Seminggu sebelum eyang kakung sedha, Bapak berujar ingin membawa satu kipas angin baru ketika pulang kampung nanti, agar eyang nyaman berada seharian di atas satu - satunya kasur di ruang tamu rumahnya. Setahun itu, eyang sudah tidak dapat pergi kemanapun karena serangan stroke di pertengahan tahun sebelumnya. Ketika berita duka sampai pada dini hari menjelang subuh, yang terlihat samar - samar di bawah remangnya lampu ruang tamu, adalah bapak terduduk di sofa. Pundaknya lesu, matanya terpaku pada ubin di bawah kakinya. Pikiran dan hatinya entah dimana. Kemungkinan besar melanglang buana menembus berkilo - kilo jarak antara Tangerang dan Malang yang saat itu terasa begitu jauhnya. Mama dengan terburu - buru berlalu lalang antara kamar dan seisi rumah, mengisi tas dengan baju - baju bapak, perlengkapan mandi, obat - obat darah tinggi, juga sejumlah uang tunai yang tidak seberapa. Aku tidak ingat siapa yang menelfon agen perjalanan, tapi yang pasti, sebelum adzan subuh hari itu, bapak sudah mendapatkan satu tiket pesawat menuju Bandara Abdul Rahman Saleh, semua sudah siap untuk satu perjalanan yang tidak direncanakan.
Aku yang kebingungan akan guna keberadaanku, duduk mengambil tempat di samping bapak. Tanganku merangkul pundaknya, sedangkan pikiran dan hatiku mencoba meraba sesuatu. Bagaimana kesedihan bapak saat itu?. Aku mencoba memahami, karena kupikir dengan mengerti, maka aku akan tepat tau apa yang harus kulakukan untuk membantunya melewati kondisi ini, daripada sekedar membuat gerakan tangan berulang di pundaknya yang terasa kaku, hambar, penuh kebingungan, alih - alih menenangkan. Akhirnya, aku mencoba membuat skala kesedihan yang mungkin terjadi dalam hati laki - laki tinggi di sampingku. Sudah pasti kesedihan karena kegagalan akan rencana membeli kipas baru, berada di batas paling bawah. Aku tidak begitu yakin apa yang dapat mengisi titik tengah, tapi mungkinkah batas paling atas adalah kesedihan paling purna yang membuatmu ingin menyusul kematian?.
Saat itu, aku yang sok tau, berusaha menggambarkan kesedihan ditinggalkan oleh seseorang yang seumur hidup menjadi pahlawanmu. Sedih sudah pasti, tapi sampai sejauh apa rasanya adalah ruang penuh tanda tanya. Yang baru terjawab kurang lebih lima belas tahun setelahnya. Ternyata, rasanya tidak akan pernah dapat sempurna diabadikan dengan jutaan koleksi kosakata. Kesedihan yang rasanya seperti jutaan sel dalam hatimu tercerabut sekali dengan begitu brutalnya. Kemudian rasa nyeri akan tinggal, dan muncul lagi berkali - kali karena berbagai macam hal sederhana. Mungkin kipas angin bagi bapak juga perjalanan yang tiba - tiba.
Bertahun - tahun setelah eyang sedha, aku jadi mengerti tentang nyeri yang tetap tinggal setelah anaknya tiada. Karena kini, sel - sel hatiku sudah tercerabut berkali - kali pada berbagai macam hal - hal sederhana. Pada semburat garis wajah yang serupa pada saudara - saudara kandung bapak. Segelas susu sapi murni yang kini aku nikmati sendiri. Juga ingatan tentang suara tawa bapak yang khas, yang kini didekap pikiranku dengan erat dan hati - hati. Banyak hal yang kini ingin membuatku kembali pada ruang tamu rumah lama kami, dibawah lampu remang - remang, untuk memberi tahu gadis kecil yang kebingungan. Bahwa sebaiknya, ia berhenti melakukan usaha yang sia - sia untuk meraba kesedihan bapaknya. Ia hanya cukup ada di samping laki - laki pahlawannya, seterusnya, selama yang ia bisa. Karena sebenarnya, tanpa ia tau, sebanyak apapun tahun yang terbentang di depannya, tidak akan pernah cukup lama untuk membalas setiap cinta.