Bagaimana bantu-bantu di warung mama ternyata lebih gue butuhkan daripada mama membutuhkannya. Banyak hal-hal yang membuka mata seorang Dita yang masih seringkali kurang bersyukur. Sebelumnya di hari itu memang tidak diawali dengan begitu baiknya. Rasanya banyak yang salah, atau gue cuma lelah. Banyak hal-hal yang membuat gue ingin sekali berhenti, terkecuali fakta bahwa gue sangat butuh pekerjaan ini. It has lifted lot of things in my life, sadly, except dreams. The latter that burden me so much, it has haunted my life far before all of this begin. I can talk about this literally all day, complaining, whining, arguing that I can get better, far better. And damn, I miss my friends a lot.
And it was happen. Seorang bapak agak renta, lebih tua dari bapak. Sehari-hari jualan macem bubur favorit gue, kata mama. Dia udah jadi langganan mama sejak entah kapan. Bapak itu masuk ke toko dan memulai transaksi jual beli dengan bon. Belanjaannya hari ini nggak akan dia bayar sampai besok, dengan harapan dagangannya laku, habis tandas. Memilih beberapa barang dan ketika sampai perhitungan akhirnya kita tau, siang itu dia sudah berbelanja 15.000 lebih sedikit.
........
Udah sadar belum?
Bagaimana diluar sana 15.000 masih menjadi hal besar untuk sebagian orang, yang harus berdiri seharian berjualan di bawah matahari yang kalo panas udah bikin kita ngeluh berasa kayak di neraka. Harus melanjutkan kayuhan sepeda walau hujan karena bubur di panci belum habis, karena ketika menyerah sekarang maka bon modal hari ini gak akan terbayarkan. Harus menunggu dan menunggu dan menunggu dan menunggu. Pekerjaan yang diakui banyak orang menyebalkan.
Dan gue, cuma hampir kehilangan mimpi. Belum kehilangan mimpi. Ketika disana masih banyak bapak yang gak tau besok ngasih makan apa ke anaknya. Masih banyak anak yang mimpinya setinggi gedung-gedung di ibukota ketika rumahnya sudah doyong kemana-mana karena dia bisa berharap apa dari triplek yang disusun seadanya?. Gue baru sadar, seburuk-buruknya kita saat ini, pasti masih ada yang bisa kita syukuri. Seenggakpunyanya kita dalam merasa, pasti masih ada yang baik dari segala yang kita miliki. Bahkan ketika akhirnya kita merasa sendiri, kesepian, losing hope with all the things ahead, we still have breath in our lungs, which means, Allah masih sayang, begitu sayang dan ingin kita agar berusaha sekali lagi.
Ia gak perah menghadirkan pikiran yang sia-sia ke dalam otak kita. Gak pernah salah dalam menakdirkan sesuatu meski nampaknya sulit untuk dijalani.
Semoga dita selalu ingat ini ketika masa-masa tidak masuk akal kembali lagi suatu hari.
P.s: Suatu sabtu siang kemarin, I want to literally just stop. I can't handle all the insecurities inside. Lalu gue solat Dhuhur. Gak khusyuk karena yang ada di otak gue hanya "should I stop to readjust in something that I feel don't fit me" "should I chase for the better just like any other stories people has told" "should I just quit everything". Setelah kembali ke ruangan, ternyata gue sudah ditunggu oleh supervisor dan dua orang mentor di ruang meeting. And they explain every evaluation. It was unexpected. Which somehow has eased me, a lot. Satu yang ada di kepala gue saat itu. Bahkan ketika kita tidak bercerita dengan benar, meminta pertolongan dengan sopan, Allah masih begitu sayangnya mendengar, menunjukkan, dan meringankan.
Saat itu gue tau, gue gak pernah sendiri.