - satunya anak perempuan keluarga, telah bertemu setengah bagian jiwanya. Laki - laki yang karena begitu besar rasa cinta, bersedia ganti menanggung gadis kecilnya di akhirat dan dunia. Seorang bapak di layar tivi itu tau, bahwa meskipun tidak akan ada laki - laki di luar sana yang memiliki cinta kepada anak perempuan itu sama besarnya, tapi setidaknya kini, ada seorang laki - laki lain yang mau menghabiskan seumur hidupnya berusaha memberi cinta yang sama.
Pada salah satu hari di bulan kelahiran Bapak, aku menangis di depan tumpukan pakaiannya yang masih berada di pojok kamar, dengan hati yang coba dirangkai kembali, hanya untuk gagal berkali - kali pada hari - hari payah seperti ini. Aku kembali pada tiga tahun lalu ketika aku menggodanya, seraya mengiyakan perasaanku sendiri ketika hari itu Bapak menangis di ruang kamar sederhana. Meski tanpa kata, perasaanku mengerti, bagaimana Bapak seakan tau bahwa meskipun amat menginginkannya, ia tidak akan pernah sampai pada masa yang sama. Dimana ia dapat melihat anak perempuannya bersama laki - laki yang karena begitu besar rasa cinta, bersedia menanggung gadis kecilnya di akhirat dan dunia. Laki - laki yang tidak pernah ragu - ragu dalam setiap usaha membuat yang paling ia cinta bahagia. Laki - laki yang padanya, Bapak mantap digantikan dengan penuh kerelaan.
Pada salah satu hari, di antara percobaan ribuan kali untuk dapat merasa lagi, aku tau, bahwa penyesalanku yang tertinggal di tiga tahun lalu hanya satu. Mengatakan yang sudah aku mengerti, bagaimana ia dengan segala ketidak sempurnaannya di antara ribuan laki - laki, selamanya tidak akan pernah terganti. Aku sering berpikir, bagaimana tugas Bapak di dunia sudah purna. Tapi, pada suatu ruang dengan banyak tanda tanya aku menemukan diriku bertanya apakah Bapak masih dapat berkata
"Dia orang yang baik Ta, Bapak merestuimu dengannya".